Mahariah

Guru madrasah di Kepulauan Seribu...

Selengkapnya
Navigasi Web

Jangan Ganggu, Bos Sedang Tidur !

Jam terakhir memang selalu bikin panas hati. Panas di luar kelas, panas di dalam kelas dan biasanya berimbas ke hati yang inginnya buru-buru sampai rumah. Jam kritis seperti ini aku mencari pelarian dengan bayangan-bayangan indah sesampai di rumah. Membayangkan rumah yang teduh, kasur yang empuk, ditemani kopi dan gorengan di sisi tempat tidur. Jendela kamar aku biarkan terbuka. Rumahku di tepi pantai bagian timur Pulau Harapan. Salah satu pulau kecil di Kepulauan Seribu. Dengan posisi persis di tepi pantai, angin pada sore hari memang terjadwal men“darat”. Menyempurnakan kesejukan. Di luar kamar, anak-anak nonton tivi sambal beradu mulut soal siapa yang bakal juara dalam acara kuis. Suasana khas aroma sore hari menjelang jam bubar madrasah yang aku ciptakan biasanya gagal memanggil semangat pagi hari. Cara yang kalau dipikir-pikir, merupakan pengkhiatan kepada profesi guru di jam belajar. Jam yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan kemampuan anak didik malah dipakai buat mengkhayalkan sisi asyik lainnya. Ini aku lakukan karena belum punya cara yang lebih ampuh mengusir rindu pulang. Home sick setiap hari.

Hari ini, di jam 13.30, pelajaran Bahasa Arab kelas 10-1. Kelas yang paling strategis dalam hal kesejukan karena kemampuannya menangkap angin sepoi-sepoi yang disuplai dari utara. Full. Kelas 10-1 ini terletak di lantai 2, paling ujung. Sirkulasi udara terbaik ada di kelas ini. Jadi jangan heran, masuk kelas ini setiap guru harus bersiap-siap diterpa kantuk. Guru-guru perempuan di madrasah kami biasanya meracik ramuan “kantuk elegan” untuk konsumsi jam-jam seperti ini. Racikannya beda-beda. Ada yang menyembunyikan permen asem manis di balik lidahnya. Ada yang menyiapkan film bisu Charlie Chaplin di hape yang sengaja di-stand by-kan. Dan kalau aku, ya menghadirkan khayalan yang paling ingin kulakukan selepas jam penat ini. Pulang dengan penuh rasa nyaman.

Melangkah pelan-pelan saja menuju kelas 10-1. Menikmati suara ribut dari dalam kelas. Seperti masa mudaku dulu. Aku tersenyum mengenang ritual itu. Setiap zaman boleh saja dibedakan oleh teknologi. Tapi ribut di kelas saat tidak ada guru adalah ritual yang tidak pernah punah. Karena itu pula, masa-masa madrasah Aliyah selalu dirindui. Banyak alasan untuk ribut di dalam kelas. Menggoda anak laki-laki berkacamata tebal dan kupernya minta ampun. Menggoda anak perempuan jutek yang hanya mau melihat dengan ekor matanya. Hihi, mata berekor. Dan selalu ada aktor keributan. Biasanya itu-itu saja orangnya. Si aktor ini boleh jadi anak terpintar atau bahkan terbodoh di kelas. Tapi tak penting status pintar tidak pintarnya dalam angka-angka akademik. Penting bagi kelas yang sudah cukup jenuh dipecahkan oleh seribu canda. Banyak teori belajar yang menyebutkan bahwa syarat sukses menyerap pelajaran adalah rasa bahagia. Setiap orang memilih kebahagiaan dengan caranya sendiri. Soal orang lain tersinggung, nah itu urusan nanti. Kita memang begitu kan?

Kian dekat kelas 10-1, suara ribut makin jelas. Bahkan topiknyapun bisa aku tangkap. Topiknya tumpang tindih. Loncat-loncat. Sebentar menggoda, lalu ribut tentang rasa hati, eh lompat ke rasa makanan di kantin madrasah. Lalu belok ke PR Bahasa Arab yang belum selesai. Haha, dasar! Aku bayangkan, satu diantara mereka ada yang berjaga-jaga di pintu kelas. Sang pengintai yang bertugas meneriakkan pengumuman sambal mengambil ancang-ancang menerkam kursinya, “ada bu Mahaaaar!”. Lalu kelas diisi dengan bising derit kaki kursi kayu yang beradu dengan lantai. Hahaha! Tawa hatiku bergema. Merasa lucu. Aku begitu juga, dulu. Masih itu-itu saja standar prosedur operasional ribut di dalam kelas. Biar begitu, standar operasional jadul itu sukses menyingkirkan bayangan nikmatnya pulang ke rumah di benakku.

