Ludiazzuhri

Guru di SDIT Al Fatih Cipayung Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Seorang guru yang mulai kecanduan dengan dunia tulis menulis, ketika di amanahi sebagai PJ Litera...

Selengkapnya
Navigasi Web
Harapan Untuk Raras

Harapan Untuk Raras

Harapan Untuk Raras

Oleh : Ludiazzuhri

Kuusap perutnya yang membuncit. Tidak tega melihatnya mengerang – ngerang kesakitan. Air mata yang membasahi pipinya, seakan – akan bagaikan serpihan pecahan kaca yang menusuk hatiku. “ Nggnggg….nganggg…” Suaranya mengerang membuatku tak bisa menahan air mata ini. “ Sabar ya Raras…”. Ucapku pelan menahan kepiluan. Angin malam yang dingin seolah – olah kalah dengan panasnya hati menahan sakit. Kupeluk tubuhnya semakin erat.

Raras adalah putri pertamaku. Ia memang tidaklah seperti anak – anak lain. Ia adalah anak yang mengidap donw sindrom dari sejak lahir. Kemampuannya berkomunikasi hanya dengan bahasa isyarat. Ia tidak mampu berbicara dengan jelas. Meskipun begitu aku sangat menyayanginya sepenuh hati. Walaupun ketika kami mengajaknya bepergian banyak yang nyinyir melihatku. Aku yang lumayan cantik, kerjaanku juga lumayan di salah satu perusahaan bonafit di ibukota. Namun begitu aku tak pernah merasa malu, Raras adalah permataku. Dia yang membuatku merasa menjadi ibu untuk pertama kalinya, sebelum adik – adiknya lahir.

Aku berangkat bekerja jam 06.00 pagi, dan pulang jam 21.00 sampai rumah. Terpaksa kutinggal tiga putri kecilku bersama suami yang beberapa bulan lalu di PHK untuk mencari nafkah menggantikan suamiku. Karena zaman sekarang mencari pekerjaan tidaklah mudah. Terlebih lagi umur sudah di atas 35 tahun. Kunikmati dan kujalani apa yang aku dapatkan sekarang. Meski terkadang aku merasa lelah. Namun ketika weekand tiba kumanfaatkan betul – betul waktuku untuk menemani ketiga putriku, terutama Raras. Kusisihkan penghasilanku untuk terapi Raras. Aku tidak berharap dia bisa sempurna seperti anak – anak yang lain. Tapi minimal dia bisa berkomunikasi, sebagai bekal untuk dia dewasa nanti.

Hingga pada suatu hari perusahaan memindah tugasku ke kantor cabang di Serpong. Hal ini membuatku semakin jauh, dan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam perjalananku ke kantor. Aku harus berangkat sebelum shubuh untuk menghindari kemacetan. Dan aku baru sampai rumah sekitar jam 22.00 atau 23.00. Interaksiku sama anak – anak semakin banyak berkurang. Namun apa daya, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku ini. Aku tak mempunyai pilihan lain. Aku membutuhkan pekerjaan ini untuk biaya hidupku, anak – anakku dan keluargaku. Suamiku yang belum juga mendapat pekerjaan, saat ini aku tak bisa diharapkan. Meskipun sudah kucoba beri modal untuk usaha, namun tak juga melihatkan hasil. Sehingga kami membuat kesepakatan aku yang terpaksa bekerja, sedangkan suamiku menjaga anak – anak. Namun seiring waktu aku merasa pada titik lelah yang selalahmya. Aku merasa ingin lepas dari pekerjaan ini. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, sama seperti ibu – ibu yang lain. Aku ingin mendampingi anak – anakku belajar. Terutama Raras, ia membutuhkan kehadiranku. Apalagi umurnya sudah mendekati masa – masa pubertas. Aku tidak bisa membayangkan kalau ia mendapatkan haid untuk pertama kalinya, tanpa ada aku ada di sisinya.

