Mahariah

Guru madrasah di Kepulauan Seribu...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Pekan Pertama (Tagur H9)

Namaku Afta Afidah Nafsah, kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah Negeri 17 Kepulauan Seribu. Usiaku akan 10 tahun Nopember mendatang. Sekarang baru bulan Juli 2020. Masih harus menunggu empat bulan lagi menuju hari ulang tahunku. Artinya aku masih di angka 9 tahun. Tak apa, aku suka angka 9, qiu-qiu, angka keberuntungan. 9 adalah angka terbesar dalam notasi angka. Angka 9 juga merujuk keindahan 99 Asmaul Husna, nama-nama Allah yang bagus. Pokoknya aku masih suka berusia sembilan tahun. Karena kalau sudah sepuluh tahun aku jadi teenager. Remaja gitu. Kalau sudah sepuluh tahun, aku harus mengurangi ngambek, harus lebih bida menahan diri kalau kesal atau marah. Pokoknya harus tampil lebih manis selayaknya anak gadis.

Bulan Juli, bukan hanya membuatku masih di angka 9 tahun. Bulan ini juga menandai kelas baru. Kelas 5. Jadi aku baru saja sah menjadi warga kelas 5. Kenaikan kelas dari hasil belajar virtual semenjak bulan Maret lalu. Empat bulan yang lalu. Aku tidak paham kenapa tiba-tiba datang ke madrasah dilarang. Semua murid, semua guru tidak boleh datang ke madrasah. Tidak boleh belajar di madrasah. Tidak boleh mengajar di madrasah. Tidak boleh bermain bersama teman-teman juga. Tidak boleh sholat berjamaah di musholla kampung. Tidak boleh datang ke pengajian.  Tidak boleh jalan-jalan. Yang boleh di rumah saja. Beribadah di rumah, belajar di rumah, bermain di rumah. Ayah juga bekerja lebih banyak di rumah. Aku lihat kakakku, kak Aisyi juga kuliah di rumah. Adikku, Ahza juga di rumah, padahal baru kelas RA (Raudhatul Athfaal, pendidikan PAUD setara TK). Yang tidak berubah hanya Ibu. Ibu memang biasanya di rumah. Dan aku melihat Ibu yang paling berbahagia.

Rumah yang biasanya hanya ramai di akhir pekan, kini penuh sepanjang hari tanpa jeda. Aku bertemu dengan orang yang sama lebih sering daripada sebelumnya. Ayah misalnya, biasanya pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kantornya di sebuah SMP Negeri di kampungku. Ayahku kepada Tata Usaha di sekolah itu. Jam pulang Ayah menjelang maghrib. Lalu kakakku, kak Aisyi, mahasiswi semester dua universitas swasta di Jakarta. Biasanya malahan tidak pulang ke rumah. Dia nge-kost di Jakarta. Pulang seperlunya. Ahza, anak laki-laki kecil itupun sudah disibukkan dengan sekolahnya, paling pagi dia dijemput jam 11an oleh Ibu dari RA-nya. Kami di rumah meenyebutnya dengan panggilan Abang. Si Abang ini kalau sekolah, hanya diantar dan dijemput Ibu. Aku seperti, si Abang, berangkat ke madrasah bersama ibu, berbarengan. Pulangku tentu lebih petang lagi. Jam 3an sore baru tiba di rumah. Aku suka mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di madrasah. Kalau ekskulnya Pramuka, bahkan aku bisa pulang bersamaan dengan jam pulang Ayah. Jadi kebayang kan bagaimana Ibu menghabiskan pagi di rumah sendirian.

Hebatnya, Ibu sangat kreatif. Kalau menilik-nilik isi rumah, hiasan, ornament, apa saja yang mengisi rumahku, maka ada tangan terampil Ibu di sana. Nanti aku ceritakan apa saja kreasi Ibu di rumah. Cerita inipun sesungguhnya adalah produk kreasi Ibu di masa pandemi, eh era new normal.

Oke, kita balik lagi bagaimana aku melewati empat bulan yang lalu. Kalian semua tahu, Maret 2020 kita semua dikejutkan dengan kedatangan wabah virus baru di Indonesia, namanya corona. Aku kasih tahu nama lengkapnya ya. Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2, kemudian disingkat SARS COV2. Virus ini bisa bikin kita sakit Coronavirus Disease-2019, biasanya kita sebut penyakitnya dengan COVID-19 saja. Maret pekan kedua, aku ingat betul, kami sekelas mendapat pengumuman dari bu Imay, guru kelas kami.

“Anak-anakku, mulai hari Senin, sampai dua pekan ke depan, kita semua belajar di rumah dulu ya. Kita sedang diuji Alloh dengan wabah virus corona. Tetaplah jaga Kesehatan selama di rumah. Semoga virus ini segera berlalu.”

