LITA SULISTYANINGTYAS

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BUNDAKU

BUNDAKU

"Bunda.. sudah... jangan pukul-pukul lagi dadanya" Cegah suamiku cemas. Hari itu memang sudah agak larut malam, tapi kami masih berada di peron stasiun Kelender menuju stasiun Bekasi.. Tapi rasa nyeri di dada ini begitu sakitnya sehingga sulit bagiku untuk bernafas secara normal. "Bunda cukup jangan pukul lagi. Jangan pukul terus." pinta suamiku sambil menatapku dengan sedih. "Nyeri sekali. Aku tidak bisa bernafas." Jawabku lirih menahan sakit yang teramat sangat. Suamiku bergegas memyelimutiku dengan jaket kulit yang biasa aku gunakan saat berkendara dengan motor. Malam itu kami menumpang mobil teman sampai setasiun Kelender, AC mobil yang cukup dingin membuat ku makin menggigil di pojok kursi belakang.

"Bunda. Alhamdulillah sudah sadar, bertahan ya sebentar lagi sampai." Samar kudengar ucapan suamiku. Perlahan kubuka mataku. Kulihat wajah cemas suamiku yang berusaha disembunyikannya. Kulihat dokter Tuti tersenyum memandangku dengan mata berkaca-kaca "Wanita kuat. Pasti kamu mampu melewatinya." Sapanya lirih. Dokter Tuti adalah sahabatku sejak kecil. Dia berhasil meraih cita-citanya ingin menjadi dokter. Dokter handal yang hebat. Diluar kesibukkannya sebagai dokter dia juga aktif mengkampanyekan keselamatan dan kesejahteraan anak dan perempuan. "Sukses untukmu selalu Dok." doaku disela-sela seminar anak yang diselenggarakannya beberapa hari lalu..

"Wanita kuat. Wanita hebat, bertahan yaa." Pintanya. Ku;ihat matanya berkaca-kaca. Dokter yang baik hati ini terus mendampingiku sambil mendorongku masuk ruang operasi. Rupanya tadi aku tersungkur di pelataran peron stasiun Kelender. membuatku tak sadarkan diri. Kini aku terbaring di ruang operasi rumah sakit ternama di Jakarta, tempat Dokter Tuti bekerja..Nyeriku tak tertahankan lagi. Duduk untuk bernafas pun nyeri, berbaring miring pun nyeri.. makin sering aku menarik nafas, maka nyeri itu pun makin hebat menyiksaku.

Pintu ruang operasi pun tertutup, kulihat samar-samar suami ku menahan tangis. Lirih dia berkata "Bertahanlah sayang. aku selalu disampingmu" Kulihat para dokter tersenyum menyemangatiku. Kulihat Dokter Tuti tersenyum pahit ke arahku, karena aku tahu aku sudah dalam kondisi kritis. Semua alat dipasang ditubuhku, terakhir yang kurasakan adalah suntikan di tubuhku yang membiusku. Setelah 3 jam operasi, ternyata mesin pendeteksi jantungku menunjukkan garis datar. Dokter Tuti pun berupaya melalukan tindakkan untuk menyelamatkanku, namun apa daya semua sudah menjadi takdirNya..

Dokter Tuti keluar kamar operasi dengan gontai menangisi kepergianku. "Maafkan aku. Tak bisa kuselamatkan dia. Walapun sudah berusaha semampuku." Katanya sambil berurai air mata. Suamiku pun tak bisa menahan tangis setelah mendapatkan kabar dari Dokter Tuti, tentang ke adaanku. Lalu Dokter Tuti menyodorkan sepucuk surat yang kutulis beberapa hari sebelumnya. "Ayah. pasti saat ini dirimu sedang duduk bersimpuh disamping pusaraku. Maafkan aku yang tidak memberitahumu apa penyakitku." Kataku diawal surat. "Aku tidak mau mengganggu kebahagiaanmu yang baru saja dilantik. Merusakkan kebahagiaan mu dengan karirmu yang makin menjulang dengan berita penyakitku ini." Lanjutku. "Terimaksih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama ini. Delapan belas tahun sudah aku mendampingimu dalam suka dan duka. Merajut masa depan bersama. Melihat anak anak tumbuh dan berkembang, mengantarkannya pada kesuksesannya.."

"Terimakasih sudah mau menjadi imam bagi keluarga, imam dalam sholat. Beribadah bersama ke masjid. Tanpamu, kami bukanlah apa-apa. Menjadi ayah teladan bagi anak anak. Berbagi waktu dan bercanda ria bersama anak-anak walau sesibuk apapun, kami selalu ada di hatimu. Kami bangga padamu." Suamiku pun makin terpuruk dalam kesedihannya. Surat yang dibacanya pun lusuh dalam genggamannya. Basah oleh tetesan air matanya yang tak dapat dibendung lagi. "Ayah sudah menginspirasi kami dan anak anak. Maafkan, kalau bunda tidak bisa mendampingi ayah sampai akhir perjalanan ayah. Maafkan, kalau bunda pergi medahului ayah. Terimakasih sudah mencintai bunda dan anak-anak dengan sepenuh hati.. Bunda bangga dengan ayah, begitu juga dengan anak-anak. Tolong bimbing mereka tumbuh dan berkembang mencapai cita-citanya. Kelak kita akan berkumpul lagi bersama-sama. Salam Bunda.

Dengan terpapah suamiku meninggalkan pemakaman. Beratnya hati ditinggal istri yang begitu dicintainya. Dia tak menyangka secepat itu kepergiannya. Sakit yang diderita sang istri terluput dari perhatiannya.

Top of Form

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post