Mereka berhasil mengembalikan aku ke dunia nyata. Dunia pintu kelas yang ternyata seperti sengaja dibentang seluas-luasnya. Isyarat “silahkan masuk ke dalam kelas kami yang bahagia”, begitu kira-kira yang berhasil aku baca. Pantas saja bisingnya minta ampun. Mereka baru agak tenang saat aku menyibak satu daun pintu ke arah dalam kelas sambil menebar senyum ke seantero kelas. Kelas 10-1 sebetulnya kelas yang manis. Gampang tenang. Berisi anak-anak yang memilih akhirat untuk aktivitas dunianya. Sangat memahami makna sapaan pertamaku,

“Assalamu’alaikum, kalian.”

“Wa’alaikumussalam, buuuuu,” bergema dengan kompak.

Senyumku kian lebar. Bersama mereka nyaris dua tahun ini, bergumul dalam pelik Bahasa Arab, kami sudah saling mengenal. Mereka mengenali senyum lebarku sesaat sebelum pelajaran dimulai sebagai isyarat tagihan tugas-tugas. Aku mengenali kasak-kusuk khas mereka sebagai tanda ada yang belum sepenuhnya beres dengan tugas-tugas.

“Keif halukum?” aku memulai tagihan sambil menyisir tatapan dari sudut ke sudut.

“alhamadulillah, bi kheir….!” Bergema lagi. Keras dan kompak.

Agak aneh rasanya. Keras dan kompak. Respon itu seperti bukan untukku. Atau tepatnya isyarat untuk sesuatu yang lain.

“Ant muta’akkiduun?” Aku mulai menelisik.

Sekarang menatap satu-satu ke mata barisan paling depan. Lebih dalam. Ingin memberi pesan, kalimat itu aku ucapkan untuk setiap orang. Dan perlu respon segera. Beberapa menghindari mataku, tapi bukan dalam pengertian merasa bersalah. Lebih merasa ada yang lucu. Mata yang berbinar seru. Ada yang dengan keras menarik bibirnya yang sudah terlanjur terjuntai ke belakang. Usaha yang sia-sia. Mereka lupa, para guru dibekali ilmu membaca gerak tubuh sebelum dinyatakan absah mengajar.

Okeh, sudah aku dapatkan. Aku menemukan tawa yang ditahan keras. Kelucuan yang disembunyikan. Dosa yang sengaja ditutupi. Aku tahu cara membongkarnya. Sebuah kerlingan tajam ke siswi yang paling jujur dan paling alim cukup untukku. Alinar. Gadis berdarah Padang, paling manis di kelas 10-1 itu setengah melompat saat tengadah ketika kuhadapkan wajahku di depan mejanya. Persis.

“Ladayk qisah?” suaraku mungkin lebih mirip desis. Pelan. Dengan penekanan pada setiap hurufnya. Intimidatif tepatnya.

Alinar dengan gugup mengangkat ujung telunjuknya ke arah meja belakang. Satu bangku sebelum pojok. Aku tahu, ia ingin aku mengikuti isyaratnya. Mudah sekali menemukan maksud isyarat itu meski dibentengi tubuh besar Mansyah yang pura-pura sibuk menulis. Bongsor dan naif. Itulah Mansyah. Anak laki-laki hitam itu menangkat wajahnya sedikit ketika telunjuk Alinar mengarah kepadanya. Matanya bingung. Atau pura-pura bingung. “hmmm, anak bujang,” gumamku sebal.

Dengan gaya menggoyang-goyangkan telunjuk, dilengkapi wajah memerintah, aku melihat Mansyah menggeser tubuh besarnya. Obyek itu akhirnya tampak. Mirip dengan metode laa ilaaha illallaah, sang tersangka utama kini jelas adanya. Menyingkirkan sesuatu yang bukan fakta dengan sendirinya fakta itu muncul tanpa harus bersusah payah. Begitulah aku sesekali memaknai metode kalimat thoyyibah laa ilaaha illallaah.

