Mengulang Tahunmu, Nduk
“Selamat ulang tahun ya Nduk. Semoga berkah umurmu, jadi anak salihah,” ucapku dan suami pada Lila, anakku, pagi ini.
“Makasih ibuk, apak. Makasih hadiah buku Why dan makan malamnya semalam enaaakkk,” jawab anakku dengan mimik wajah bahagia.
”Tapi saat ini 13 tahun yang lalu kamu belum lahir lho,” kataku, membangkitkan rasa ingin tahunya.
“Oya?? Lha aku kapan lahirnya kalau begitu?” tanya Lila.
“Kamu lahir masih nanti malam, jam setengah sebelas malam,” senyumku. “Secara nasional kamu lahirnya Sabtu malam. Tapi secara kalender Hijriyah dan kalender Jawa, kamu lahirnya masuk hari Minggu atau Ahad,” jelasku sambil mengumpulkan ingatan 13 tahun yang lalu.
Hari Jum’at sekitar jam 09.00 aku dan suami mengikuti seminar di UNDIP yang di kampus bawah (daerah Pleburan Semarang). Dengan perut besarku yang tinggal menunggu hari saja si Lila lahir, aku boncengan ke tempat seminar tersebut. Waktu itu aku sudah mengajukan ijin cuti melahirkan ke kantor. Sebenarnya dipaksa juga sih sama kepalaku, karena melihat kehamilanku sudah menginjak 9 bulan, dan aku pernah membuat heboh karena kena kontraksi palsu sehingga membuat kepala dan teman-temanku panik. Kepalaku yang baik hati tersebut langsung menyuruh teman kantor untuk nyarter mobil mengantarkanku pulang. Inginku sih mepet HPL (Hari Perkiraan Lahir), supaya waktu bisa merawat bayiku lebih lama daripada waktu menunggu kelahiran. Tapi memang aturannya tidak boleh begitu, ya aku manut saja.
Jum’at itu acara bener-bener padat, sampai malam! Selesai seminar, masih main ke tempat teman suami, untuk belajar hal baru. Aku senang-senang saja menemani acara suami, karena aku pun ikut belajar. Sampai rumah sekitar pukul 10 malam. Selesai bersih-bersih pun beranjak tidur. Alhamdulillah seharian itu si Lila tidak rewel, mungkin ikut belajar selama di dalam perut, hehe.
Pukul 12 malam aku nglilir karena perutku mulai tidak nyaman. Perut mengencang.
“Apa karena kecapekan ya,” pikirku. Aku pun kembali tidur. Sejam kemudian aku terbangun lagi dengan sakitnya perut seperti tadi. Pikirku pun sama, kecapekan. Namun sakit itu terus berulang dan semakin sedikit jeda waktunya.
Selesai sholat subuh dengan sakit yang kadang datang itu, saya bicara dengan suami. Saya bilang kalau sepertinya tiba waktunya. Aku yakin karena pernah baca-baca kalau sakit perut mulai terasa secara periodik, semakin lama semakin sedikit jeda kontraksinya, maka ini waktunya untuk melahirkan.
Suami pun segera menyiapkan segala sesuatu. Untungnya baju-baju untuk dibawa ke rumah sakit sudah dipacking. Kemudian kami mengendarai sepeda motor menuju rumah sakit yang sudah direncanakan. Kenapa rumah sakit? Karena aku ada kenaikan tekanan darah selama kehamilan. Ya, pre-eklamsia mulai 7 bulan kehamilan. Maka dari itu bidan di puskesmas tempat aku periksa rutin bilang, aku sudah tidak boleh melahirkan di puskesmas, apalagi klinik bidan. Harus langsung ke rumah sakit karena sewaktu-waktu terjadi apa-apa di tengah proses kelahiran, peralatan yang lebih bagus dan lebih lengkap sudah tersedia.
Di tengah perjalanan dikarenakan perutku semakin sakit, suami bilang apa kita mempir dulu di bidan terdekat dari rumah untuk dicek dulu? Aku pun setuju. Bidan di rumah bersalin terdekat segera memeriksaku.
“Iya ini sudah bukaan satu. Kemungkinan akan melahirkan hari ini,” ujar bidan. Aku pun menceritakan kondisi kehamilan yang pre-eklamsia dan disarankan untuk ke rumah sakit. Belum lagi kalau diriku punya asma. Kemudian bidan mengecek tekanan darahku. 140/90, cukup tinggi menurutku yang semasa mudaku rata-rata tensiku maksimal di kisaran 110/70.
