Lorong Gelap
Saat aku duduk di bangku Sekolah menengah pertama (SMP), keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Alasan utama, karena ibuku menjadi kepala sekolah dan mendapat rumah dinas di sana. Jika harus pulang pergi dari Bogor, tentunya akan menyusahkan ibu karena harus berangkat pagi-pagi buta dan sampai di rumah sudah malam. Alasan lainnya karena kami, anak-anaknya bersekolah di Jakarta. Kebetulan rumah dinas ibu berada di komplek sekolah yang sangat luas. Dalam satu komplek ada 3 sekolah dasar. Masing-masing sekolah memiliki lapangan yang cukup luas. Di dalam komplek ada 2 pintu utama depan dan belakang. Serta 1 pintu samping kecil untuk pejalan kaki. Kebetulan rumah kami terletak di bagian paling belakang, jadi perlu upaya khusus untuk keluar masuk komplek. Terutama saat malam hari. gelap dan sedikit menyeramkan..
Selama kelas 1 SMP, sekolahku berlangsung dari siang hingga sore hari. Karena jam pulang sekolah bersamaan dengan jam pulang kantor, terkadang kendaraannya penuh dan harus menunggu beberapa saat. Hingga suatu hari, kebetulan kendaraan mikrolet yang melewati jalur sekolah selalu penuh, terpaksa menunggu hingga menjelang magrib. Ditambah lagi ada beberapa titik kemacetan yang harus kulewati, semakin memperlambat kepulanganku.
Pulang malam bagiku berarti harus sport jantung. Bukan apa-apa, karena untuk sampai rumah aku harus melewati lapangan yang sangat luas dan gelap serta beberapa bangunan sekolah yang sangat sepi. Dan benar saja, begitu sampai di ujung kampung, tampak di hadapanku lapangan yang sangat luas dan gelap. untuk melewatinya perlu mental yang kuat.
Sambil membaca bismlillah dan ayat kursi, kulangkahkan kaki dengan cepat dengan pandangan mata hanya lurus ke depan. Hanya melintasi lapangan seukuran lapangan sepak bola saja, namun rasanya seperti berlari berjam-jam. Akhirnya .sampai juga di sebarang lapangan. Setelah itu, masih ada satu hal menakutkan yang harus kulalui. Yakni bangunan sekolah yang sepi dan gelap. Di bangunan itu ada satu lorong lurus, sekitar 300 meter, yang harus kulalui. Sebelah kanan lorong adalah kelas-kelas. Sedangkan sebelah kirinya adalah lapangan sekolah Sebenarnya ada jalan lain, namun harus mengitari pagar sekolah untuk sampai pintu utamanya.
Sekali lagi dengan membaca bismilah, kutatap sejenak lorong kecil yang ada di hadapanku. Tak tampak seorangpun di sana. Hanya bunyi jangkrik yang mulai bermunculan. Sambil menutup mata, segera kulangkahkan kaki berlari sekencang-kencangnya menyusuri lorong itu. Baru beberapa langkah, tiba-tiba ada suara “bruuuk,,,bruuk ” dari arah samping kananku, ingin kubuka mata, tapi rasa takut seolah membuat mata ini berat. Rasanya sudah berlari sekencang-kencangnya, tetapi kaki ini seperti jalan di tempat. Keringat dingin mulai bermunculan. Ingin teriak tapi mulut terkunci. Suara “kreesekk..kreseeek” kembali terdengar jelas di telinga. Ingin kupastikan suara apa itu, tapi sekali lagi mata terpejam kuat. Dalam hati kuberpikir, seharusnya sudah sampai di ujung kanan bangunan, tetapi mengapa kaki ini belum menyentuh pagar batas sekolah. Dengan sekuat tenaga, kubuka paksa mata ini, dan benar ternyata aku masih berasa di tengah-tengah bangunan sekolah. terlihat masih ada sekitar 200 m lagi yang harus kulalui. “Ibu…ibu… aku takuuuuut!!!”, akhirnya sepanjang lorong kuterus berteriak ketakutan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar