L Margi

Manusia yang tertarik dengan segala hal tentang dunia pendiidkan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Krisis Pendidikan di Indonesia dan Pendidikan Alternatif

Krisis Pendidikan di Indonesia dan Pendidikan Alternatif

“Setiap orang menjadi guru. Setiap rumah menjadi sekolah.”

[Ki Hajar Dewantara]

***

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan adalah kebutuhan mutlak bagi semua manusia karena dapat memengaruhi segala aspek dalam kehidupan. Selain itu pendidikan juga sebagai penentu kemajuan sebuah negara. Hal ini dapat dilihat sejauh mana kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari sebuah sistem pendidikan dalam negara tersebut.

Beberapa negara terus mengalami pertumbuhan pesat di bidang pendidikan. The Social Progress Imperative melakukan penelitian tentang pendidikan dan menunjukkan hasil bahwa dua puluh negara memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, lima yang menempati peringkat teratas adalah negara Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Finlandia.

Lantas di mana posisi pendidikan Indonesia? Berdasarkan data Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada pada posisi 62 dari 72 negara di dunia. Sebuah data yang memprihatinkan mengingat Indonesia adalah negara yang sudah merdeka sejak tujuh puluh empat tahun silam dan banyak memiliki tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara yang terkenal sebagai pelopor pendidikan. Selain menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia pertama di masa pemerintahan Soekarno, Ki Hajar Dewantara juga terkenal sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa – lembaga pendidikan yang memberi kesempatan pada pribumi untuk mendapatkan hak pendidikan seperti kaum priyayi pada masa itu. Tentu saja kita akan berpikir bahwa seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, maka ikut berkembang pula pendidikan di Indonesia. Namun demikian, meski sudah puluhan tahun merdeka harus diakui Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal pendidikan.

Dewasa ini Finlandia, negara kecil di Eropa Utara sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikannya yang terbaik di dunia, menjadi rujukan bagi pengamat dan praktisi pendidikan termasuk Indonesia. Beberapa kebijakan yang menjadi pembeda di Finlandia dengan negara lain dan berhasil diterapkan antara lain seleksi guru yang ketat, kesejahteraan guru yang sangat diperhatikan, kurikulum yang diterapkan secara konsisten, meminimalkan ujian, tidak ada sistem peringkat pada siswa, dan yang sangat fundamental adalah biaya pendidikan ditanggung pemerintah.

Salah satu yang menjadikan Finlandia sebagai negara dengan pendidikan terbaik di dunia terletak pada tujuan utama dari sistem pendidikan itu sendiri yaitu mewujudkan high-level education for all. Sebuah upaya agar seluruh rakyat Finlandia dapat mengenyam pendidikan sampai jenjang tertinggi, secara merata, dengan kemampuan, keahlian dan kompetensi yang terbaik. Sistem pendidikannya dibangun dengan karakteristik yang dilaksanakan secara konsisten, di antaranya, free education, free school meals, dan special needs education dengan berpegang teguh pada prinsip inklusivitas.

Dengan memiliki tujuan yang jelas dan sistem pendidikan yang dilakukan secara konsisten, tidak heran jika pendidikan di Finlandia menjadi merata dan berdampak pada pencapain tujuan pendidikan. Salah satunya output berupa sumber daya manusia yang berkualitas.

Begitu pula di negara kita. Pendidikan nasional di Indonesia juga merumuskan tujuannya dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional juga untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun anehnya pendidikan di Indonesia sepertinya jalan di tempat. Belum nampak secara signifikan capaian dari tujuan pendidikan nasional yang diharapkan. Terlebih dengan kurikulum pendidikan yang selalu berubah kemudian diikuti pro dan kontra oleh para pelaku pendidikan itu sendiri. Meskipun kita sadar, kurikulum memang bersifat dinamis, namun perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia terkesan seperti sebuah bentuk eksperimen dan cenderung dipaksakan.

Melihat fenomena tersebut, apakah perlu kita mengadopsi sistem pendidikan dari beberapa negara lain termasuk Finlandia?

Jika menelisik pada sejarah, Finlandia sebenarnya yang telah mengadopsi sistem pendidikan kita. Indonesia lebih dulu menjalankan sistem pendidikan yang saat ini dilakukan oleh Finlandia. Ki Hajar Dewantara menerapkan sistem standarisasi pendidikan secara proporsional sebagai hal yang paling mendasar dalam pengembangan pendidikan.

Sistem among yang merangkum asah, asih, asuh dalam pendidikan juga digagas oleh Ki Hajar Dewantara yang merupakan bentuk dari konsep memanusiakan manusia. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the hand).