“Memang tensinya tinggi, dan lebih baik melahirkan di rumah sakit. Tapi melihat kondisi yang lain yaitu posisi janin yang sudah pas, dan kesehatan ibu, bisa kok melahirkan secara normal disini. Asalkan tensinya dijaga maksimal segini aja. Monggo apa dipikir-pikir dulu mau ke rumah sakit apa mau melahirkan disini,” tambah bu bidan yang kemudian meninggalkanku berdua dengan suami untuk berdiskusi. Lega rasanya mendengar kalau aku bisa melahirkan secara normal. Bukankah itu yang diinginkan semua ibu hamil?
Aku pun melihat di jendela. Hamparan sawah menghijau dan angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajahku. Membuat tenang rasanya jiwa ini. Sepertinya aku akan nyaman melahirkan di sini. Suamiku pun setuju. Akhirnya aku tidak jadi ke rumah sakit, yang memang aslinya diriku tidak terlalu suka di rumah sakit.
Mulailah perjuanganku dari pukul 06.30 pagi itu di rumah bersalin Bidan Win. Waktu itu di tempat bidan Win hanya ada satu ruang besar yang dibagi 2 oleh tirai untuk ibu yang mau melahirkan. Sekitar pukul 9 ada seorang ibu juga yang mau melahirkan. Prosesnya cepat sekali hanya sekitar satu jam sudah lahir anaknya, anak ke-empat. Dan tak lama ibu itu bisa pulang dengan bayinya waktu dhuhur. Tinggal aku sendiri di ruang itu. Tentunya ditemani suamiku yang terus mengelus-elus perutku yang sakitnya semakin lama semakin sering dan kuat. Ditambah sesak nafas karena punya asma, menambah semakin berat saja rasa sakitnya.
Sampai maghrib tiba tak kunjung juga tanda-tanda si Lila akan keluar. Bukaannya lambat sekali. Sempat stress juga diriku. Dari tadi pagi bukaan satu, sampai isya baru bukaan lima. Mana perut sakitnya terus menerus lagi. Rasanya seperti sakit sewaktu haid tapi lebih parah. Aku diingatkan suami dan bu Bidan untuk mengatur nafas. Membiasakan untuk mengambil nafas panjang dan teratur.
Akhirnya Bidan dan asistennya memutuskan air ketubanku dipecah dengan sengaja, karena melihat prosesku begitu lambat. Duh, rasa sakitnya bertambah lagi dan lagi. Tak pernah membayangkan sakit perut seperti ini. Sampai menangis-nangis! Sambil menahan sakit yang tak tertahankan aku mendengar bu Bidan berkata kepada suamiku, kalau masih saja belum keluar bayinya beberapa saat lagi maka bidan akan membuat rujukan ke rumah sakit. Itu sekitar jam 9 malam.
Alhamdulillah pertolongan Alloh datang. Bukaannya semakin cepat semenjak ketubanku dipecah. Begitu bukaan sudah sepuluh, perutku serasa seperti mau buang air besar yang tak tertahankan. Bidan dan asistennya segera mempersiapkan peralatan untuk melahirkan. Aku disuruh bernafas yang panjang dan teratur. Tapi aku tidak bisa, aku seperti buru-buru mau buang air. Dan tanpa terkendali aku mengejan. Bidan Win segera mengatur posisiku, menyuruhku menekuk kedua kaki sampai kedua tanganku bisa memegang kedua pergelangan kakiku. Lalu Bidan Win menyuruhku mengambil nafas panjang, kemudian mengejan fokus mendorong perut. Beberapa kali aku salah, aku mengejan seperti menekan tenggorokan (yang akhirnya nanti tenggorokanku sakit seperti kena flu). Dengan sabarnya bu Bidan mengulangi terus perintahnya supaya aku mengejan dengan benar. Dan akhirnya aku pun bisa melakukan seperti arahan bu Bidan. Lila pun lahir ke dunia dengan normal, selamat, dan sehat. Masyaallah Tabarakallah.
Aku baru melahirkan sekali. Lila sampai 13 tahun umurnya belum punya adik. Namun aku belajar banyak sekali. Rasa sakit dan susahnya mengandung dan melahirkan membuatku sadar bahwa kebahagiaan seorang berstatus “Ibu”, ada penderitaan dibaliknya . Seorang Ibu dengan senang hati mau menanggung kesakitan bentuk apapun agar anaknya hidup dengan baik dan bahagia. Ibu akan berkorban apapun, termasuk nyawa, supaya anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada dirinya.
Seketika aku malu begitu wajah ibuku terlintas di pikiranku...
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa ibu bapakku. Sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka menyayangiku di waktu ku kecil...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Selamat ulang tahun sayang. Bisa barengan nih sama aku. Semoga sehat, selamat, dan sukses. Aamiin.
aamiin...Barakallah fii umrik, Mommy...*big hug