Ermawati

Profil Penulis: Penulis lahir di RS Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, menempuh pendidikan dasar di Cibubur; dan SLTP di Gandaria, Jakarta Timur, d...

Selengkapnya
Navigasi Web

CINTA BERSEMI

Selama masa pemulihan Agus minta izin cuti dari tempat kerjaannya. Waktunya dihabiskan di rumah. Setelah bangun tidur, salat, makan dan minum obat. Reaksi obat bisa mengurung Agus di dalam kamar seharian. Sementara Lisa harus mengajar penuh, setelah beberapa hari yang lalu banyak meninggalkan kelas. Untuk sementara, Lisa menggantikan peran suaminya, menjadi tulang punggung keluarga.

Dalam kesendirian Agus mulai merenung. Betapa besar karunia Tuhan kepadanya. Alhamdulilah, penyakit tidak merenggut nyawanya. Ia menyesali dirinya, karena kurang menghargai kesehatan. Istilah kata “sehat” sering dibicarakan tapi sedikit makna yang di resapi. Pada saat menderita sakit seperti ini, kesehatan sangat berarti. Kesehatan menjadi harta yang paling berharga. Kekayaan yang melimpah tidak bisa dinikmati, jika si empunya menderita sakit. Tidak bisa mencari kekayaan, yang ada membuang kekayaan untuk biaya pengobatan.

Penyakit Agus, Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi tropis yang mengancam kesehatan . Nyamuk menularkan virus dengue. Demam dengue juga disebut sebagai demam sendi, karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya mengalami nyeri hebat seakan-akan tulang mereka patah. Nyeri otot dan persendian.

Agus bersyukur sudah bisa melewati masa kritis DBD yang berlangsung 7 hari. Ia menggeliat dari tempat duduknya. Sisa-sisa gejala dengue masih sedikit dirasakan. Otot-ototnya masih kaku. Badannya masih demam suam-suam. Oleh karenanya selain minum vitamin yang dianjurkan dokter untuk meningkatkan kekebalan tubuh, Agus juga mengkonsumsi jus jambu.

Keadaan tanpa kekebalan mengundang masuknya virus yang berseliweran hendak merampok nutrisi dari “host” yang lemah. Untuk itu, vitalitas dan kebugaran diri hendaknya dijaga. Pola makan dan minum harus di kontrol. Pola hidup sehat. Asupan dan pembuangan harus seimbang.

Kesehatan jiwapun tak ayal harus dijaga. Kepasrahan dan ketulusan menjalani hidup harus dilatih. Tidak boleh lagi menggerutu, bila kesuksesan tidak dicapai. Memang manusia sering tidak puas dengan kehidupannya sendiri. Dan, yang lebih parah, manusia tidak pandai bersyukur. Syukuri apa yang ada, niscaya Allah akan menambah rizki. Biasanya, getirnya kehidupan, sering membutakan mata hati untuk bersyukur. Kebiasaan membanding-bandingkan dengan nasib kehidupan orang lain, sering membuat orang lupa bersyukur. Rizki sudah ada yang ngatur. Tugas manusia hanyalah berikhtiar.

Semakin lama Agus di rumah, semakin banyak hikmah kehidupan yang mulai dipahami. Agus mempunyai kesibukan baru, yaitu membaca buku dan membaca al-Quran, termasuk tafsir Al-Misbah karya Prof. DR. Quraish Shihab. Wawasan pemikirannya berkembang, tapi juga menyadari bahwa hidup di dunia hanya sesaat.

Tiba-tiba rasa takut menyelusup dalam pikirannya. Agus mulai merasa ketakutan akan datangnya kematian. Dirinya belum siap. Terlalu banyak dosa-dosa yang dilakukan. Agus belum bertaubat. Selama ini dalam pikirannya hanyalah bekerja dan bekerja. Mencari uang dan mencari uang.

Agus bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi. Agus mandi besar diniatkan untuk bersuci, lalu mengambil wudhu. Setelah memakai sarung disandangkan baju koko membalut tubuhnya. Dihamparkan sajadah menghadap kiblat. Agus bertakbir salat taubat. Sesudah itu dia Salat hajat.

