emak
E M A K
Oleh: Lumaksono
Klak kluk klak kluk… suara sepatu terdengar nyaring di pagi buta. Suara yang cukup teratur dan kian keras itu telah membuatku terbangun. Dengan malas aku berusaha membuka mata. Samar-samar, dengan kelopak setengah terbuka aku melihat beberapa orang berseragam putih-putih mendorong tempat tidur. Di atasnya terbaring sesosok tubuh yang tertutup rapat oleh kain putih. Innalillahi wa inna illaihi rojiun, meninggal dunia. Aku mencoba memejamkan mata kembali. Ya, mata ini masih sangat berat untuk membuka kelopaknya. Tetapi, walaupun mata sudah kukatupkan begitu kuat, aku tak bisa tidur lagi. Hati dan pikiranku tak mau lagi istirahat.
Terpaksa aku bangkit duduk. Kugaruk kaki dan tanganku yang terasa gatal akibat gigitan nyamuk. Aku menggeliat kanan kiri sambil melemaskan otot punggungku yang terasa sakit akibat kerasnya bangku putih panjang yang aku jadikan tempat tidur. Kulihat jam, pukul empat. Sebentar lagi subuh menjelang. Beberapa orang keluarga pasien kulihat masih terlelap tidur. Bahkan ada diantaranya yang mendengkur. Aku hanya memandang iri sebab sudah beberapa hari ini aku tak pernah lagi bisa tidur nyenyak.
Sebentar kutengok emakku yang tengah terbaring lemah di ruang ICU, dadanya kulihat bergerak turun naik dengan sangat lemahnya, hampir tak terlihat. Di lubang hidungnya terpasang selang kecil dan di pergelangan tangannya sebuah jarum infuse menancap. Aku hanya bisa menatapnya dari luar sebab keluarga pasien tidak boleh menunggu di dalam. Selembar kaca bening menjadi penyekat antara emak dan aku.
Ingin sekali rasanya aku mengelus tangan emak, memijit kakinya dan mengusap kepalanya seperti yang selalu ia lakukan kepada anak-anaknya menjelang tidur, apalagi saat kami sakit. Aku masih merasakan betapa usapan tangan emak terasa sangat sejuk, sangat lembut sehingga aku merasa sangat nyaman. Waktu kami kecil, setiap menjelang tidur kami selalu berebut minta sekedar diusap-usap keningnya. Bahkan sering kali aku minta dipijiti. Emak memang sangat memanjakan kami. Walaupun jika bapak tahu hal ini, beliau akan sangat marah karena menurutnya kebiasaan dipijit menjelang tidur adalah sesuatu yang jelek, yang akan terus terbawa sampai tua. Sekarang kulit tangan emak yang dulu lembut, tampak keriput. Berat badannya yang semakin menyusut membuat kulitnya tampak mengendur.
Pagi ini kurasakan amat dingin, angin yang berhembus perlahan rasanya seperti menembus kulitku sampai jauh menembus relung hatiku. Membuat hatiku terasa pilu. Aku sedih memikirkan emak yang tak kunjung sembuh, bahkan sepertinya semakin memburuk. Tiba-tiba suara adzan membuyarkan lamunanku. Aku segera beranjak untuk memenuhi panggilan-Nya.
* * *
Semenjak bapak tiada, maka di rumah ini hanya tinggal kami berdua. Ketiga orang kakakku sudah berumah tangga dan semuanya tinggal di luar kota. Mas Agus merantau ke Jakarta, setelah tiga tahun menganggur sejak lulus STM. Sesaat sebelum meninggalkan Tegal, ia mengatakan padaku -hanya padaku- bahwa ia tak akan menginjakkan kaki di Tegal sebelum sukses hidup di Jakarta. Waktu itu aku menganggap itu hanya luapan emosi sesaat, dan aku yang waktu itu baru kelas satu SMP, hanya diam saja. Tetapi rupanya perkiraanku meleset karena sejak saat itu ia benar-benar tak pernah kembali. Bahkan saat mas Agus menikah pun yang sampai ke Tegal hanya beritanya, dan terakhir hanya fotonya. Bapak sangat geram dan emak sangat terpukul. Mereka tak pernah mengerti mengapa mas Agus sampai berbuat begitu. Sedangkan aku hanya dapat menduga, mas Agus tersinggung dengan kata-kata emak “Percuma jadi laki-laki kalau hanya nongkrong di rumah, jadilah panutan bagi adik-adikmu. Carilah kerja apa saja yang penting halal! Lihat Imam, temanmu itu, sekarang ia sudah bisa beli motor sendiri!”
