Hasrat 1
Lahir, tumbuh, dan nyaris menghabiskan usia di Pulau Panggang Kepulauan Seribu, tidak membuat aku jatuh jenuh. Meski lahir di tengah keluarga Makassar yang pelaut, jiwa petualang ternyata tidak wujud dalam bentuk jelajah geografis ke daerah-daerah lain di Indonesia atau di belahan lainnya secara fisik. Hasrat menjelajah justru jatuh pada keasyikan menikmati bentang alam di depan rumah. Rumahku beranda pantai dengan pasir putih yang sempit lalu langsung masuk ke selat dalam. Kurang dari 300 meter, di seberangnya membentang Pulau Cina, orde baru menggantinya dengan Pulau Karya. Sebab dasarnya aku kurang faham, mungkin karena nama Cina terasa "mengganjal" di perasaan perpolitikan Indonesia saat itu. Meskipun di Kepulauan Seribu masih ada pulau dengan nama bangsa lain yang justru secara fisik pernah menjajah Indonesia berbilang abad: Pulau Belanda, dan tak kena imbas pergantian nama sebagaimana Pulau Cina tadi. Hehe. Masih tentang Pulau Cina, pernah juga mau dihidupkan lagi nama Cina oleh Bupati Kepulauan Seribu, bahkan didandani a la "China" pada saat hari raya Imlek. Alasannya sederhana, si Bupati memasuki masa pensiun dan berharap bisa mengambil hati Gubernur Ahok untuk berkenan memperpanjang jabatannya sebagai bupati. Alhasil? Ya tetap pensiun! Hahaha. Dasar manusia, apa saja ingin diperpanjang.
Kembali ke hasrat. Aku anak seorang petani, pelaut, tentara, dan nelayan. Itu jabatan bapak secara berurutan. Kami akrab sekali dan aku yakini, hasrat menjelajah tumbuh karena keakraban itu. Bapak suka sekali bercerita tentang penjelajahannya ke negeri-negeri tetangga semasa jadi pelaut di kampungnya, Jeneponto, salah satu tempat di mana suku Makassar berkembang. Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan Pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkasara' yang berarti "Mereka yang Bersifat Terbuka." Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang, dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17M, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernapaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, Kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua, dan Australia bagian utara.[butuh rujukan] Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten, serta seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya.(aku copy paste dari Wikipedia, hoho).
Gambar Singapura, Malaysia, dan Birma seakan-akan di depan mata dalam cerita bapak. Yang unik, aku tidak terlalu menangkap sosok pelaut dalam cerita-cerita itu. Justru yang terpatri adalah bentang alam dengan isi aktivitas kehidupan yang beragam. Mungkin karena bapak tidak sedang menceritakan dirinya, melainkan bercerita tentang kehidupan: manusia dan alam sekitarnya. Hasratku tumbuh di situ. Kapal Pinisi membelah samudera, masuk celah-celah Selat Malaka sebelum bersandar di pelabuhan Singapur (dibaca: Singgepur). Bongkar muat berlangsung ramai. Kelasi turun ke kota, masuk restoran murahan, mabuk, dan main perempuan di sana. Tipikal pelaut pada umumnya. Bedanya bapak lelaki setia, mabuk tanpa perempuan. Aku harus percaya yang ini (*nyengir). Tentu saja, itu pengaruh Makassar Ballo, mabuk berani a la orang Makassar.
Lain waktu, bapak cerita tentang tambak garam di kampungnya. Kami punya 2 hektar yang ditinggal untuk menghidupi nenek di sana. Lepas dari kampung halaman, pada pelayaran terakhir, kapal bapak karam di perairan Pulau Tidung. Sejak itu bapak memutuskan tinggal dan menikah di Pulau Panggang, pulau tempatku dilahirkan. Hampir tak pernah pulang setelah anak-anaknya lahir, bapak tetap mencintai tanah kelahirannya. Tuturnya tentang istiadat Suku Makassar merupakan literasi lengkap yang biasa digelar pada ritual di rumah. Makanan khas dan cara memakannya juga kerap diterapkan. Yang selalu manarik dikenang adalah kebiasaan bapak bersurat ke keluarganya di kampung dengan bahasa Makassar dan aksara Lontara.
Ini dia aksara Lontara itu!!

Dari sedikit yang aku ketahui, aku perlu bangga jadi anak bapak, dari suku yang memiliki aksara sendiri. Ini alasan ilmiahnya: Tulisan merupakan manifestasi kebudayaan tertinggi manusia. Seperti wujud kebudayaan lainnya, tulisan melampaui kuasa zaman sebagai atribut penting bagi entitas suatu bangsa. Segenap pemikiran dan kreativitas peninggalan manusia dapat terawat utuh pada memori sejarah berkat dorongan yang kuat dari dalam diri sang penciptanya untuk mengabadikan hasil-hasil pemikiran mereka, yang akhirnya dikenang setiap saat ataupun diwariskan ke generasi keturunannya. Tulisan lahir dari sebuah aksara kemudian dirumpun dan melahirkan sebuah bahasa yang memiliki makna tentang apa yang dituliskan para penulisnya.