Diikuti mata dengan makna beragam seisi kelas, aku mendekati tersangka yang meringkuk di atas mejanya. Kepalanya ditopang dua lengannya yang kokoh. Multazam! Anak pintar yang bengal itu benar-benar terlelap seperti bayi. Di atas mejanya ada secarik kertas yang dibentuk limas segitiga. Ada tulisan mencolok di sana : JANGAN GANGGU, BOS LAGI TIDUR!

“Hmmm, baiklah. Kita akan mulai perang ini,’’ aku membatin. Rencana-rencana nakal begitu saja berseliweran di benakku. Aku bangunkan dia sambil berkacak pinggang, dengan wibawa guru sepenuh-penuhnya. Aku seret dia ke depan kelas sambil, lalu mengangkat sebelah kaki dan menarik telinganya secara bersilangan. Melafalkan kosa kata bagian tubuh manusia dalam bahasa arab fashihah. Menyuruhnya berkeliling kelas-kelas dengan misi mengakui dosa-dosanya tidur di kelas sambil berpura-pura menjadi bos. Semua alternatif hukuman yang memalukan masuk dalam daftar di kepalaku. Intinya satu: bagaimana cara Multazam kapok sengaja tidur di tengah jam pelajaranku dengan sok nge-bossy. Tidak sopan sekali.

Aku langsung berbalik ke depan kelas. Menghempaskan punggung di kursi. Ide-ide liar di kepalaku masih saling mendahului untuk dipilih jadi pemenang dalam hal menghukum Multazam. Sementara dadaku bergemuruh antara ingin membangunkannya dan membiarkannya tetap dalam tidurnya. Dalam hati, anak itu keterlaluan sekali tidur selagi aku susah payah menekan indahnya bayangan berselonjor di rumah. Itu kulakukan demi memenuhi kewajiban mendatangi kelasnya yang sejuk ini. Butuh effort lebih untuk tidak ikut-ikutan tidur sambil memasang pesan yang menyebalkan itu. Aaah, yaaa: effort lebih! Aku terjaga dari suntuknya perasaan diabaikan. Ternyata tetap saja kebutuhan untuk menjadi yang berarti itu memang bagian dari eksistensi manusia. Guru juga manusia, Multazam. Tapi kan Multazam tetap terlelap bersama mimpi indahnya. Boleh jadi salah satu lembar mimpinya adalah bangga berhasil menyingkirkan rasa sungkan tidur saat guru hadir di kelas. Dulu sekali, ketika aku masih seumuran mereka, aku juga suka tidur di jam-jam kritis. Sekarang juga masih, sih. Bedanya, aku memilih kabur dari sekolah dan tidur di tempat paling nyaman: kamarku. Waktu itu aku berpikirnya sederhana, jangan sampai guru di kelasku murka karena mendapati siswinya tidur di kelasnya. Juga menjaga perasaan teman-teman lain yang bertahan dalam posisi ngantuk tak terkira. Bayangkan, betapa hormatnya aku terhadap mereka yang memilih jam belajar ketimbang tidur. Karena rasa hormat itu adalah bagian dari cara kita menempatkan eksistensi manusia. Bunda Theresa bahkan pernah mengatakan, “tidak diharapkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan, dilupakan oleh semua orang, merupakan rasa lapar yang lebih hebat dan kemiskinan yang lebih sengsara dibanding tidak punya apa-apa untuk dimakan.” Pesan moralnya, apapun alasannya jangan pernah mengabaikan orang lain. Itu!

Dan seorang anak bernama Multazam hari ini melakukan perbuatan tidak menyenangkan itu. Kepadaku. Aku gurunya. Sementara aku datang untuknya. Jika saja tidak ada pesan yang dia sematkan di atas mejanya, mungkin persoalannya akan lain. Aku punya banyak maklum, tapi tidak untuk kalimat: Jangan ganggu, bos sedang tidur!