Agus berzikir mohon ampun, atas khilaf dan dosa yang telah diperbuat. Lambat laun, hati yang berzikir membuatnya mulai memasuki masa penyesalan. Seluruh dosa membayang dalam fikirannya. Banyak sekali orang yang disakiti. Agus semakin dalam berzikir, mohon ampun…. Lama kelamaan Agus sesenggukan. Agus menangisi dosa-dosa yang diperbuat selama ini.

Suara ketokan pintu mengganggu kekhusuannya. Agus bangkit ke depan ruang tamu membukakan pintu. Lisa kaget menyaksikan mata suaminya sembab. Sambil meraba pipinya Lisa berkomentar.

“Papa menangis,” sambil mengeluarkan tissue dari tas jinjingnya. Lisa menyeka butiran air mata yang jatuh membasahi pipi suaminya. Keharuan menyergap dadanya. Lisa menahan derai air matanya yang mulai berlinang.

“Iya, tadi papa salat dan berzikir. Papa takut kehilangan mama. Papa juga takut dijemput kematian.”

“Jangan banyak berpikir yang tidak-tidak,” Lisa membesarkan hati suaminya.

“Musibah datang kapan saja. Datangnya tidak diundang dan perginya pun tidak pamit.”

“ Hayo…, bangun papa. Nih mama bawakan gado-gado,” ujar Lisa seraya mencium kening suaminya, lalu menarik tangan kanan suaminya agar segera bangkit menuju meja makan.

“Kenapa mama pulangnya siang?”

“Ini jam istirahat, waktu salat dan makan siang. Mama sudah pamit pulang sebentar diwaktu zhuhur, takut papa belum makan dan minum obat.”

Sayuran dan lontong yang dilumuri bumbu kacang menjadikan menu makan siang kali ini agak berbeda dari biasanya. Perhatian dan ketulusan Lisa membuat Agus semakin haru. Dia sangat menyesal, tapi tak mampu diungkapkan. “Biarlah penyesalan ini menjadi rahasia dirinya pribadi,” bisikan lembut dalam hatinya.

Habis minum obat, papa istirahat, nanti sore kita jalan-jalan ya,” kata Lisa sambil menyodorkan air minum. Lisa pamit kepada suaminya untuk kembali ke sekolah lagi.

“Siap mam!” jawab Agus mencobakan canda. Lisa keluar rumah dan menyalakan motor, lalu melaju dan menghilang dibalik pintu gerbang perumahan. Di bibirnya masih tersungging senyuman.

Agus menguatkan diri bahwa nanti sore dia harus bergerak. Nanti sore dia harus berolahraga. Kesadaran akan sehat jangan lagi hanya dalam kata-kata, akan tetapi pembuktian dalam perbuatan.

Setelah salat ashar, Lisa mengajak suaminya, Agus Dwisasmita berolahraga ringan, berjalan mengelilingi komplek perumahan. Dengan bergerak, niscaya akan segera membantu mempercepat kebugaran suaminya. Otot-otot yang kaku akan terlemaskan akibat jalan kaki dan senam. Darah akan lancar mengaliri seluruh bagian tubuh, hingga ujung-unjung syaraf kapiler.

Sesudah salat subuh, Lisa juga mengajak suaminya berjalan keliling komplek perumahan. Udara yang segar tanpa polusi niscaya menyegarkan jiwanya yang rapuh dan tubuh yang lelah. Gemeretak tulang belulang dirasakan sesaat pada setiap awal pergerakan senam. Memang otot-otot ini belum lagi regang terimbas virus dengue dahulu.

Dengan sabar Lisa mengiringi langkah suaminya untuk jalan-jalan. Kadang-kadang di pagi hari kalau sedang libur mengajar. Di hari kerja Lisa menemani pada penghujung senja selepas ashar. Senantiasa berjalan berduan, membuat Lisa dan Agus mempunyai aktifitas baru yang sangat manis. Menyusuri jalan-jalan beraspal. Diantara pohon-pohon yang rindang, cinta bersemi seperti dahulu, saat mereka jatuh cinta. Diantara dedaunan kering yang berserak, Lisa meredam rasa putus asa dan sakit hati, dan dibiarkan membeku dalam tumpukan sampah organik, yang kelak akan larut dibawa air hujan diantarkan ke laut.