Namun, dari ratusan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke, tidak semuanya memiliki aksara untuk merekam nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Beruntunglah, Suku Makassar mampu mempertahankan warisan budaya literal tersebut. Sebagai salah satu suku besar di Indonesia, Bahasa Makassar merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki aksara yang dapat merekam, mencatat nilai-nilai luhur atau pesan-pesan, pangngadakkang atau adat istiadat. Padanyalah aksara ini disematkan dengan sebutan Lontara ri Makassar.
Filosofi Lontara Makassar terinspirasi dari bentuk segi empat atau biasa disebut sulappa’ appa’.
Pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar terhadap bentuk lontarak berprinsip pada dimensi mikrokosmos. Melalui proses kejadian manusia yang berasal sulappa’ appa’ simbol dari empat unsur: tanah (butta), api (pepe’), air (je’ne’), dan angin (anging). Avatar a la Indonesia! (*sumringah). Kece.
Mula-mula aku mengira itu tulisan Arab, nyatanya bukan. Bahwa ada pengaruh hijaiyah jika kita baca literatur detailnya ternyata memang iya. Perlu bab khusus untuk menulis aksara tua warisan nenek moyang ini. Sayangnya aku tak menjadi ahli menggambar Aksara Lontara itu di benakku. Aku berhenti pada rasa cinta bapak terhadap budaya leluhurnya, sesuatu yang belakangan kusakrali, setelah aku merasa kampung halamanku begitu banyak kehilangan kearifannya.
Lain waktu, aku mendengar bapak bercerita tentang peristiwa clash kedua dalam masa mempertahankan kemerdekaan republik ini. Bapakku itu seorang tentara. Saat Indonesia dipotong-potong seperti kue ulang tahun, bapak termasuk tentara yang diharuskan berpindah dari "wilayah" Indonesia sebelum perjanjian politik ke wilayah Indonesia hasil pembagian curang Belanda. Tak banyak yang bapak ceritakan pada bagian ini, meski efeknya aku melihat Indonesia masa lalu dengan lebih jernih dan menjadi modalku memandang Indonesia masa depan.
Selain bercerita, bapak suka mengajakku menemaninya ke laut, salah satu aktivitas yang bikin aku malas menjenguk sekolah. Bapak seperti membiarkan aku menikmatinya. Memasang layar penganak (perahu kayu berukuran 3x1 meter), membentang jaring, menyelam tanpa tabung oksigen saat memotong karang (waktu itu karang masih berlimpah), memindahkan anemon, atau mengejar ikan warna-warni di sela bebatuan misterius dasar laut, dan mengangkat ikan tinggi-tinggi sesaat dibebaskan dari jebakan bubu bambu. Jika air surut, bapak mengajakku ngoyok sepanjang hamparan pasang surut di bagian barat Pulau Panggang, berburu manggisan, bintang laut biru dan merah, bintang jenderal, sambil sesekali memungut kimah jika tak sengaja ketemu (tak sengaja yang terlalu sering karena keberlimpahannya di alam saat itu). Kami membawa pelontang dari jeriken bekas yang dipotong untuk menampung hasil buruan. Tak jarang, jika kelaparan, bapak menunjuk buah samo-samo matang yang tumbuh rimbun di padang lamun tempat manggisan biasa mangkal. Bukan panen, kami makan buah samo-samo hanya untuk menghilangkan lapar. Atau sesekali mencoba lawi-lawi yang diperas dengan air jeruk nipis dan garam untuk menghilangkan bau amis dan aroma laut.
Kami berdua juga punya ritual sore, jalan-jalan menyusuri dermaga selepas mandi. Bahasa masa kininya berburu sunset. Haha. Tentu saja aku tak suka jalan. Seperti kebanyakan anak-anak usia SD, aku berlari. Fatalnya, ada ketika kebablasan berlari, lepas dari pegangan bapak, aku lupa dermaga berujung laut. Byurrrr! Seingatku, bapak ikut nyebur lengkap dengan sarung dan kopiahnya. Kereeeen!
Fatihah untuk bapak: Daeng Ahmad Sandre bin Rukka Dimasese.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Salam kenal, pak Teguh, bu Retno.
Mantap. .Salam kenal.
Judulnya saja sudah mengundang hasrat...
Judulnya saja sudah mengundang hasrat...
Judulnya saja sudah mengundang hasrat...