Pilu Hati Sang Bunda
(Krek…krek…krek…) suara pintu dibuka.
‘’Ibu, bangun Bu. Waktunya salat subuh.’’ Sambil mengurai rambut bu Hamidah, Edi membangunkan.
‘’Iya.’’ Jawab bu Hamidah.
‘’Ibu kenapa matanya bengkak? Nangis lagi ya?’’
‘’Nggak, ibu hanya tak bisa tidur semalam.’’
‘’Edi, panggilkan Tia dulu ya?’’
‘’Edi, kenapa bukan kamu saja yang mengganti pampers ibu.’’
‘’Ibu…, Edi sudah pernah bilang, malu lah Bu. Edi itu laki-laki. Wudhu’ dan pasangin mukenah, biar Edi. Ok!’’ sambil menunjukkan jari jempolnya.
Bu Hamidah terdiam. Tidak mungkin juga bu Hamidah cerita pada anak sulungnya ini, tentang perlakuan Tia, istri Edi. Karena, Tia baik saat Edi sedang bersamanya. Tentu, Edi tidak akan percaya. Apa lagi, rumah dan 3 butik milik Edi sudah dialihkan atas nama Tia. Edi juga selalu menurut dan agak takut pada Tia.
Seluruh keluarga berkumpul di ruang makan. Mereka semua menyantap makanan yang telah disajikan oleh Tia, kecuali bu Hamidah. Saat seluruh keluarga sudah sarapan, Edi berpamitan.
‘’Ibu, Edi berangkat dulu ya, sambil ngantar anak-anak juga. Ibu makannya disuaipin Tia ya!’’ sambil mencium tangan ibunya.
‘’Edi, apa gak bisa di sini dulu?’’ pinta bu Hamidah.
‘’Maaf Bu, Edi seorang ASN, jadi gak boleh telat.’’ Edi mencoba menjelaskan.
‘’Sepulang Edi nanti, ibu mau telfon Endah ya?’’ dengan suara lirih bu Hamidah sambil berbisik.
‘’iya.’’ Jawab Edi.
Setelah Edi berangkat, tinggallah Tia dan bu Hamidah di rumah itu. Setengah jam kemudian, Tia sudah siap untuk pergi mengurus butik.
‘’Ibu, makan sendiri ya! Tia mau berangkat ke butik. Lagian tangan ibu gak sakit, yang sakit kakinya.’’ Tia mulai mengeluarkan kata-kata kasar.
Bu Hamidah, menahan amarah. Kakinya tidak bisa lagi digerakkan. Kelumpuhannya membuat dia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, yang lebih menyakitkan bagi bu Hamidah adalah semua anaknya kini jauh darinya dan menantu yang kurang peduli serta kata-kata yang selalu kasar terhadapnya.
‘’Apa tidak ada tetangga ke sini?’’ tanya bu Hamidah pada Tia.
‘’Ibu pikir, di sini kampung kayak di rumah Ibu dulu. Orang di sini semua pada kerja Bu. Lagian, siapa juga yang mau menemani Ibu dalam keadaan lumpuh. Nanti malah merepotkan orang lain.’’ Tia mulai mengomel.
‘’Udah lah Bu, kalau butuh apa-apa, Ibu bisa mendorong sendiri kursi rodanya. Tia berangkat dulu.’’ Sambil membanting pintu Tia meninggalkan Bu Hamidah sendiri di kursi roda.
Bu Hamidah kembali ke rutinitas. Dia tersungkur dalam kesepian, air mata kembali mengalir di pipinya yang sudah tidak kencang lagi.
Tin..tin…
Suara klakson sepeda, membuat bu Hamidah terbangun dari tidurnya. Lagi-lagi dia tertidur di kursi roda tempatnya mengadu luka. Sembari mendorong roda dengan tangan, bu Hamidah menyambut Edi di depan pintu.
‘’Assalamu’alaikum Bu?’’ Edi berkata sambil mencium tangan ibunya.
‘’wa’alaikum salam.’’ Jawab bu Hamidah.
‘’Ibu pasti nungguin Edi ya buat telfon Endah.’’ Sambil menyentuh HP melakukan panggilan VC.
‘’Hallo Ndah, ini Ibu mau ngomong.’’ Edi menyapa Endah seperti sapaannya waktu masih kecil.
‘’Ini Bu, Endah sudah Edi VC. Edi taroh tas dan ganti baju dulu sebentar ya bu?’’ Sambil berlalu meninggalkan Bu Hamidah
‘’Assalamu’alaikum Bu.’’ Ucap Endah
‘’Waalaikum salam, bagaimana kabarmu Nak?’’
‘’Baik Bu, ada apa Ibu telfon Endah?’’
‘’Ibu ingin ikut kamu Endah?
