madu ratnawati

Lahir di Prabumulih 1 Oktober 1964, dari bapak ibu asal Madura. Sejak kecil memang bercita-cita menjadi seorang guru dan tetap senang menjadi guru. Tidak pernah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Terlalu Mencintai

Jangan Terlalu Mencintai

#Tantangan Menulis 60 Hari, Hari ke 57

Alangkah senangnya Ucil memelihara tiga kura-kura kecilnya. Diberinya nama Kawa, Kimut, dan Mumu. Pemberian namanya saja butuh waktu dua hari. Menghafal mereka juga butuh tiga hari. Maklum karena profil mereka mirip-mirip aja. Mau dikasih spidol atau cat warna warni di punggungnya, Ucil merengut. “Ini bukan perkampungan warna-warni seperti yang Momay lihat waktu kita ke Malang atau Jogja” sungut Ucil sambil berlalu. Aku tersenyum geli menggoda Ucil.

Bangun tidur Ucil udah sibuk di depan akuarium kecil yang berisi tiga kesayangannya. Kalah deh keberadaanku kalau Ucil udah sibuk dengan kesayangannya itu. Mulai diberinya makan, membersihkan air akuarium, sampai menjemur ketiga makhluk mungil itu di pekarangan rumah.

Berdasarkan pengalaman terdahulu, saat Ucil memelihara Oci Cio dan kabur saat ditempatkan dekat dengan sumber air, kali ini Ucil sangat berhati-hati menjaga Kimut sesodara kembarnya itu. Nyaris mirip makanya aku bilangnya kura-kura kembar tiga. Tadi pagi Ucil menjemur kesayangannya di pekarangan rumah. Awalnya sih aman-aman saja. sepuluh menit kemudian Ucil beranjak dari kotak tempat ketiga kembaran itu berada. Ucil mengamati dari kejauhan. Nampak seekor kucing datang melintasi kotak itu, segera Ucil bangkit dari duduknya dan si kucing pun lari. Ucil menatap kotak tersebut dan mendapati keanehan. Hanya ada dua ekor kura-kura didalamnya!

Menjeritlah Ucil sekuat yang ia bisa lakukan dan tergopoh-gopoh Ucil menghampiri aku.

“Ada apa, Cil?” tanyaku heran.

“Momay lagi sibuk gak?” Ucil nampak berusaha tegar menanyakan kesibukanku.

“Tidak. Kenapa?”

“Momay bantu aku ya? Cari Kimut. Sepertinya ia menghilang…” wajah Ucil mulai memucat

“inna lillahi… yuk….” Seruku cepat dan kami segera bergegas ke pekarangan rumah kami

Sibuklah Ucil menuju TKP (tempat kejadian perkara) dan menceritakan kronologis peristiwanya. Ia yakin yang hilang adalah si Kimut. Memang kebetulan Kimut ini paling lincah diantara ketiganya. Mulailah kami berkeliling secara perlahan ke area sekitar kotak tersebut berada hingga sampai ke putaran area yang lebih luas. Hasilnya tetap nihil.

Selagi kami berkeliling perlahan, tiba-tiba terdengar sapaan dari kejauhan di balik pintu rumah, “Wah asyiknya ya yang sedang berjemur”, ternyata Ayah Ucil yang menyapa.

Ucil sudah tidak lagi bisa menjawab sapaan sang Ayah. Aku yang menjawab,”Bukan berjemur, Ayah. Kami kehilangan Kimut” seruku.

“Hah? Hilang?” sang Ayah yang sedang sibuk menerima telepon sampai memutuskan pembicaraan lalu ikut bergabung bersama kami. “Bagaimana ceritanya?” Ucil pun bercerita kembali seperti yang ia ceritakan kepadaku.

Awalnya aku gak percaya kura-kura sekecil itu bisa lepas dan berjalan atau berlari cepat. Setahuku, kura-kura itu berjalan amat lambat, bukan? Lalu aku iseng mengambil salah satu diantaranya. Si Mumu. Aku lepas ke halaman rumah, dan… ia berjalan cepat sekali. “Tuh kan, Mom..” komentar Ucil melihat peristiwa tersebut. Sang Ayah mencoba menenangkan si Ucil. Posisi kotaknya agak miring, sehingga Kimut bisa melompat lalu berjalan menuju sumber air. Kebetulan diletakkan dekat pintu pagar yang berdekatan dengan got depan rumah. Sama kejadiannya dengan Oci Cio sekian tahun yang lalu.

Ucil hampir tak percaya. Kami pun mencoba memuaskan keingintahuannya dengan membantunya menelusuri ulang kejadiannya. Hasilnya tetap nihil. Sang Ayah yang mencoba menghiburnya dengan berjanji akan membelikannya lagi hari ini pun tidak kena dihati Ucil. Penggantinya pasti akan berbeda nuansanya. Tentu berbeda ya, karena ketiga kesayangannya diperoleh dengan hasil tabungannya sendiri dan memesannya sendiri. Aku mencoba menghiburnya, “Kejadian ini mengajarkan kita untuk sabar dan ikhlas. Apa yang kita sayangi bisa saja suatu saat akan tiada. Kejadian ini pun mengajarkan Ucil untuk lebih waspada dan hati-hati”

Ucil terdiam. Ia mencoba menerimanya dengan ikhlas. Sekalipun air matanya terus jatuh di pipinya, aku yakin semua akan berakhir baik-baik saja. hingga sore ini, Ucil masih acap kali memandang keluar, berharap ada Kimut yang tiba-tiba berjalan kearahnya. Tidak mengapa, sedih karena kehilangan sesuatu yang paling disayang adalah manusiawi. Karenanya hendaklah kita jangan mencintai sesuatu terlalu dalam karena kita akan merasakan sakit yang sangat dalam manakala kita kehilangan sesuatu tersebut.

Aku sedang merancang materi ajarku untuk besok hari, tampak Ucil masih memandangi foto Kimut. Tiba-tiba Ucil berkata, “Selamat jalan, Kimut. Doaku menyertaimu. Semoga kamu mendapatkan kehidupan tenang dimanapun kamu berada ya…”

Aku tersenyum lega dari balik laptopku…

Jakarta, 28 Juli 2020

madhoeLibranagavenus

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah...kimut kemana kau yaSukses selalu bun

28 Jul
Balas

sedih, bun. tapi malah menginspirasi untuk menulisku. hehe. salam literasi

29 Jul
Balas

Selamat jalan Kimut, kata Ucil. Cerpennya kereeen Bu. Salam literasi

28 Jul
Balas



search

New Post