Tapi marah di saat kejadian berlangsung tidak akan aku pilih. Alih-alih berkacak pinggang di depan kelas, aku lebih suka mengatur napas dulu, mengatur sirkulasi kerja jantungku supaya lebih rilek. Kena serangan jantung gara-gara marah sungguh tak indah. Terbayang rusuhnya madrasah kalau aku kena serangan jantung. Bakal ramai tagar “Bu Guru Pemarah Terkena Serangan Jantung”. Begitu diusut, ternyata pemicunya cuma iri hati tidak bisa seberani siswanya tidur di dalam kelas. Na’udzubillah. Terlebih Rosul sudah mengingatkan dalam hadits, “Jangan marah, maka bagimu surga.” Hadits itulah yang membawaku memilih memejamkan mata sesaat. Berdoa, memohon ke Allah cara terproduktif melampiaskan kekesalan terhadap anak pengantuk model Multazam. Aku tahu, anak-anak memandangiku, tepatnya menunggu keputusanku. Keputusanku untuk polah mereka yang mencoba melindungi Multazam. Serta hukuman apa yang akan aku timpakan kepada Multazam.

No!

Aku bangkit dari kursi nyaman guru. Memulai dengan senyum sangat efektif meredakan ketegangan tingkat akut seperti saat ini. Menyapu seisi kelas dengan senyum, tak terlalu lebar. Sebab biasanya senyum lebar dalam situasi seperti ini jatuhnya mirip ancaman Joker. Aku tidak ingin jadi Joker. Aku guru mereka. Berdiri untuk mengamankan mereka dari segala bentuk intimidasi, termasuk intimidasi dari diri mereka sendiri. Aku menginginkan mereka merdeka dari rasa takut meng-create kebaikan versi mereka, dan baik juga bagi yang lain.

“Baik, kita bisa mulai kelas ini dengan asik ya,” aku benar-benar memulai.

Anak-anak melongo. Aku tak peduli. Aku melanjutkan masih dengan senyuman yang sengaja lebih dilembutkan,

“Karena hari ini ada teman kita yang butuh istirahat dan tidak ingin diganggu. Jadi mari kita belajar dengan lebih tenang ya.”

Agak tergesa, anak-anak mengangguk dan langsung menyiapkan bahan-bahan belajar. Beberapa bahkan ada yang sempat melirik Multazam, lalu beralih memastikan raut wajahku. Posisi tidur Multazam belum berubah. Apapun yang menyebabkannya dikalahkan oleh kantuk, pastilah itu alasan yang logis baginya. Tugasku membantunya bangkit dari kekalahannya itu. Multazam itu anak cerdas dan nakal, menjadi lebih buruk kalau dia jadi pengantuk juga.

Hari ini kami belajar dengan metode bedah wacana. Aku meminta anak-anak membagi diri menjadi kelompok kerja kecil, 3-4 orang. Meminta mereka menggeser kursi dan meja tanpa menimbulkan derit. Meminta beberapa jendela dibuka lebih lebar agar angin bisa masuk supaya kelas lebih sejuk. 10-1 di jam terakhir itu benar-benar tenang. Mereka menyelingi diskusi dengan canda tanpa terbahak-bahak. Tapi asyik. Beberapa kali, satu dua dari mereka melirik Multazam, tapi tidak dengan niat mengganggu. Mereka benar-benar ikhlas membiarkan anak itu melanjutkan tidurnya. Kelas benar-benar produktif. Siklus presentasi antar kelompok berjalan mulus, sampai waktu berakhir di 15.00!

Aku langsung mengambil alih kelas. Skenario untuk Multazam belum selesai ketika bel berdering panjang. Aku meminta anak-anak mempersiapkan diri untuk pulang dengan tenang. Di sela-sela itu, Alinar tiba-tiba mengangat telunjuknya.

“Azam bagaimana, bu?” Suaranya agak khawatir.

“Azam tahu apa yang dia butuhkan. Tenang saja, Nina,” jawabku dengan tetap tersenyum. Aku menunjuk tulisan di prisma segitiga yang cukup melindungi separuh kepala Multazam. Tangannya sekarang sudah berubah posisi lurus memanjang. Mungkin pegal.

“Dia meminta kita tidak mengganggunya. Itu yang harus kita lakukan,” tandasku, “Jadi mari kita pulang dengan tenang.”

Anak-anak tampak agak bingung. Aku tak bahas kebingungan itu. Seusai berdoa, kelas ditutup dengan ketenangan yang tidak biasa. Bahkan aku melarang beberapa anak yang berinisiatif menutup jendela.

“Suguhkan yang terbaik kepada Azam saat dia butuh,” bisikku.