Sekarang adalah tahun kedelapan mas Agus meninggalkan rumah. Selama itu pula hanya terjadi komunikasi searah, sebab mas Agus tak pernah memberitahukan alamatnya. Sehingga kami kesulitan untuk menghubunginya. Dulu pernah bapak mencoba mencari mas Agus di Jakarta dengan menghubungi beberapa orang Tegal yang tinggal di sana. Tetapi, sepertinya mas Agus lenyap ditelan Jakarta. Siapa yang sanggup mencari seseorang dalam perut Jakarta? Bahkan saat bapak meninggal pun, kami tak bisa menghubunginya. Jadi, mas Agus belum mengetahui kalau bapak telah tiada.
Saat lebaran pun, yang datang hanyalah sebuah kartu. Ketika takbir berkumandang dari langgar dan mesjid di kampung kami, aku melihat wajah emak berubah menjadi murung. Sangat kontras dengan wajah kebanyakan orang yang selalu menyambut hari kemenangan dengan suka cita. Suara bedug yang bertalu-talu mengiringi takbir, tak mampu menghapus kesedihan dari wajah emak. Sebenarnya aku maklum juga melihat emak sedih, sebab setelah ayah meninggal, setiap lebaran hanya aku yang setia mendampingi emak.
Dua orang mbakyuku juga tidak bisa hadir. Mbak Sri selalu berlebaran di Anyer, di rumah mertuanya. Entah mengapa, mbak Sri sepertinya enggan untuk menginjakkan kaki di rumah emak. Alasan yang disampaikannya mengapa ia tak pernah lagi ke sini adalah ketiadaan ongkos. “Anyer – Tegal membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Sedangkan penghasilan kang Hendar hanya cukup untuk makan tiap hari, jadi kami tak punya tabungan untuk ke Tegal.” Begitu alasan yang pernah disampaikan lewat suratnya. Suatu alasan yang menurutku terlalu mengada-ada. Sebegitu melaratkah kehidupan mereka? Sehingga tak ada uang untuk menengok emak?
Mbak Retno, sudah beberapa tahun, atau beberapa kali lebaran juga tidak muncul di rumah emak. Padahal, sesuatu yang paling dirindukan emak saat lebaran, apalagi setelah kepergian bapak, adalah kedatangan anak-anaknya untuk berkumpul di tanah leluhur. Menciptakan kegembiraan di rumah keluarga, seperti yang pernah kami rasakan ketika kami semua masih anak-anak. Akan tetapi dengan berbagai alasan, mbak Retno selalu berusaha menghindar untuk berkumpul kembali dengan emak.
Katanya, suaminya tak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama, sedangkan ia tak berani sendirian menyeberangi laut Jawa, dari Kalimantan ke Tegal. Maka, ia pun hanya mengirim surat. Terkadang juga mengirim wesel untuk emak, walaupun hanya setahun sekali dan dalam jumlah sedikit. Tetapi emak sama sekali tidak senang menerima kiriman mbak Retno, walaupun hidup kami hanya mengandalkan uang pensiun bapak.
“Bukan uang yang aku butuhkan. Emak hanya ingin mereka mengerti bahwa emak benar-benar masih ada!” Itulah kata-kata emak ketika wesel tiba, sambil melemparkannya ke atas meja. Suatu pertanda bahwa emak betul-betul tidak suka.
“Kembalikan saja wesel itu ke mbakyumu!” emak berkata sambil matanya menerawang ke luar jendela. Ke bawah pohon mangga, di sana seekor induk ayam sedang bercengkerama dengan anak-anaknya. Si induk sibuk mengais tanah, sedangkan anak-anaknya berebut mematuki remah-remah di tanah. Di atasnya beberapa ekor burung berkicau riang terbang dari satu dahan ke dahan lain. Tetapi cericit kicauannya menjadi melodi yang manyayat hati. Emak semakin tenggelam dalam kesedihan.