‘’Memangnya kenapa Bu? Mohon maaf Bu, Endah belum bisa menjadi anak yang berbakti. Bahkan, hingga kali ini. Endah ada di perantauan Bu. Endah tidak mungkin membawa Ibu ke sini. Nanti Ibu malah tambah sakit.’’ Endah mencoba menjelaskan semampunya.
‘’Ibu tidak kuat lagi disini Endah.’’ Suara bu Hamidah lirih dan mulai bergenang air mata.
‘’Ibu, jangan menangis dong!!’’ Rajuk Endah. Endah pun mulai menangis.
‘’Begini saja, bagaimana kalau Ibu ikut adik Andin ke Samarinda? nanti Endah yang bilangkan ke kak Edi dan adik Andin.’’ Lanjut Endah.
‘’Terserah kau saja, yang penting ibu pergi dari sini.’’ Jawab bu Hamidah.
Tak lama kemudian, Edi datang.
‘’Ini, Endah mau bicara. sambil memberikan HP, Bu Hamidah mengelap matanya yang basah dengan sapu tangan abu-abunya.
‘’Iya Ndah.’’ Tanya Edi.
‘’Ibu antarkan ke Samarinda ya kak, biar kita semua sama-sama bisa merawat Ibu.’’ Pinta Endah.
Edi terdiam sejenak, ‘’pasti Ibu tidak krasan tinggal di sini. Mungkin Tia telah berbuat sesuatu. Maafkan anakmu yang tidak berguna ini Bu.’’ Edi membatin.
‘’Oh, baiklah.’’ Jawab Edi.
‘’Iya dah, Endah tutup dulu telfonnya. Assalamu’alaikum.’’ Ucap Endah dari sebrang.
‘’Wa’alaikum salam.’’ Edi dan Bu Hamidah menjawab secara bersamaan.
‘’Ibu istirahat di kamar dulu ya. Nanti kalau Tia datang, Edi omongin ke Tia.’’ Ucap Edi.
Bu Hamidah menganggukkan kepala tanda setuju.
Edi mendorong bu Hamidah hingga ke kamar. Kemudian membopong tubuh kurus itu ke ranjang.
Senja pun tiba dengan pancaran cahaya yang tak tembus ruang. Sebab jalanan Surabaya penuh dengan sesaknya kendaraan dan padatnya rumah serta gedung yang saling bertatapan. Tia datang dengan membawa segala kepenatan. Edi tak berani mengungkapkan, menunggu pikiran dan fisik Tia menjadi tenang.
Saat Tia mulai terlihat tenang, Edi mencoba menjelaskan perihal yang terjadi.
‘’Tia, ada yang mau aku omongin.’’ Ucap Edi pada Tia.
‘’Ada apa?’’ tanya Tia penasaran.
‘’Ibu kita bawa ke Samarinda.’’ Edi mulai merajuk.
‘’Apa!!!! Apa Tia gak salah denger. Ke Samarinda gak murah. Tiket pesawatnya sekitar Rp1300.000, itu pun hanya untuk satu orang.’’ Tia mulai geram.
‘’Adik Andin juga berhak merawat ibu, Tia.’’ Dengan sabar, Edi mencoba menjelaskan.
‘’Ok. Tapi jangan kembali ke sini lagi.’’ Tia menyetujui, namun bersyarat.
‘’Tapi Tia.’’ Edi mulai tak nyaman.
‘’Gak ada tapi-tapian, itu keputusan finalku.’’ Ucap Tia dengan tegas, sambil meninggalkan Edi sendirian di kamar.
3 hari kemudian bu Hamidah diantarkan ke Samarinda. Edi pun langsung pulang tanpa menginap, karena Tia sudah berpesan.
Bu Hamidah dapat tersenyum kembali. Namun, senyum itu hanya berumur 5 hari. Andin memberi kabar pada seluruh keluarga, bahwa ibunya kini telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Semua sanak famili datang kecuali Edi. Sebab, Tia tidak mau lagi keluar uang. Edi hanya bisa melihat wajah terakhir ibunya melalui VC. Isak tangis pun berhamburan berpadu dalam sumbu kerinduan.
Takdir menempatkan jasad bu Hamidah bersemayam di tanah Samarinda. Kini, yang ada hanyalah sebuah penyesalan. Bahkan, air mata pun kini tak mampu menunjukkan kata maaf pada sang ibunda tercinta. Sebab rindu yang berat bukan hanya rindu kata Dilan. Namun, rindu yang paling berat adalah merindukan seseorang yang tak mungkin kembali dalam pelukan. Kini yang tersisa hanya sebuah sayatan kenangan.
Kalam ashobi’ insan dho’if.
Jum’at, 14 Juli 2023.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar