Biar Ibunya yang Membayar..
“Maaf, pak apakah Nadya, akan ikut piknik akhir tahun sekolah?”. Bu Any bertanya kepada pada ayah Nadya yang kebetulan mengantar Nadya ke sekolah pagi itu.
“Lho, ibunya belum bayar ya. Kalau saya bayar uang sekolah kakaknya Nadya. Untuk urusan Nadya semua jadi tanggungan ibunya”.
Bu Any yang mendengar ucapan ayah Nadya, agak mengerutkan dahinya. Sepengetahuannya, ayah dan ibu Nadya rukun-rukun saja, tapi kenapa kesannya seperti hidup di alam yang berbeda.
“Oh iya pak, nanti saya tanyakan pada mamahnya Nadya, terima kasih, pak “.
Mendengar laporan bu Any, perihal Nadya, aku hanya terrsenyum. Ya, begitulah bagi sebagian keluarga memang ada pembagian keuangan seperti itu. Ayah membiayai anak sulung, sementara ibu membiayai anak yang lain. Biasanya ini berlaku pada keluarga dengan ibu yag bekerja di luar. Atau ada juga, keluarga dengan pembiayaan harian. Seperti yang dialami teman karibku. Suaminya tidak menyerahkan gaji bulanannya kepada sang istri. Tetapi ia membayar seluruh tagihan listrik, air, gas, iuran RT/RW hingga membeli kebutuhan bulanan keluarga. Sementara istrinya, hanya diberikan uang “jajan” mingguan untuk kebutuhannya sendiri. Ketika kutanyakan, mengapa ia menerima saja pola keuangan seperti itu. Jawabnya simple, ia tak ingin repot membayar ini itu lagi pula suaminya juga kurang percaya pada kemampuannya untuk mengelola keuangan keluarga. Selain itu katanya, ia juga punya penghasilan sendiri, jadi menurutnya no problem jika sang suami mengatur semuanya.
Sejatinya sejak mengikrarkan janji sebagai sepasang suami istri hubungan keduanya melebur satu sama lainnya. Dan seyogyanya, keduanya saling terbuka termasuk masalah keuangan. Tidak ada ketentuan pasti secara quantitative, berapa %, suami harus menyerahkan gajinya kepada istrinya. Semuanya tergantung pada kesepakatan bersama. Memang pada umumnya, dalam keluarga Indonesia, si suami menyerahkan sebagian besar gajinya kepada istrinya untuk pembiayaan internal keluarga.
Bapak dan ibuku pun punya pola keuangan yang unik. Ibu sejak sebelum menikah sudah bekerja sebagai pendidik di Jakarta. Sehingga sudah terbiasa menerima gaji di awal bulan. Untuk kebutuhan harian keluarga seperti belanja makanan, itu bagian ibu. Sedangkan yang besar-besar, seperti beli barang, uang sekolah dan sejenisnya menjadi kewajiban bapak. Untuk uang transport anak-anak, ibu mengajari kami dengan sistem uang bulanan. Dulu, saat masih sekolah SMP, aku dan saudara-saudaraku terbiasanya menerima uang bulanan, untuk transportasi dan uang makan (jajan). Bapak dan ibu mempunyai 4 anak, namun yang sudah dilatih untuk menerima uang bulanan hanya 3 anaknya yang sudah duduk di bangku SMP ke atas. Uang bulanan kami besarannya di hitung dari transportasi perhari, uang jajan perhari plus uang untuk jaga-jaga.
Dengan sistem uang bulanan seperti itu, aku terbiasa mengatur pengeluaran setiap bulan dan bisa membeli keperluan sendiri dengan menghemat uang bulanan. Dari cara itu, saat lulus SMA, aku sudah memiliki tabungan Rp. 650.000 . padahal saat itu gaji ASN sekitar Rp. 1.500.000.
Masalah keuangan keluarga, memang masalah pelik. Tapi yang pasti Tuhan sudah melengkapi setiap makhuknya dengan seperangkap alat untuk bisa bertahan hidup. Setiap mahkhuk, mempunyai rejekinya masing-masing. Walau terkadang was-was dengan kodisi keuangan, terlebih seperti sekarang, namun yakinlah bahwa Tuhan akan selalu menolong hambaNYA..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar