Menghitung Hari
Tiga hari lagi anakku pulang ke pondok sekalian sekolah SMP. Seperti biasa, panik, sedih, rasa kehilangan, campur aduk menjadi satu. Sudah berapa kali anak pulang-balik pondok untuk sekolah sekaligus mondok, masih saja seperti ini perasaannya. Lha bagaimana lagi, anak satu-satunya.
Minggu pagi agendanya untuk keperluan anak. Beli ini itu di supermarket, ke salon untuk potong rambut. Sudah setahun terakhir rambut bertumbuh panjang. Ribet kalau tidak dipotong, pasti ada waktu yang harus disediakan untuk merawat rambut. Di pondok kegiatan banyak, padat. Tentunya akan mengganggu aktivitas kalau rambutnya panjang.
Sampai di supermarket, aku dan anakku belanja kebutuhan untuk di pondok. Kusuruh dia mengambil apa yang menjadi kebutuhan dia di pondok nanti. Di lorong tempat kosmetik, tiba-tiba dia minta beli masker wajah. Ada yang bentuknya seperti topeng dengan bahan seperti tissue yang dibasahi formula masker, ada yang bubuk tinggal dicampur air untuk diaplikasikan ke wajah. "Buat apa mbak masker wajahnya. Kamu kan sudah ada di rumah," tanyaku. "Buat dijual Buk. Kakak kelas pernah jualan masker boleh kok. Sekarang kakak kelas udah lulus," jawab anakku santai. "Oya? Kamu mau jualan? Emang ada yang mau beli, kan lumayan tu harganya?" tanyaku penasaran. "Iya, aku mau jualan. Nanti tak posting dulu ke WA teman-temanku, kutawarkan. Kakak kelas kemarin aja jual lebih mahal dari rencana hargaku ini, banyak yang mau," kata anakku. "Ya sudah kalau begitu, belinya dikit-dikit dulu. Nanti kalau habis hubungi ibu, nanti ibu belanjakan lagi dan ibu kirim ke pondokmu," senyumku. Dalam hati bahagia anakku mau belajar berjualan. Semoga kamu nanti jadi pengusaha ya nduk, tidak perlu jadi pegawai seperti ibumu, batinku berdoa. "Oke, setuju," jawabnya senang, sambil memilih-milih masker.
Kemudian jalan lagi mengelilingi supermarket. Setiap barang yang dilewati yang kira-kira dibutuhkan langsung diambil anakku dan dimasukkan keranjang belanja. "Eh sebentar nduk, ibu mau beli ini, " tunjukku berhenti di deretan botol-botol kecap dan saus. "Untuk apa buk?" tanya anakku. "Itu lho untuk wadah mayonaise. Kan kemarin kita beli mayo yang besar, jadi kita masukkan sebagian ke botol ini. Sisanya disimpan di kulkas. Jadi tidak sering keluar masuk kulkas semua mayo," jelasku. "Iya, bener juga. Eh Buk, liat deh. Botol yang kecil ini kan dulu untuk ngedot aku pas di rumah Mbah," katanya sambil mengingat masa kecilnya. "Iya ya. Dulu itu di rumah Mbah, karet botol dot mu kan sering kamu gigiti. Jadi rusaklah dotmu dan tidak bisa dipakai. Setiap ngedot bocor, kamu jadi gelagepan. Akhirnya Mbah uti punya ide, botol kecap isi ulang seperti yang ibu beli ini dipake sebagai gantinya botol dot. Dan kamu seneng sekali waktu itu, ujung botolnya pas ukurannya untuk mengeluarkan air susu. Nggak tumpah juga," ceritaku. Aku dan anakku senyum-senyum mengingat kenangan itu. Jadi teringat almarhumah ibuku, yang membuat botol isi ulang kecapnya menjadi botol dot untuk cucunya. Kuselipkan doa untuk kedua orang tua.
Tak terasa kami sudah berada di supermarket satu jam lebih. Segera kuselesaikan belanjanya karena masih harus ke salon untuk potong rambut. Sesampainya di rumah anakku menggelar dagangannya dan difoto. Tidak hanya masker, mayonaise saset kecil-kecil pun diborongnya untuk dijual kepada teman-temannya nanti. Entah dia ngetik apa, tapi wajahnya kulihat tersenyum puas. "Buk, aku sudah upload foto di status WA-ku, WA teman-teman di grup dan di kontak hapeku. Semua tak tawarin," ujarnya. "Sip nduk. Semoga laku. Ingat pesan Bapakmu, hanya untuk belajar berjualan. Ambil ilmu cara berdagang, cara menawarkan, menghitung selisih antara modal dan omset, memperlakukan pembeli dengan baik. Tidak boleh ambil untung banyak-banyak," pesanku. "Oke siap Buk," ujarnya mantap. Setelah membereskan semuanya dan sholat dhuhur, anakku tidur siang.
Bangun tidur dia membuka hapenya. Dengan berbinar-binar dia memberitahu bapak ibunya kalau teman-temannya ada yang pesan. Sampai malam dia memantau terus hapenya dan terkadang mengetik sesuatu yang kata anakku ada yang bertanya tentang spesifikasi produk jualannya. Kemudian dia menyisihkan barang yang sudah dipesan teman-temannya dan diberi tanda nama pemesan. "Buk, masker yang ini sold out," katanya sambil menunjuk 2 masker beda jenis. "Alhamdulillah, laku ya ternyata," kataku senang. "Iya Buk. Besok kalau sempat sebelum aku berangkat beliin lagi ya yang habis ini," pintanya. "Siap nduk," jawabku bangga. "Aku juga masih ada jualan pembatas buku dari herbariumku lho Buk. Sudah dibelikan Apak plastik laminating, belum kubuat," katanya. Aku pun mendukung dan mengapresiasinya, dengan tetap mengingatkan tugas utamanya sebagai murid di SMP dan santri di pondok. Barokalloh anakku, semoga kamu sukses dunia dan akhiratmu kelak. Aamiin.
GBM 31 Juli 2021
Meis
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren tulisannya. Anak hebat seperti Bundanya. Semoga sehat dan sukses, bahagia dunia akhirat. Aamiin yaa rabbal alamiin.
aamiin...Semoga seperti Bunda Lastri juga, pinter dan cakap dalam menulis dan menari..Aamiin.