Titik Nol Kilometer (4)
Cak Nun dan Malioboro
Kisah Cak Nun yang sering dibaca di koran harian tertua di Indonesia, "Kedaulatan Rakyat" alias "KR", meninggalkan jejak yang mendalam di benaknya. Emha Ainun Nadjib, menjadi nama yang lama memenuhi ruang tanya di tempurung berambut yang bertahta di lehernya. "Sebenarnya "Emha" itu aslinya dari singkatan M dan H atau dari nama Muhammad atau apa?" Begitu yang sampai pada akhirnya di kemudian hari disimpulkan sendiri, memang namanya Emha.
"Malioboro" dikenalnya melalui majalah anak-anak terbitan KR juga, "Gatotkaca", ketika belum menginjak bangku SMP, yang menjadi segmen majalah itu. Di salah satu sampulnya menampilkan ilustrasi dari cerita (cerpen) dua orang anak yang mengalami peristiwa aneh di jalan nan legendaris itu. Ilustrasi yang (tentu saja) dibuat dengan tangan, menggambarkan kedua anak yang tampak sedang cemas di salah satu sudut Jalan Malioboro. Suasana dalam gambar sangat hidup menampilkan horornya isi cerita.
Kesempatan terbaik untuk menyelami memori masa kecilnya secara mandiri terhadap kedua obyek itu hadir di tahun pertamanya menjadi warga Kotaraja. Meski hanya di pinggirannya, di sebuah kampung terdekat dengan kampusnya yang masuk wilayah Kabupaten Sleman. Sisi Selatannya berbatasan dengan salah satu kampung wilayah Kotaraja.
Usai kepulangan pertamanya ke rumah, ternyata saat kembali ke Kotaraja hari sudah senja, mirip suasana hari itu, tapi pada tiga dekade yang lalu. Senja, saat bus kota dan angkutan lainnya berkejaran ngandang (kembali ke kandang). Saat yang menggelisahkan para mahasiswa dan pelajar yang pulang sore, "masih adakah ada bus atau "kobutri" yang bisa ditumpanginya?"
Pengalaman berkali-kali di masa kecil Sang Pangeran digembleng dengan menyusuri sudut Kotaraja dengan kakinya telah menebalkan mentalnya. Bugisan, perhentian bus antarkota di pinggiran kotaraja sisi barat, adalah salah satu kampung yang terpatri di benaknya. Sosrowijayan, di mana Pojok Beteng Kulon menjadi ikon yang menempati memori melalui tangkapan retina saat mampir di kediaman salah satu kerabat. Dan di antara kedua tempat itulah Kampung Patangpuluhan.
Patangpuluhan, tak bisa lepas dari sejarah Emha, alias Cak Nun, alias Mbah Nun. Kampung di mana beliau didewasakan secara pemikiran, setelah dibesarkan oleh Tebuireng di Gontor. Sang pangeran menyimpulkannya demikian, dari ribuan tulisan yang pernah dibaca atau penuturan yang diutarakan.
Bukan kekuatan otot kaki yang membuat Sang Pangeran meniti dan menapak tilas jejak, namun rasa cinta dan hasrat yang tak mudah patah oleh rintangan. Perjalanan memutari area Kotaraja melalui sisi Barat hingga Selatan bukanlah jarak yang dekat. Dari Pojok Beteng Kulon masih harus melalui Plengkung Gading, Alun-Alun Kidul, Tamansari, dan Alun-alun Utara.
Sampailah di titik itu, tempat di mana setelah kira-kira sepuluh menit berjalan dari "Pagelaran", Gedung terdepan dari Keraton, Pusat Pemerintahan Sisa Kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Titik yang dulu lebih familier dengan "Perempatan Kantor Pos" atau "Senisono".
Bersambung....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Pak. Salam literasi
Alhamdulillah... terima kasih, Pak Dede, salam literasi kembali.
Kereeen cerpennya, Pak. Salam literasi
Keren menewen Mas gagah, membuat banyak tanya, bagaimana kelanjutan kisahnya.. Lanjuuut. Sukaes selalu
Alhamdulillah, makasih Mas Bagus, sukses selalu juba untuk Mas Hadinya..
Kereeeeen. Meski galfok sama gambarnya
Hahahaa... jangan terlalu fokus, Bum gambar ilustrasi hanya sekedar teknik nitip file gratisss... hihi
Kenangan yg indah. Jogja memang istimewa ya, Dik?
Luar biasa pokoknya, mbak, Butuh perjuangan istimewa juga tuk diterima jadi warganya.