Kadang-kadang mereka berpegangan tangan dengan tidak disengaja. Rasa memiliki dan takut kehilangan, sering membuat Lisa bereaksi secara reflek, membimbing tangan suaminya agar tidak terjerembab ke tanah. Sambil bergandeng tangan, gelora asmara bangkit, tapi apa daya fisik belum pulih.

“Mama Tidak capek, setelah bekerja seharian masih mendampingi papa berolahraga jalan-jalan sore,” demikianlah Agus menyanjung istrinya.

“Pah, rasa cinta yang tiada henti niscaya memberi energi yang dahsyat.”

“Papa juga sangat mencintai.”

“Ma…sa…sih.” Buru-buru Lisa membelokkan pembicaraan, Masa-masa seperti ini, cinta akan diuji. Cinta akan ditakar.

Sepasang mata memperhatikan dari balik jendela. Lisa melambaikan tangan dan menyapa “hallo, hey apa kabar?”

Bu Bambang tersipu malu merasa tertangkap basah memperhatikan mereka. “Kabar baik bu Lisa. Bapaknya sehat?” Lisa melambaikan tangan dan menganngguk.

Jalan-jalan mengelilingi perumahan komplek, ternyata mendatangkan respon positif. Tidak saja menjawab berita bohong tentang perselingkuhan, tapi juga membuat iri istri-istri dengan memaksa suaminya agar ikut berjalan-jalan. Sejak itu, Jalan sekitar komplek jadi ramai. Aktifitas jalan-jalan menjadi sarana berolahraga dan sarana kebersamaam keluarga, bahkan kehangatan mulai terasa diantara sesama tetangga. Ketika berpapasan, mereka menyapa. “Apa kabar Pak Agus. Sudah sehat?”

“Alhamdulilah Pak Asep,” jawab Lisa sambil melambaikan tangan. Agus hanya senyum dan mengangguk, seolah bugar total, padahal dari raut muka dan wajahnya masih tampak bekas guratan menahan rasa sakit dari dalam.

“Pah gak usah dibuat-buat sok sehat. Muka papa masih kelihatan pucat dan meringis.”

“Masak sih?” Agus mengelak dan meyakinkan dirinya dengan berkacak pinggang, seolah-olah dia sudah sembuh total.

“Gak percaya, ayo sini aku foto, stop berdiri di sini!” Lisa mengeluarkan gadget, “ceklek” mereka selfi berduaan, layaknya anak remaja zaman sekarang.

“Coba perhatikan, wajah papa sendiri dan bandingkan dengan wajah mama. Nich juga bandingkan wajah papa sekarang dengan wajah papa yang di foto-foto bapak yang tersimpan didalam facebook.” Ujar Lisa penuh semangat.

“Ya betul berbeda, garis-garis wajah buram. Rona pipi masih kelihatan pucat.” Agus menyadari bahwa dari sudut perasaan yang paling dalam, dirinya masih lemas kurang tenaga. Tapi, untuk menunjukkan kegagahan, ia berusaha untuk mengingkari akan kelemahan dirinya. Dia tak mau dianggap menderita, tapi orang-orang paham bahwa dia belum sembuh total.

Semakin hari, kesehatan Agus semakin membaik. Untuk menguji kebugaran, Lisa mengajak Agus berjogging menyusuri lapangan sepakbola yang ada di komplek perumahan. Awalnya hanya mampu mengelilingi lapangan 1 kali putaran. Itupun dengan jalan santai. Setelah 2 minggu, langkah-langkah kakinya semakin cepat menginjak tanah. Lapangan telak ditaklukkan Agus dengan 2 putaran.

Setelah satu bulan berolahraga dengan berjalan kaki, kebugaran yang dimiliki Agus mulai tanpak. Otot dan urat-uratnya sudah kembali seperti semula. Lisa bersyukur, karena dengan berolahraga, kesehatan suaminya mulai membaik. Dengan berolahraga rasa kebersamaan mulai bersemi. Mereka saling memperhatikan, saling memberi dan saling berbagi.

