Benarkah Kurikulum Merdeka Yang Merusak Generasi Penerus Kita?
Kemunduran kualitas pendidikan kita yang diungkap oleh beberapa konten kreator beberapa minggu ini menjadi viral, kemudian mengundang banyak komentar dari berbagai kalangan. Mulai dari para pelaku pendidikan itu sendiri, yaitu siswa dan guru, hingga orang awam dan para ahli, pengamat, politisi, hingga Pejabat Tinggi Negara.
Quote yang saya unggah sebagai status, sebenarnya hanyalah salah satu bentuk introspeksi diri sebagai seorang guru, sebagai pendidik dan pengajar yang secara langsung berperan dalam membentuk karakter siswa sebagai calon penerus generasi bangsa ini.
Tanggungjawab Pribadi Guru
Otomatis, dalam hal pendidikan di sekolah, guru memiliki tanggung jawab langsung ketika karakter siswanya tak sesuai dengan tujuan dilaksanakannya pendidikan oleh guru. Apalagi, tujuan tersebut sudah tertulis di dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan administrasi pembelajaran lainnya.
Terkait dengan tanggung jawab, kita mengenal adanya konsekuensi atas apa yang telah dilakukan, baik konsekuensi positif maupun negatif. Konsekuensi tersebut pengenaannya didasarkan pada dasar pelaksanaannya. Jika didasari oleh hukum, maka konsekuensinya juga didasarkan pada hukum yang berlaku.
Dalam hukum Islam atau Fiqh, pelaku yang dengan tangannya secara langsung melakukan suatu perbuatan, maka dialah penanggung jawab perbuatan tersebut, sekalipun atas perintah orang lain. Adapun orang yang memerintahkan, tanggungjawabnya hanya sebatas "telah memberikan perintah".
Dengan analogi tersebut, guru tidak bisa melemparkan tanggungjawabnya kepada atasan, baik atasan langsung ataupun pada hierarki yang lebih tinggi, misalnya kepala dinas, kepala kanwil, sampai menteri dan presiden. Atasan tidak menanggung akibat atau konsekuensi atau kesalahan yang dilakukan oleh guru secara langsung. Misalnya, dalam hal menuliskan nilai rapor siswa, yanģ memberikan nilai kepada siswa untuk ditulis di buku raport adalah guru, maka tanggung jawab sepenuhnya ada pada guru.
Apabila (misalnya) kepala sekolah yang memerintahkan guru memanipulasi nilai, dengan bahasa halus, "markup", maka dosa melakukan markup tetap ditanggung oleh guru. Dosa kepala sekolah dan atasan yang lebih tinggi hanya memberi perintah yang salah. Terlepas dari ukuran besar kecilnya konsekuensi, yang tentunya telah diatur dalam hukum tersebut.
Uraian di atas hanya berdasarkan pengetahuan yang saya miliki, sangat subyektif. Ini mirip gaya penjelasan atau argumentasi Guru Gembul, bedanya hanya pada lingkup dan tujuan pemaparan. Pendapat saya hanya untuk saya pribadi, meski dipublikasikan di media publik. Dan, saya terbuka untuk menerima koreksi jika pendapat saya ini keliru, dan tak perlu diperdebatkan.
Tanggungjawab Publik
Selain saya, yang "kebetulan" berstatus sebagai guru, tanggung jawab Anda mungkin juga ada terkait kemunduran kualitas pendidikan ini. Orang tua siswa sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas pendidikan anak, tentunya punya peran besar dalam membentuk karakter anak.
Hampir semua keluarga memiliki atau pernah memiliki anak yang belajar di sekolah. Sebelum dan sesudah bersekolah, anak berada di tengah keluarga dan masyarakat. Mereka belajar kehidupan secara langsung dan mengadopsinya, kendali sepenuhnya ada pada orangvtua dan masyarakat.
Masyarakat modern pergaulannya tak lagi dibatasi ruang dan waktu, meski seharian di rumah, bahkan di kamar, anak jaman modern jangkaùan pergaulannya mampu menjangkau sisi lain muka bumi. Di sinilah peran orangvtua dan masyarakat dalam memberikan pelajaran kepada anak.
Contoh sederhananya, status yang saya unggah di facebook, ketika dibaca oleh anak-anak, mungkin saja ditafsirkan berbeda, dan orang tua tidak tahu bahwa anak di rumah mengakses pengetahuan yang saya unggah dan mengadopsi pemahaman sesuai interpretasinya sendiri.
Dalamnhal ini, saya sebagai warga masyarakat harus bertanggung jawab atas unggahan di media sosial, dan orang tua harus bertanggung jawab karena telah memberikan akses anak pada media sosial. Media sosial, kendalinya ada pada regulator alias pembuat aturan, yakni pemerintah. Merekalah yang mengatur mana-mana yang boleh danbtidak ditampilkan di ranah publik untuk diakses oleh publik.
Disclaimer dan peringatan berupa ketentuan layanan yang ditayangkan oleh konten kreator biasanya dilandasi oleh klaim hukum yang cukup kuat. Dengan begitu tanggung jawab teralihkan sepenuhnya pada anak (yang masih dalam tanggungan orangbtua).
Bagaimana dengan kurikulum yang selama ini sering disebut dan dikambinghitamkan?
Dari tiga komponen utama pendidikan, sebagaimana disebut dalam UU Sistem Pendidikan, yaitu Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, mereka semua memiliki tanggungjawabnya masing-masing. Kurikulum adalah salah satu komponen dari sistem yang tanggung jawabnya memiliki hierarki, alias bertingkat, dari pusat hingga satiuan pendidikan (sekolah)
Kita kembali pada analogi fiqh di atas, ketika bicara kualitas pendidikan individual seorang siswa di sekolah, guru punya tanggungjawab besar, dan ketika bicara kualitas pendidikan secara umum (nasional) ya pemegang otoritas pendidikan nasional. Tanggung jawab masyarakat ada pada pengkondisian lingkungan pergaulan yang mendukung pendidikan yang ditunjang oleh kemauan (Political will) pemerintah melalui departemen terkait.
Begitu kira-kira.
Klimbungan, 202411062204
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kurikulum merdeka namanya meski di fahami secara berbeda sehingga memang banyak hal yg berubah tanpa siap menerima efeknya
Terima kasih komentarnya, Pak. Kemerdekaan yang bertanggungjawab, itu penekaman yang selalu disampaikan dalam penjabaran awal. Kalimatnya sederhana, tapi implementasinya memang sangat berat. Seperti, "siswa harus naik kelas" sebenarnya ada syaratnya, yaitu ketika semua prosedur sudah dilaksanakan. Di lapangan, untuk membuat siswa paham itu perlu 4 sampai 5 kali remidi. Selain siswanya bosan, gurunya juga, bahkan lebih bosan. Pasahal remidial itu harus di luar jam mengajar. Akhirnya jalan pintas, dengan penugasan, jika ada tugas maka niai keluar. Beres. Perkara dia belum paham bukan urusannguru, prosedur sudah dijalankan.
Semoga apa pun kurikulumnya, akhlak anak bangsa ini benar2 Pancasilais. Amiinn...
Aamiiin.Sebenarnya bukan kurikulumnya, tapi besarmya beban yang ditanggungkan pada sekolah melalui kurikulum dan pengelolaan kinerja gurunya.