Saat kelas mulai kosong, Multazam sempat menggeliat. Aku menunggunya, tapi ternyata dia terlelap lagi. Aku meninggalkan kelas. Mencari-cari penjaga madrasah. Pak Pay namanya. Beliau sedang menyisir kelas-kelas yang mulai kosong.

“Pak Pay,” aku melambai kepada beliau.

Pak Pay menghampiriku dengan sigap.

“Iya, bu.”

Gesturnya siap dikomando. Tipikal umumnya penjaga madrasah. Loyalitas tanpa batas. Pak Pay sudah bekerja di madrasah kami sejak awal. Masih honor, tapi merasa telah berbahagia. Tidak pernah ikut-ikutan demo minta diangkat jadi PNS seperti guru-guru honor kebanyakan. Mungkin beliau lebih yakin dan merasa lebih mudah meminta kenaikan martabat dari Allah saja.

“Di kelas masih ada anak yang tertidur ya, pak Pay. Mohon tidak diganggu sampai dia benar-benar bangun sendiri. Bapak cukup menitipkan nomor hape di atas mejanya. Pintu-pintu ditutup saja, ya pak. Nanti kalau dia bangun, dia pasti akan menghubungi pak Pay.”

“Siap, bu,” jawab pak Pay dengan nada bingung.

Aku pahami kebingungannya dengan baik. Tapi bukan waktunya menjelaskan panjang lebar kepada Pak Pay tentang pesanku memperlakukan Multazam.

“Palingan dia akan bangun sebentar lagi,” hiburku,”Dia belum sholat ashar lho, Pak. Tolong ingatkan juga ya.”

“Siap, bu.”

Kuacungkan jempol di depan wajah Pak Pay yang masih kebingungan. Tapi aku yakin, permintaanku tetap menjadi prioritas. Begitulah pak Pay yang aku kenal.

“Terima kasih ya, pak. Besok saya tanyakan jam berapa dia bangun.”

Sambil tersenyum, aku berlalu dari wajah pak Pay yang masih tampak belum memahami sepenuhnya alasanku meninggalkan anak yang tertidur pulas di dalam kelas. Kadangkala penjelasan atas keputusan jauh lebih efektif dilihat setelah melihat efek. Namanya juga efektivitas. Dan efektivitas itu bekerja atas ijin Allah.

Keesokan harinya, prioritasku ketemu pak Pay. Aku datang lebih pagi dari biasanya. Aku butuh mendapat informasi lebih awal tentang Multazam sepeninggalku. Selepas absen, aku langsung mencari pak Pay di belakang madrasah. Lelaki paruh baya jangkung itu sedang merapihkan posisi tong sampah pilah di dekat kantin.

“Assalamualaikum, pak Pay. Bahagia pagi ini?” aku langsung menyapanya dengan renyah.

“Waalaikumsalam, alhamdulillah,” Pak Pay menyambut dengan tak kalah sumringah. “Mau tahu soal Azam ya, bu.”

To the point sekali si bapak ini, benakku tertawa.

Kami mengambil tempat agak di sudut di kantin. Aku mempersilahkan pak Pay memesan sarapan, sambil bercanda bilang, “saya yang traktir.” Tentu saja tawaran mentraktir itu sungguhan. Pak Pay yang rendah hati itu tentu saja sungkan, tapi tidak berani menolak. Sekali lagi, tipikal penjaga madrasah.

Di sela-sela menunggu pesanan itu, tanpa aku perlu meminta, pak Pay mulai bercerita peristiwa sore sepeninggalku di kelas 10-1. Pak Pay bercerita sambil senyum-senyum. Selang 15 menit dari selesainya pembicaraanku dengan pak Pay, Multazam terbangun. Mendapati kelas kosong, pintu dan jendela terkunci, pastilah anak itu shock. Aku membayangkan Multazam yang kebingungan sambil merasa dikhianati oleh teman-temannya begitu melihat kelas kosong-melompong. Sebagai anak yang cerdas, dia pasti sudah merancang skenario tidur sore itu. Mulai dari kelas yang dibiarkan ribut dalam keadaan pintu terbuka agar mengesankan situasinya biasa saja, baik-baik saja. Kemudian Mansyah yang diminta memasang badan besarnya di depan mejanya. Serta perilaku seisi kelas yang terkesan menutup-nutupi. Pasti juga ia sudah berpesan dibangunkan segera setelah kelas bubar. Aku tersenyum menang dalam hati.