Mereka menyadari bahwa selama ini kebersamaannya kurang berkualitas. Biasanya, sepulang kerja, lelah dan istirahat. Pagi-pagi mereka sibuk mempersiapkan diri berangkat kerja lagi. Begitu seterusnya. Kebersamaan hanya pada malam hari, ketika dua insan terlelap di atas tempat tidur. Kalaupun ada kebersamaan, hanya diakhir pekan mereka dapat meluapkan rasa dan nuansa sekedarnya. Mereka bisa menumpahkan rasa kangen, tapi sekedar rutinitas, karena dikepalanya tersimpan asmara terlarang bercampur stress pekerjaan. Ambisius menyergap diri mereka dalam perputaran roda pekerjaan.

“Gimana kalau setiap minggu kita berolahraga sambil bertamasya?” Lisa menyampaikan usul.

“Boleh, Aku setuju. Pasti membuat sehat jiwa dan raga.”

“Kita perlu mencoba tempat “tracking” jalan kaki yang lebih eksotis.”

“ Danau Gintung juga bagus,” usul Agus

“Danau Cibubur juga bagus,” Lisa menimpali

“Oh ya mah… pada hari sabtu, temen-temenku jalan sehat di taman Ragunan. Dan kalau hari minggu, tempat jalan santai yang banyak dikunjungi adalah Gelora Bung Karno.”

“Temen-temenku banyak yang olahraga di lapangan sempur Bogor. Selain sejuk dan rindang, Kulinernya juga oke,” Lisa tidak mau kalah memberikan usul.

“Pokoknya aku setuju aja, terserah mama yang atur.”

“Sebulan sekali kita olahraga di Gelora Bung karno. Sabtu kita olaraga di danau Cibubur atau di danau Gintung. Nah setiap hari minggu kita ke Bogor atau ke Ragunan, bagaimana?”

Setiap hari Minggu, kecuali di akhir bulan, Lisa mengajak Agus ke lapangan sempur Bogor. Selain menjajal track jalan kaki mengelilingi lapangan, pohon yang rimbun dan udara yang sejuk, dapat memberikan nuansa rekreatif bagi mereka berdua. Selesai 5 putaran, keringat mengucur. Dari dagu menetes keringat yang dibakar cahaya matahari pagi. Lisa tidak sadar, buru-buru Agus membantu menyekanya dengan handuk kecil. Karena telah lelah, mereka berhenti dan mencari tempat yang rindang. Ada yang menjual jajanan dan minuman. Agus memesan susu jahe dan pisang goreng. Lisa minum susu kedelai panas.

Di akhir bulan mereka menjajaki “track” jalan kaki mengelilingi Gelora Senayan. Benih-benih cinta asmara yang mulai pudar kini bangkit seperti sediakala, pada saat awal mereka saling jatuh cinta.

Bagi Lisa, saat yang paling indah dan membahagiakan adalah berjalan bergandengan di tepi danau seperti danau Situ Gintung atau danau Cibubur. Bukan hanya bergandengan tangan, tapi seringkali mereka berjalan berpelukan, layaknya dua remaja yang sedang dimabuk asmara. Gemuruh asmara memuncak. Sadar akan sekitarnya, cepat-cepat Lisa melepaskan dekapan Agus.

“Pa…, ‘Isin’ ah dilihat orang,” ujar Lisa dengan jengah.

“Emangnya mereka memperhatikan kita,” sahut Agus malah menggoda.

“Ya, tidak juga sih, tapi coba papa amati, hampir semua ekor mata dari orang duduk di tepi danau, semua memperhatikan kita. Malu ah seperti anak remaja aja.” Senang bercampur malu-malu.

“Mama biarkan gelora itu mengalir. Hasrat saling mencinta tidak pandang bulu; tua, setengah tua, muda atau remaja. Yang penting berkualitas.” Sela Agus lagi terus membela diri.’

“Memang apa bedanya gelora dan hasrat,” Lisa memancing tanya yang nakal.

“Gelora itu puncak-puncak asmara. Sedang hasrat itu pucuk-pucuk cinta.” Agus berteori.

“Maksudnya? Mama Tidak ngerti.”

“Memang cinta tidak untuk dipahami tapi untuk dimengerti dan dilakoni.”

“Udah ah bicara yang lain aja.” Lisa berhenti dan meyeret suaminya menuju bangku di ujung tanggul bendungan. “ Istirahat dulu Yuk!”

“Gelora itu jiwa atau batin dari cinta. Sedangkan hasrat itu adalah wujud dari cinta.” Agus melanjutkan diskusi yang belum usai.