Aku sendiri menjadi bingung. Di satu sisi aku butuh uang juga untuk sekadar membeli baju baru atau untuk mengecat rumah yang sudah mulai kusam. Namun aku tidak tega melihat kekecewaan dan kesedihan membayangi wajah emak. Aku sama sekali tak ingin menambah kecewa emak. Akhirnya kuputuskan untuk menyimpan uang dari mbak Retno tanpa sepengetahuan emak.
Kekecewaan dan kesedihan emak kali ini ternyata berkepanjangan. Akhir-akhir ini emak lebih sering berbaring di tempat tidur. Tidak seperti biasanya yang selalu gesit bersih-bersih rumah. Emak masih suka menyapu halaman, lantai, dan memberi makan ayam-ayam piaraan kami yang cuma beberapa ekor. Sekarang semua pekerjaan itu tak dilakukannya. Aku perhatikan juga, emak kurang nafsu makan. Segelas teh manis yang selalu kusediakan tiap pagi pun baru habis menjelang siang.
Aku menjadi cemas. Emak juga mengeluh perutnya sakit. Mungkin inilah yang menyebabkan emak tidak nafsu makan.
“Tolong, En, ambilkan minyak angin dan gosokkan di perut emakmu!” Sebagai perempuan yang sudah berumur, emak memang selalu sedia minyak angin yang digunakan untuk segala macam penyakit, seperti kebanyakan orang di kampungku. Jika pusing, maka cukup digosok minyak angin dan akan segera sembuh. Kalau digigit nyamuk dan kulitnya bentol-bentol, tinggal diolesi minyak angin, maka dalam beberapa saat akan hilang rasa gatal dan bentol-bentolnya. Begitu pula bila sakit perut. Pendeknya, semua bisa diatasi dengan minyak angin, tanpa perlu ke dokter atau puskesmas.
Namun, untuk kali ini sakit perut emak tak mempan lagi oleh minyak angin. Maka emak minta disediakan botol berisi air panas untuk ditmpelkan atau diusap-usapkan diperutnya. Rasa hangatnya diharapkan dapat meresap ke bawah kulit dan masuk ke dalam perut untuk mengusir angin jahat yang kata emak bersemayam dalam perutnya. Tetapi, rasa sakitnya hanya hilang sesaat untuk kemudian timbul kembali.
Aku menjadi semakin khawatir, sebab ternyata sudah lebih dari tiga hari emak belum buang air besar, padahal biasanya hal itu dilakukan tiap pagi hari secara rutin. Tubuh emak menjadi semakin lemas, suhu tubuhnya juga naik, hingga akhirnya aku putuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Setelah terlebih dulu bersitegang dengannya. Aneh, bersitegang dengan orang tua yang sedang sakit. Tetapi memang begitulah adanya. Emakku ngotot tidak mau dibawa ke rumah sakit.
“Sudahlah, tak perlu kau repot-repot membawa emak ke rumah sakit. Nanti juga akan sembuh sendiri, paling hanya masuk angin gara-gara kemarin terlambat makan.”
“Tetapi, sudah dua hari, lho, Mak! Kalau masuk angin biasanya sehari sudah sembuh.”
“Kalau bukan masuk angin, lalu masuk apa?” emak berusaha mencairkan ketegangan yang tergambar di wajahku, “sudahlah, lebih baik kau buatkan emak teh pahit panas, buatkan juga telur setengah matang, rasanya sudah lama emak tak merasakan telur setengah matang buatanmu!”
Akhirnya aku hanya menurut saja. Aku kerjakan apa yang diminta emak. Dulu, almarhum bapak sering dibuatkan telur setengah matang dan secangkir teh pahit di pagi hari oleh emak. Setelah bapak tiada, giliran aku yang sering membuatkannya untuk emak. Aku jadi ingat, makanan ini pula yang terakhir bapak santap sebelum akhirnya sakit dan menghembuskan nafas tanpa melalui penderitaan panjang. Aku jadi takut.
Sepertinya peristiwa itu akan berulang, sebab beberapa saat setelah menghabiskan telur setengah matangnya, emak kelihatan tak berdaya di atas tempat tidur. Tubuhnya semakin lemah. Aku bingung. Sebagai perempuan, aku tak mampu berpikir dan bertindak jernih jika dalam keadaan seperti ini. Akhirnya dengan pikiran kalut dan perasaan yang tak menentu aku bawa emak ke rumah sakit. Disertai iringan doa agar Allah senantiasa melindungi emak. Semoga kejadian yang menimpa bapakku tak berulang kepada emak.