“Azam menelpon saya berkali-kali, bu. Suara panik,” jelas Pak Pay.

Aku menyenyumi komentar Pak Pay. Pastilah, aku membatin. Di mataku, anak itu bolak-balik antara pintu dan jendela. Dia benar-benar terkurung. Tidak bisa kemana-mana saat pintu dan jendela-jendela kelas sudah dikunci. Jendela di gedung sekarang sudah berjeruji seluruhnya semenjak ada peristiwa pembobolan ruang Tata Usaha dan beberapa barang elektronik raib. Pintu juga dikunci Pak Pay. Sempurna sudah. Beruntung dia masih punya pulsa cukup untuk menghubungi Pak Pay. Sampai batas ini, skenarioku yang berjalan lancar.

Dan pagi ini memang pagi yang segar. Di belakang meja kami, tanpa sengaja aku mendengar suara Multazam sedang marah-marah ke lawan bicaranya.

“Tidak bisa ya sekedar pura-pura gebrak meja supaya aku langsung bangun?!”

Anak pintar, batinku.

“Atau bikin ketidaksengajaan yang ribut gimana gitu…..!”

Kesal sekali tekanan suaranya. Setelah itu ada suara bangku kantin yang seperti keberatan beban, diiringi suara dengan intonasi lebih lirih,

“Malu sekali….”

Lentingan sendok dan mangkuk yang beradu juga menandakan betapa tidak napsu makan sang pelaku sudah level mengkhawatirkan. Dia pasti anak yang level gengsinya juga tinggi. Ada saat aku ingin tahu apa latar belakang Multazam sering dikalahkan kantuk, persis ketika belajar sedang berlangsung. Tapi, aku bukan tipe guru yang mau rajin-rajin menelisik dengan metode sunyi. Berlama-lama dengan teori. Aku jauh lebih ingin anak-anak menemukan masalahnya dan punya komitmen menyelesaikannya dengan cara yang mereka pilih. Jika aku melakukan intervensi atas masalah yang mereka alami, maka tidak boleh lebih dari motivasi yang kuat untuk mereka menemukan alasan berani menghadapi masalahnya. Seperti kasus Multazam.

Agak cepat aku menyelesaikan bubur ayam sarapan pagi ini. Berterima kasih kepada Pak Pay, lalu bangkit mendekati punggung anak laki-laki yang membungkuk menghabiskan makanannya. Di depannya, Mansyah tegak tergopoh-gopoh.

“Ibu….”, sapanya gugup sambil kaki kanannya menendang-nendang di bawah meja kantin.

Anak laki-laki yang sedang tunduk dekat sekali dengan bibir mangkuk di depannya itu tengadah. Multazam. Matanya terbelalak panik. Dia berusaha bangkit, tapi aku menekan pundaknya dengan lembut.

“Zam, saya ada saran buat kamu.” Kujedahi kalimat itu dengan sedikit senyuman.

Multazam kian tertunduk.

“Besok-besok kalau kamu niat tidur seperti kemarin, jangan lupa tambahkan kalimat kalau jam belajar sudah selesai, tolong bos dibangunin,” lanjutku.

Setelah menepuk pundaknya dengan lembut, aku berlalu sambil mengucapkan salam. Masih kudengar kesayuan suara Multazam menjawab salamku. Dan ada background suara Mansyah,

“Tahu rasa kau!”

Aku berjalan santai menuju ruang guru. Mengucap alhamdulillah sepanjang langkah. Membayangkan wajah merah malu anak laki-laki di kantin yang masih menekuri mangkuk bubur ayamnya. Berdoa semoga setelah hari ini Multazam berhasil memenangi pertarungannya terhadap rasa kantuk di dalam kelas.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih, pak Suheri

28 Jan
Balas

Mantab

28 Jan
Balas

Idenya banyak mengalir dengan lancar yaaa bun

08 Feb
Balas

Kereenn buuu, mengalir indah rangkaian kalimatnya,,, mantab ,,,, sudah pantas menyandang penulis hebat....

07 Feb
Balas

Luar biasaaaa,panutan deh pokoknya,.Rangkaian kata yang indah dan berisi,.Sukses selalu dan terus berkarya ibu,love you bu

13 Feb
Balas



search

New Post