Begitu pula dengan tidak diberlakukannya sistem peringkat pada pendidikan di Finlandia. Ki Hajar Dewantara sudah lebih dulu melakukannya dengan cara menghargai keunikan karakteristik pada masing-masing anak. Tak ada anak yang lebih menonjol satu dengan lainnya karena pada dasarnya anak memiliki keunikan masing-masing dalam diri mereka. Menurutnya, keunikan yang ada pada setiap anak baik dalam hal kemampuan, bakat, ataupun keahlian seharusnya diapresiasi dan difasilitasi dengan baik. Ki Hajar Dewantara juga menyatakan tidak baik menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan.

Bahkan dalam pengajaran, Ki Hajar Dewantara juga menggunakan metode mengajar 3N (Niteni, Neroke, Nambahi). Di mana metode ini diaplikasikan oleh Finlandia dengan istilah “Belajar di Alam”. Dua metode ini pada prinsipnya sama yaitu dengan cara Niteni atau mengamati secara langsung apa yang akan dipelajari oleh siswa, kemudian Niroke atau meniru hal-hal yang sudah diamati terlebih dahulu dan pada akhirnya Nambahi atau memodifikasi hingga menjadi sesuatu hal yang lebih baru.

Konsep pendidikan maupun metode mengajar yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara sesungguhnya masih terus relevan digunakan meskipun zaman terus mengalami perkembangan. Namun, pada praktiknya lembaga pendidikan formal di Indonesia menjalankan sistem pendidikan dengan berbagai kekakuan dan keseragaman termasuk assessment pada siswa. Lembaga pendidikan formal tidak lebih sebagai tempat untuk mencetak robot-robot pintar yang sebatas siap jadi tenaga kerja, atau sekadar menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan industri. Bentuk nyata lainnya adalah tidak adanya kemerdekaan dalam belajar.

Menurut Ngalim Purwanto, belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.[1] Perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.

Belajar tercipta akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar jika dapat menunjukkan perubahan perilakunya dan hal tersebut tentu saja melalui proses trial and error.

Dengan demikian muncul sebuah pertanyaan, apakah kita masih yakin bahwa pendidikan di Indonesia mampu mengakomodir kebutuhan seorang anak untuk belajar?

Seiring pesatnya informasi yang hadir melalui berbagai media, tak sedikit pola pikir masyarakat khususnya orang tua mulai bergeser tentang pendidikan. Beberapa di antaranya mulai merasa adanya ketidakpercayaan pada lembaga pendidikan formal dan memutuskan mencari alternatif lain. Salah satunya adalah homeschooling.

Homeschooling merupakan pendidikan nonformal yang bisa dijadikan alternatif untuk membantu seseorang memenuhi kebutuhan pendidikan dan secara luas meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Homeschooling atau “sekolah rumah” didefinisikan sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar dan terencana dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk, dan komunitas di mana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang secara maksimal.[2]

Sumardiono berpendapat bahwa homeschooling adalah model pendidikan saat keluarga memilih untuk menyelenggarakan sendiri dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Homeschooling atau sekolah mandiri adalah ketika anak-anak tidak tergantung pada sistem sekolah formal yang ada sekarang. Tetapi memutuskan sendiri (bersama orang tua sebagai mentornya) mengenal apa yang dipelajari, bagaimana cara belajar waktu belajar dan di mana proses belajarnya.[3]

Homeschooling juga salah satu alternatif bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan pendidikan sekolah formal terkait dengan fasilitas yang kurang memadai, guru yang kurang menguasai materi sehingga menyajikan metode belajar yang monoton dari tahun ke tahun, atau kurikulum yang selalu membingungkan bagi pelaku pendidikan baik guru maupun siswa itu sendiri.

Sama halnya dengan pendidikan sekolah formal, Homeschooling juga menggunakan kurikulum yang digunakan oleh pendidikan formal, namun jauh lebih luwes karena pendidikan nonformal ini memiliki kebebasan untuk memodifikasi dan mengembangkan lagi kurikulum tersebut berdasarkan kebutuhan, minat, dan bakat anak. Dari sisi pemenuhan kebutuhan bersosialisasi, mereka membentuk sebuah komunitas yang berasal dari para homeschooling majemuk.

Dengan adanya alternatif yang bisa dipilih sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia yang unggul, bukan berarti pemerintah bisa berhenti pada rasa puas dengan kualitas yang selama ini nampak pada pendidikan formal di Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi sebuah tantangan sekaligus kritik tidak langsung pada pemerintah untuk memberikan hak dan layanan pendidikan yang layak dan terbaik. Tidak untuk sebagian masyarakat saja, namun dapat dirasakan bersama-sama secara merata. [*]

[1] M. Ngalim Purwanto. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

[2] Permendikbud Nomor 129 tahun 2014

[3] Sumardiono. 2014. Apa Itu Homeshooling. 35 Gagasan Pendidikan Berbasis Keluarga. Jakarta: Panda Media

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post