* * *
Aku tunggui emak di rumah sakit dengan hati mengambang, Tak tahu aku harus berbuat apa. Tak tahu dari mana dapat uang untuk biaya pengobatan yang pasti mahal karena emak langsung dibawa ke ruang ICU. Sementara kakak-kakakku belum ada yang muncul. Tak ada tempat untuk bertukar pikiran, tak ada tempat untuk mengadu. Maka aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah di mushola yang kebetulan dekat dengan ruang emak dirawat. Jika jam kunjung tiba dan aku diperbolehkan masuk, aku sempatkan untuk mengingatkan emak agar selalu ingat kepada Allah dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang aku hafal.
“Ya, Allah. Sekiranya hidup adalah yang terbaik bagi emak, sembuhkanlah ia segera. Tetapi jika mati adalah yang terbaik baginya, ambillah emak tanpa melalui penderitaan panjang,” aku berdoa dalam hati sambil menatap emak yang semakin kuyu.
Aku pegang tangan emak yang terasa dingin dan tinggal kulit pembalut tulang, aku berdoa mengharapkan kemunculan mbak Sri dan mbak Retno yang sejak ibu sakit sudah aku kirimi telegram agar segera pulang. Aku ingin bicara dengan mereka tentang emak. Tentang penyakitnya dan semuanya. Kulihat wajah emak. Matanya tertutup, bibirnya agak terbuka, nafasnya terdengar agak serak. Akan datangkah mereka sebelum kejadian terburuk menimpa emak? Atau emak akan meninggalkan dunia ini tanpa diantar oleh anak-anaknya selain aku?
Tiba-tiba kulihat mata emak terbuka, memandang ke arahku mengisyaratkan agar aku mendekat. Dengan suara lirih dan sedikit serak, suara yang jauh berbeda dari biasanya, emak berbisik, “En…, rasanya emak sudah tidak kuat lagi. Pandai-pandailah kau menjaga diri. Baik-baiklah terhadap kakak-kakakmu. Sampaikan maaf emak kepada mereka jika bertemu. Dan jangan lupa, berikan hak-hak mereka atas peninggalan emak.” Aku tak menjawab. Sepertinya ada sesuatu yang menghalangi bibirku untuk berucap, apalagi kulihat mata emak kembali terkatup. Aku tak ingin mengusik kedamaiannya. Ah, emak, dalam keadaan seperti ini kau masih ingat mereka. Sedangkan mereka, hingga saat ini pun tak mau datang.
Aku seperti mendengar kata-kata perpisahan. Aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam suara emak. Untuk orang dalam keadaan seperti emak, kata-katanya sangatlah jelas. Aku menjadi semakin takut. Aku tak mampu berkata apa-apa. Dadaku bergemuruh. Aku genggam tangan emak erat-erat, aku tempelkan di pipi, kucium tangan itu sambil terus berusaha berdoa. Aku bisikkan kalimat La ilaha illallahu Muhammadurrasulullah berulang-ulang di telinga emak. Aku ingin agar kata-kata terakhir yang emak dengar adalah kalimat tauhid. Aku juga ingin emak bisa mengucapkan kalimat ini di akhir hayatnya, agar menjadi khusnul khotimah.
Seketika, antara sadar dan tidak, antara harapan dan keputus-asaan, aku merasakan kehadiran sesuatu diantara kami. Sesuatu yang tak dapat kujelaskan. Sesuatu itu mendekati emak, dan emak tersenyum. Dalam sekejap terasa seperti ada cahaya putih melesat. Ruangan menjadi terang oleh cahaya keemasan. Udara pun terasa nyaman. Aku hanya diam terpaku. Sampai sesuatu yang lain mengejutkanku.
Ternyata, mbak Sri, mbak Retno dan seorang laki-laki yang agak gemuk dengan wajah mirip mas Agus muncul. Seketika mereka memeluk emak. Dan pecahlah tangis mereka yang keras. Sementara aku hanya diam membisu dengan sejuta tanya di dada. “Untuk apa mereka menangis?”
Tegal, 2006
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
http://lumaksono.gurusiaerpen yang menginspirasi kisah tentang Emak, tak akan pernah habis. Salam literasi