Sebatang rumput gajah bergoyang-goyang dihempas angin semilir. Di seberang danau Nampak para pemancing melemparkan kail ke tengah danau. Riak ombak berupa bulatan kecil bergulung ketepi, semakin lama semakin membesar dan hilang. Di tengah-tengan danau nampak gerakan ikan yang menimbulkan riak-riak gelombang. Hanya para penghobi yang bisa mengerti membedakan gerakan gelombang ikan atau gerakan gelombang air diterpa angin.

Lisa menurunkan tas gendong dari punggungya. Dari pangkuannya, dibuka resleting dan dikeluarkan sebotol air teh manis, dan goreng pisang yang dipersiapkan dari rumah. Dibuka tutup botol, diserahkan botol kepada suaminya.

“Minum dulu, biar Tidak dehidrasi. Perjalanan masih setengah putaran lagi. Minum teh manis bisa menambah energi untuk melanjutkan perjalan,” celetuk Lisa.

Sejauh mata memandang, hanya pepohonan meliuk, bergoyang dihempas angin. Angin meghempas permukaan danau, lembut, seolah berkejaran tiada henti.

“Seharusnya cinta itu senantiasa berkejaran terus tiada henti, seperti riak di hadapanku ini,” keluh Lisa diam, sambil terus menambatkan matanya ke tepi danau.

Dua teguk teh manis meluruhkan rasa pekat ditenggorokan Agus. Sementara itu, Lisa menyantap pisang goreng.

“Kalau capek ya istirahat dulu. Jangan dipaksakan. Istirahat itu diperlukan dalam setiap perjalanan. Pada saat istirahat, seluruh kelelahan terobati. Indahnya pemandangan menyirami jiwa agar pikiran nyaman dan tentram,” Agus mencoba berteori.

“Kayak orang-orang itu ya pah,” tukas Lisa sambil menunjuk seorang bapak dengan 2 anak dan istrinya yang santai di tepi danau. Mereka duduk santai diatas tikar plastik menikmati makan. Tidak mewah, hanya nasi timbel dan lauk teri kacang, lalapannya mentimun. Mereka sangat menikmati. Kedua anaknya berlari-larian kesana kemari mengejar capung yang hinggap di pucuk-pucuk rerumputan.

“Ternyata, untuk bahagia tidak mesti mahal”. Lisa membuka kebekuan hatinya.

“Itu juga, coba lihat di ujung sana, orang-orang duduk dibibir danau dengan alat pancing. Orang-orang itu duduk berjam-jam, hanya menunggu umpannya disantap oleh seekor ikan. Memancing adalah hobi. Itulah cara mencari hiburan sekaligus melatih diri dalam ketekunan dan kepasrahan dalm menjalani kehidupan.” Agus mencoba menafsirkan filsafat memancing.

“Bukan hanya mereka pah, tapi kita juga bertamasya dengan sedehana dan murah,” Lisa terpancing sumbang suara.

“Bedanya, mereka bertamasya saja, sedangkan kita berolahraga sambil bertamasya. Atau bertamasya sambil berolahraga, hahaha,” Agus mentertawakan diri.

Bukan tertawa karena senang tapi lucu mendapatkan dirinya bersama orang-orang yang sederhana, tidak mampu membayar tamasya ke tempat yang jauh, seperti ke pantai atau ke`gunung.

Hanyalah, orang-orang berada, hanyalah orang orang yang mempunyai uang berlebih, yang bisa berlibur ke luar negeri atau berlibur di pulau Bali. Lisa merindukan berjalan menyusuri pantai, diatas pasir berjalan, sesekali buih air ombak membasahi kaki. Amboi! Indahnya! Biarlah keinginan itu bersemayan dalam benaknya, berharap suatu saat nanti dapat terwujud.

Sementara, anggaplah danau ini di pinggir pantai. Lisa memungut sebuah batu kecil, kemudian dilemparkan jauh ke tengah. Bulatan riak tak terlalu jauh, cuma 5 meter di depan matanya. Lisa berusaha mencari batu yang lebih besar dan melemparkan kembali.

“Hus, jangan mah. Itu akan mengotori danau.”

“Papa, kan Cuma batu kecil pa. Masak bisa mengotori danau,” Lisa kesal merasa dihalangi bermimpi, seolah-olah sedang di tepi pantai.

