Mahmudah Cahyawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Hak Konvensi Anak, Apa Perlunya, Sih??

Hari ini sampai 2 hari ke depan, saya mengikuti seminar tentang hak konvensi anak. (HKA). Sejujurnya saya baru mengetahui HKA, semenjak sekolah kami ditetapkan sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA). Akibat penetapan yang sekonyong-konyongnya, mau tak mau harus mencari tahu apa itu HKA. Karena salah satu syarat menjadi SRA, harus sudah mengikuti pelatihan HKA.

Di hari pertama, narasumber menjelaskan sejarah terbentuknya hak konvensi anak. Termasuk hokum dan undang-undang yang menjadi paying hokum pelaksanaan HKA, baik di Indonesia maupun luar negeri.

Yang menarik dari penjelasan beliau adalah hak anak untuk bebas dari intimidasi dan diskriminasi. Saya ingat, 4 tahun lalu, saat ingin mendaftarkan si bungsu di salah satu sekolah swasta terpadu, saya di sambut oleh seorang staff sekolah tersebut. Setelah berbincang sejenak dan memgutarakan maksud kedatangan kami, staff tersebut dengan santainya mengatakan, sebaiknya saya tidak mendaftarkan anak saya di sekolah ini, karena hanya akan menhamburkan uang saja. Karena, katanya lagi, yang bisa masuk sekolah ini, hanyalah anak-anak yang sudah lancar membaca dan menulis. Si bungsu yang kebetulan mendengar perkataan staff tersebut, langsung menundukan kepalanya dan taut wajahnya terlihat sedih. Si bungsu, saat itu maih berusia 6 tahun 2 bulan dan belum lancar membaca. Melihat kekecewaan si bungsu, saya langsung menarik tangannya sambil mengatakan, bahwa saya bersyukur sudah ditunjukkan oleh Allah, bahwa sekolah ini adalah sekolah yang tidak bermutu,

Disadari atau tidak, sekolah yang seharusnya menjadi daerah teraman bagi anak, justru menjadi lading pembantaian kepribadian anak. Perbedaan perlakuan stake holder sekolah terhadap anak popular dengan anak tidak popular kerap terjadi di sebagian seluruh sekolah. Saya ingat, saat SMA kelas 1 dahulu, tiba-tiba di majalah dinding (Mading) sekolah, ditempel daftar 100 siswi tercantik di sekolah. Bagi saya pribadi, berita itu mungkin tidak berdampak sama sekali. Tetapi bagi seorang teman kelas saya, dampaknya cukup besar. Melia, nama teman yang cukup shock, setelah mengetahui bahwa ia tidak termasuk 100 siswi tercantik. Entah memang pada dasarnya sudah insecured dengan dirinya, kemudian di tambah dengan adanya survey seperti itu, Melia semakin terpuruk dan menganggap dirinya semakin tak berguna. Walau akhirnya daftar tersebut di turunkan, namun cukup membuat baper para siswi.

Lantas apakah masih perlu, sekolah ramah anak ditetapkan?. Jika memang SRA ingin diterapkan, perlakuan seperti yang si bungsu terima ataupun pengalaman yang saya alami dahulu, harus bisa diantisipasi oelh stakeholder sekolah. HKA, memang tidak dikhususkan untuk pengasuhan di sekolah, tetapi sekolah menjadi salah satu subjek pelaksanaan HKA.

Itulah, point yang saya dapatkan setelah mengikuti seminar daring Hak konvensi anak. Hari ini. Masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, masyarakatt dan pemerintah terhadap perlindungan anak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post