Mahfud Aly

Lelaki terkombang-kambing tulisan. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
BANG, SMS SIAPA INI?

BANG, SMS SIAPA INI?

Mahfud Aly

(Remekan rengginang)

Kau tidak akan percaya kalau aku ceritakan!

Dapat SMS dari teman lama, seorang sahabat sekaligus guru yang sangat keren di kota Jayapura, Papua sore ini. SMS yang biasa, tapi daya magisnya seakan menampar mukaku dengan telak. Pendek memang tapi plaak!

"Al, kapan penelitian dan ikut lomba penelitian lagi? Kami kangen dengan gayamu. Kami semua kangen dengan teman, sekaligus pesaing yang tidak mudah menyerah. Ayo, buruan cari sekolah yang nggilani, dan buat mereka mengobrak-abrik level nasional. Kami tunggu!"

SMS ini aslinya tulisannya ampun singkatannya. Hanya alien yang bisa baca. Hihihi!

Hingga sekarang SMS itu tidak aku jawab, bukan karena aku malu karena sudah pensiun cukup lama dari lomba dan kegiatan di luar kota.

Kalau aku bilang aku tidak kangen dengan masa laluku, kau salah. Aku kangen sekali dengan teman-teman, persaingan, dan adrenalin kejuaran pun kompetisi nasional.

Kangen gila.

Aku kangen jadi manusia batu yang sangat keras pada anak didikku.

Tanyakan pada siswaku yang pernah aku ajak ikut lomba. Aku tidak hanya seorang Mister, tapi sudah berubah jadi Monster. Sekali waktu mereka memanggilku Master.

"Jadi juara apa saja, kau tidak boleh manja, apalagi setengah-setengah. Kau harus fokus dan kerja keras, juga harus pandai membaca peluang. Jika kau biasa-biasa saja, selamanya kau akan jadi pecundang, kelas bawah yang hanya mendongak ke atas. Meratap dan mengumpat nasibmu!"

Siswaku menulis ini di buku hariannya. Tiga tahun kemudian saat ia menunjukkan ini padaku. Aku tertawa. Sambil menangis. Kejam sungguh. Ia ingat aku mengatakan itu di gedung kementrian pendidikan dan kebudayaan Jakarta, 2008.

Kini ia melancong sekolah tinggi di negeri jauh. Barakallah!

Dalam catatan itu, aku pun membaca pesanku lagi.

"Jika ingin juara, mendongaklah ke atas dan berdoalah. Tuhan, aku akan bekerja keras, bekerja lebih dari yang lain, hingga Kau tak tega membuatku tetap jadi pecundang.Jika mereka bekerja 4 jam sehari, aku akan bekerja 12 jam. Jika mereka membaca buku 4 seminggu, aku lima."

Aku ingat tulisan yang wow.

"Barang siapa ingin mutiara harus berani terjun di lautan yang dalam," kata Ir. Sukarno.

Jika aku diperkenankan untuk menjawab, aku jawab dengan jujur.

"Bapak presiden yang mulia, untuk memiliki mutiara, kita tidak perlu terjun ke lautan. Kita bisa memodifikasinya atau mengangkat ke daratan dan mengembangbiakannya dengan modifikasi yang serupa di alam bebas."

Jika Yang mulia presiden menjawab, "Tidak akan sama, Al. mutiara hasil penangkaranmu dengan yang dierami lautan."

Aku tentu akan jawab lagi.

"Yang mulia, tak perlu terjun sendiri. Kita bisa buat robot penyelam dengan sonar dan sensor. Mereka yang terjun. Biarkan kami leyeh-leyeh di pantai sambil pegang remote control."

Tetapi yang mulia, sebelum kau memberikan pandanganmu yang luar biasa jernih, izinkan aku menjelaskan situasi zaman now kepadamu.

"Yang Mulia, jangan lupa, negara yang kau asuh seperti anak kandungmu sendiri, kini berubah nama menjadi INDONESIAL. Jika aku inginkan mutiara seperti itu, aku akan membelinya di pasar gelap. Selama kita punya uang, dan hidup di negeri bangsat ini, apa saja bisa dibeli dengan uang."

Dialog imajinatif ini berakhir remis.

Jujur, sertifikat, piala dan segala tetek bengek-nya tidak lagi membuatku tertarik. Toh, aku juga selalu menolak jika ada sekolah, entah sekolah tengah kota atau pinggiran untuk menjadi guru pembimbing mereka, di kejuaraan apa saja. Aku sudah tahu rasanya semua lomba.

Aku telah puas, karena aku telah memiliki Fira, dan Rizwan dan itu cukup. Belum ada kepala sekolah mana pun yang mampu membujukku untuk kembali dengan iming-iming apapun.

Setelah menulis ini aku akan jawab SMS sahabatku,

"Aku tidak kangen dengan piala atau sertifikatnya, aku hanya kangen dengan hadiah uangnya yang banyak itu, hotel gratisannya, dan Garuda Indonesianya, SPPD (surat perintah perjalanan Dinas)nya, dan yang paling utama: aku kangen meninggalkan kelas dan sekolah tetapi tetap dibayar."

Tunggu aku, aku pasti akan kembali. Aku akan mengobrak-abrik Jakarta, tapi entah kapan!

Doakan anak gadisku, Dzafira, atau Rizwan mau jadi peniliti dan mengikuti lomba.

Kombinasi yang menyeramkan, aku pikir!

Salam dari dusun kecil di Lamongan untuk saudaraku semua Papua.

[END]

Ah, janji tak ikut hiruk pikuk lomba tak bertahan lama. Kini aku pegang lima sekolah. SD, SMPN, SMAN, SMA Swasta, dan MAN.

Mereka sering juara. Toh, aku bisa tertawa. Nikmat apa lagi yang aku cari. Terima kasih Allah SWT telah mengingatkan aku tak berhenti. Tak menyerah. Meski dulu pernah sakit hati. Sakit hati kepada mereka yang menjual harga pada orang yang salah.

Itu saja.

Bismillah.

Lamongan, 16 Maret 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Always excellent..Mister..Your spirit very very very eaa... Bravo brother...

17 Mar
Balas

Mohon maaf. Mohon maaf. Bunda.

17 Mar

Amazing, spectacular, marvelous, and dam your writing. I'm crazy to read it.you are truly alien of gurusiana. Barakallah...

17 Mar
Balas

Mohon ampun, Bunda. Salam ke Mister Agus.

17 Mar



search

New Post