“ Pah…maafkan aku, aku sudah merasa lelah untuk bekerja seperti ini terus menerus, Apalagi sekarang aku dipindahkan ke Serpong. Aku harus pergi pagi – pagi, dan sampai rumah hampir tengah malam. Aku cape pah… sepertinya aku ingin berhenti dari pekerjaanku sekarang, aku ingin menjadi ibu rumah tangga seperti ibu - ibu yang lain. Aku ingin membantu Aira mengerjakan PR, Aku ingin melihat perkembangan Icha, Dan aku ingin merawat Raras dengan tanganku sendiri.” Kataku suatu hari pada suamiku. Aku tidak peduli, ia akan marah atau tidak. Seharusnya ini adalah tugasnya. “ Tapi mah…aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap, bagaimana untuk biaya kehidupan kita sehari – hari?”. Jawab suamiku sedikit kaget mendengarku mengatakan itu. Kulihat dia menarik nafas panjang. “ In sya Allah nanti ada jalan pah, Allah tak akn membiarkan hambanya kelaparan. Aku bisa sambil jualan sosis, jus atau apa aja yang penting halal dan bisa buat biaya makan sehari – hari. “ Ucapku meyakinkan. “ Baiklah mah…aku ga bisa memaksamu untuk terus – terusan mencari nafkah, seharusnya memang ini tugasku, aku lihat kamu sekarang juga tambah kurus.” “ Jawab suamiku dengan wajah penuh penyesalan. “ Maafkan aku mah…” Tambah suamiku sambil dengan parau. Aku paham perasaannya, namun harus bagaimana lagi, aku sudah tak sanggup, karena kecapaian aku juga jadi sering sakit akhir – akhir ini. Aku tak ingin membiarkan diriku sendiri sakit, karena anak – anaku masih membutuhkanku. Walaupun gaji yang kudapat lumayan besar, dan mampu menghidupi kami sekeluarga, tapi aku tak mau kehilangan waktuku dengan anak – anakku

Akhirnya aku resmi keluar dari tempatku kerja. Aku kini bisa mendampingi anak – anaku, terutama Raras. Namun fakta yang kubayangkan indah, tak seindah bayangan. Tabunganku yang lama – lama menipis untuk biaya hidup karena tidak ada pemasukan. Sebagian tabungan kujadikan modal untuk berjualan juga belum balik modal. Bahkan akhirnya aku gulung tikar, karena penghasilan perharinya tidak nutup. Aku mencoba buka usaha lagi dengan berjualan sosisi di teras rumah , dengan tujuan lebih agar mudah untuk memantau Raras.

Hingga pada suatu hari aku perhatikan Raras badannya kok tambah kurus. Untuk makan juga tidak selahap biasanya. Karena cemas melihat Raras yang kondisinya memburuk. Akhirnya kuhentikan usahaku untuk berjualan. Kualihkan perhatianku secara penuh untuk Raras. Secara otomatis pemasukan untuk kebutuhan sehari tidak ada sama sekali. Kupasrahkan pada pemilik rizqi Allah ta’ala. Dan Alhamdulillah suamiku akhirnya mendapatkan pekerjaan, sebagai pengemudi ojek online. Aku sangat bersyukur untuk itu. Paling tidak untuk makan sehari – hari ada yang harus dimasak. Meskipun akhir – akhir ini suamiku sehari hanya membawa uang sebesar Rp. 40.000 – 50.000 tetap aku syukuri.

Dan malam ini, aku tak bisa menghentikan air mataku ini. Mendengar erangan dari Raras, yang merasa kesakitan. Perutnya semakin membuncit. Tak tega rasanya melihatnya mengerang seperti itu. “ Maafkan mama Raras….mama nggak mampu membawamu kedokter. Seandainya mama masih kerja mama akan bawa kamu ke dokter yang paling bagus nak…” Seruku sambil sesenggukan, memeluk Raras. Seakan mengerti mamanya bersedih, Raras mengusap air mataku dengan tangannya. “ Ya Allah kenapa tidak kau berikan rasa sakitnya kepadaku, dia yang sudah tidak sempurna dan seorang yang tidak berdosa, namun masih saja mendapatkan rasa sakit ini. “ Rintihku dalam hati. Penyesalanku untuk bersikukuh keluar dari kerja, seakan menusuk relung hati. Seandainya aku tidak keluar kerja, aku pasti bisa membiayai pengobatan Raras. Maafkan Mama Raras…

Bersambung….

BAD 16 Maret 2018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sip. Beban Memikul amanat moga kuat. Salam.

17 Mar
Balas

Terima kasih pak, semoga mama Raras senantiasa kuat

17 Mar



search

New Post