Kepulauan Seribu atau Pulau Seribu? Part 1 (Tagur H5)
Bermula dari pengalaman bertemu dengan pengunjung di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara. Saya sedang duduk-duduk bersama dengan beberapa orang beragam pulau di Kepulauan Seribu di depan gerobak bubur ayam. Kami, penduduk lokal Kepulauan Seribu biasa duduk sambil sambil sarapan begitu tiba di Pelabuhan Muara Angke, menunggu jadwal keberangkatan kapal. Kapal-kapal tradisional, begitu biasa kami menyebutnya, berangkat ke tujuan pulau-pulau di Kepulauan Seribu kisaran jam 8 atau 9 pagi. Makanya, kami yang akan pulang ke pulau harus turun ke Pelabuhan pagi-pagi sekali. Bada subuh harus sudah bergerak dari lokasi transit kami di kota “kota” adalah sebutan kami untuk daratan Jakarta. Karena KTP kami juga Jakarta. Hehehe.
Sebenarnya, untuk menuju ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu banyak pelabuhan alternatif dari daratan. Bisa dari Pelabuhan Marina Ancol dengan kapal cepat. Perusahaan Sealeader salah satu yang melayani rute dari Marina Ancol ke beberapa pulau di Kepulauan Seribu. Dengan durasi kurang dari satu jam, kita sudah akan tiba di pulau tujuan. Trayek Marina-Kepulauan Seribu lebih banyak diminati wisatawan asing karena rata-rata mereka bertujuan ke pulau-pulau resort.
Pulau Resort di Kepulauan Seribu cukup banyak. Dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta atau orang-orang kaya yang memilikinya secara pribadi. Bagaimana pulau-pulau itu menjadi milik pribadi atau diswastanisasi? Seingat saya tahun 80an, orang-orang pulau banyak yang menjual pulau ke pihak swasta. Yang lebih menarik adalah bagaimana orang-orang pulau punya pulau utuh yang kemudian dijual-jual itu? Bagaimana pulau-pulau dengan kisaran luas 2-10 hektar itu bisa dimiliki oleh beberapa gelintir keluarga saja?
Dari cerita Emak, saya akhirnya tahu kalau sebelumnya pulau-pulau itu jaman dahulunya pulau tanpa penghuni tanpa pemilik. Ini tentu saja sebelum jaman kemerdekaan atau bahkan lebih jauh lagi dari jaman Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Meskipun Indonesia mencatatkan beberapa kerajaan berbasis pulau atau pesisir. Sebut saja Kerajaan Samudera Pasai di Aceh atau Kerajan Indrapura Sumatera Barat, atau yang terdekat Kesultanan Banten. Tak ada catatan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut menguasai pulau-pulau sangat kecil di Kepulauan Seribu. Dari cerita Emak, saya tahu juga bahwa proses kepemilikan pulau sangat sederhana. Terjadi begitu saja. Pengakuan atas hakpun sebegitu bersahaja. Nelayan-nelayan di pulau-pulau awal yang berpenghuni, seperti Pulau Panggang, Pulau Kelapa atau Pulau Tidung, punya tradisi babang. Dengan perahu kecil, sebuah keluarga, biasanya bapak dengan anak laki-lakinya, berangkat melaut. Kalau ternyata berangkat melautnya kejauhan, mereka akan menuju pulau terdekat untuk bermalam. Babang. Tradisi babang ini kadang tidak hanya satu atau dua malam saja, bisa berbilang bulan. Di kondisi seperti ini biasanya para nelayan itu nyambi “ngebon”: menanam kelapa dari buah kelapa yang banyak hanyut. Atau pohon nipah, atau mangrove (bakau). Mereka juga mengumpulkan kayu-kayu yang hanyut untuk bahan bakar memasak dan membuat api unggun. Pulau-pulau ini ahirnya akan menjadi tujuan nelayan tersebut untuk selanjutnya. Karena mereka merasa perlu menengok kebonnya.
Cerita proses menemukan pulau tempat babang, lalu berkebun dengan beragam pohon-pohon pantai, menumpuk kayu bakar, dan lain-lain, terjadi sepulangnya mereka ke pulau asalnya. Cerita itu tampaknya menjadi proses pengakuan publik tentang kepemilikan pulau. Jangan tanya proses pengakuan administrasinya. Pengakuan adat secara turun-temurun dan tidak ada bantahan soal itu administrasinya. Mungkin pengakuan-pengakuan secara adat turun-temurun itulah yang mempermudah proses keluarnya girik. Girik atau Buku Letter C punya kekuatan hukum sebagai alat bukti penguasaan atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Setidaknya, proses kepemilikan pulau ternyata jauh dari imajinasi saya pada permulaan. Jauh dari intrik perebutan kekuasaan dan keserakahan. Tadinya saya menyangka proses kepemilikan pulau dimulai dari lomba dayung nelayan ke pulau-pulau kosong. Atau seperti perjalanan penjelajahan Christiper Columbus dengan penemuan benua Amerika untuk tujuan 3G, Gold, Glory, Gospel. Atau drama petualangan Tom Hanks dalam film keren Cast Away. Ternyata jauh. Jauh sekali. Nenek moyang orang-orang pulau ternyata sangat santun. Menggunakan alam untuk kehidupannya, dan menghidupi alam untuk keberlangsungannya. Akhirnya yang memetik buahnya adalah anak cucunya. Lantas di kemudian hari, pulau-pulau itu berpindah kepemilikan. Dan tak lama sesudah kemudian hari itu, keturunan selanjutnya menjadi pekerja di pulau yang telah dijual keluarga mereka sendiri. Bekerja di pulau-pulau yang diubah oleh pemilik barunya menjadi pulau-pulau resort yang mewah. Dan hari ini, menuju ke sanapun harus menggunakan kapal mewah serta dengan tiket yang lumayan mahal.
Ah, jauh sekali ya kita berkelana dari tema cara menuju ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu ke masa lalu kawasan kepulauan di Teluk Jakarta itu. Hehe, maaf dah.
Kita kembali ke laptop. Eh, ke tema: Kepulauan Seribu atau Pulau Seribu? Tapi di bagian berikutnya ya. Enjoy Pulau Seribu. Enjoy Kepulauan Seribu. Enjoy Jakarta. Enjoy Indonesia. See you.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ngomong apa ta mbok? Persepsi ya beda yg penting, ngopi dulu pake kerupuk cue. Okee
Siaaap