Dua pekan. Dua kata itu yang paling kami dengar. Sisanya tidak kami tangkap. Dua pekan. Artinya empat belas hari kami “dirumah-kan”. Mula-mula kami sekelas tertegun. Lalu riuh.  Kelas mendadak meriah, seakan-akan menyambut kebahagiaan yang telah ditunggu lama sekali. Agak aneh memang, mengapa perasaan kami membuncah bahagia begitu dikasih waktu lebih banyak untuk belajar di rumah. Apakah kami kurang berbahagia di madrasah? Ooh, bukan begitu. Kami pasti bahagia belajar di madrasah. Aku juga bahagia belajar di madrasah. Guru-guruku semua orang yang baik. Menyenangkan. Teman-teman sekelas apalagi, seru-seru. Tapi kenapa kata dua pekan itu memberi kami semangat tertawa lebih lepas, lebih bahagia, lebih bisa leluasa memperbincangkan rencana-rencana?

Ketika itu aku menghampiri Siti, teman sebangkuku yang terbang bergerombol dengan perempuan-perempuan muda lainnya. Mereka ribut beradu cerita rencana dua pekan ke depan. Betul kan? Arin, teman kami yang paling garing suaranya aku dengar sudah menyampaikan akan ikut ibunya ke kota. Sudah rindu jalan-jalan di mall katanya. Zainab lain lagi, dia bersiap mengunjungi Mbah-nya di Tangerang. Katanya sudah lama keluarganya belum menengok Mbah Ti selepas Mbah Kung meninggal dunia.

Aku menoleh ke arah para lelaki muda yang juga sudah berkerumun di sudut kelas yang lain. Sama riuhnya. Perbincangan antar mereka berkelindan dengan pembicaraan di meja-meja lainnya. Segroup-segroup.Terdengar kosa kata mancing, bersepeda, main bola, main futsal. Bermain, bemain, bermain. Itu kosa kata yang paling sering muncul dari pembicaraan yang bergema di kelas kami hari itu, Maret pekan kedua. Bermain bagi kami seperti magnet mahakuat yang menarik kami ke kutubnya. Lalu asik di sana. Maret pekan kedua, dan kami akan menghabiskan dua pekan sisanya dengen rencana kegembiraan tiada tara.

Benarkah hari itu permulaan kegembiraan tiada tara bagi kami? Atau setidaknya bagiku?

Lihatlah hari Senin pekan pertama dari dua pekan yang menjanjikan kegembiraan itu. Ayahku maih harus berangkat ke kantor. Kakak Aisyi juga masih di kosannya. Masih belum ada perintah belajar di rumah dari kampusnya. Hanya kami yang masih sekolah harus berdiam di rumah. Rencana yang aku ajukan ke Ibu sepulang dari madrasah, sesaat setelah bonus dua pekan di rumah, ternyata belum tentu bisa diwujudkan.

“Disuruh belajar di rumah, Kak,” begitu argumen Ibu ketika mengatakan kami belum bisa pergi ke pantai untuk berenang.

Belajar. Hmmm.

Senin pagi itu Ibu menyodorkan hp-nya ke depanku.

“Ibu dimasukin ke group WA kelas empat, Kak. Karena kakak kan belum punya hp. Kakak peganglah dulu. Lihat ada tugas apa dari guru kakak.”

Aku melirik chat panjang pagi itu. Dari guru kelas. Belum selesai membaca chat pertama, lalu susul-menyusul chat Guru Aqidah, Guru SKI. Chatnya panjang-panjang. Lebih dari seratus karakter. Teeeeeeng!

Mataku mendadak perih.

Ya Allah, ini baru hari Senin. Senin pertama pula. Tiga guru memberondong tugas dengan chat mahapanjang yang harus aku cerna seketika. Ibu belum bisa ditanya, masih ngurus bang Ahza. Tidak seperti aku, si Abang belum bisa dilepas mandi sendiri. Kalau ada kesempatan si Abang mandi sendiri, niscaya luapan sabun sisa mandinya bakalan melebar sampai ruang tengah. Ibu harus bekerja ekstra jika terjadi demikian. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan Bang Ahza.

Seketika aku beralih menengok kalau-kalau Ibu sudah selesai dengan si Abang, seketika aku kembali ke monitor hp. Chat guru-guru tentang tugas hari ini sudah ketindih dengan puluhan chat respon. Kami ber-30 di kelas 4. Artinya ada 30 peserta di ruang chat group WA kelas. Belum lagi ada 10 guru yang ikut nimbrung di dalamnya. Sesak sekali rasanya kelas virtual ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

23 Feb
Balas

mantab kisahnya Bu. salam kenal

23 Feb
Balas



search

New Post