“Bayangkan, bila semua orang yang berkunjung ke danau ini melemparkan sebuah batu. Bila setiap hari terjadi, maka dalam 10 tahun danau ini akan dangkal dan barangkali tertutupi oleh tumpukan batu.”

“Iya juga ya. Kalau setiap orang melemparkan sampah plastik, kelak danau ini akan menjadi danau plastik, mungkin saja?”

“Ya pasti begitu. Mari kita jaga alam kita ini sebagai mana kita menjaga cinta kita,” Agus dengan nada merayu.

Matahari telah menjadi merah jingga di upuk barat. Sebentar lagi malam tiba. Mereka bergerak cepat, berjalan menyusuri tepi danau, agar lebih cepat sampai ke rumah. Di sepanjang jalan, banyak dijumpai 2 sejoli bercengkrama di atas jok sepeda motor. Yang paling mengenaskan, ada yang masih pake seragam sekolah, dan ada juga yang wanita dibawah umur, seperti anak putus sekolah. Tanpa risi mereka memadu kasih. Kalau ada pejalan kaki yang lewat, mereka pura-pura bicara serius. Kalau sepi dari pejalan kaki mereka bercumbu. Ini realita yang mengenaskan.

“Pa anak-anak remaja itu kok Tidak risi ya,“ Lisa bereaksi kesal melihat pemandangan dua sejoli di atas jok motor.

“Dimaklumi saja mah. Zaman sudah berubah. Era gadget membuat mereka mudah jatuh cinta dan membuat janji. Mereka adalah anak-anak terbuang. Mereka, kurang mendapat perhatian dan pengontrolan dari orang tuanya. Bisa jadi mereka anak dari keluarga ‘broken home’. Hidup bersama ibunya yang sebatang kara menafkahi keluarga.”

Semula Lisa kesal dengan prilaku mereka, kini telah memahami dan berangsur memaklumi, dan ikut tidak peduli seperti orang kebanyakan di situ. “buat apa cari-cari masalah.”

“Betul mah,” kata Agus menimpali. Memang serba salah. Menegur mereka, urusan bisa panjang. Jika mereka tidak terima, mereka akan minta bantuan komunitas atau group, untuk menyerang balik. “Urusan kecil bisa jadi besar.” Akhirnya Agus menyimpulkan bahwa masalah ini menjadi urusan pemerintah untuk menata kebersihan dan masalah kecabulan di sekitar danau ini. Harus ada pengaduan, mungkin dimulai dengan mengisi angket kritik di kantor kecamatan.

Tak disangka, sambil berdialog di sepanjang jalan, mereka tiba di rumah. Waktu belum masuk salat magrib. Buru-buru Agus ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, giliran Lisa membasuh peluh di seluruh tubuhnya. Berpakaian rapi, Agus siap-siap ke Masjid sambil menunggu azan magrib berkumandang dari speaker masjid. Lisa memakai mukena kesayangannya, warna biru. Mereka berjalan beriringan menuju masjid.

ooo0000ooo

Setengah tahun berlalu, kehidupan Agus dengan Lisa semakin kompak dan penuh seru kegirangan. Kebahagiaan mereka semakin membahana. Ternyata membangun kebahagiaan sangat murah dan sederhana. Lisa meyakini yang membangkitkan rasa bahagia adalah keikhlasan menjalani kehidupan dan menerima keberadaan suaminya apa adanya.

Kebahagiaan Lisa belum sempurna. Rasa penasaran untuk memastikan tentang rumor bisikan tetangganya, selalu terbersit dalam pikirannya. Namun, rasa itu dipendam kembali, agar tidak merusak suasana yang membaik. Lisa meyakinkan dirinya untuk tetap bersabar. Untuk memastikan desas desus itu, dibutuhkan saat yang tepat, suasana yang nyaman dan situasi yang memungkinkan. Lisa menunda membicarakannya.

Suatu malam terjadi pertengkaran kecil. Berawal dari kesalah pahaman. Agus pulang telat dan tidak mengabari istrinya. Biasanya sebelum magrib, Agus telah tiba di rumah. Sampai jam 10 malam belum juga datang.

Gelisah menyergap sanubari. Lisa terpuruk dalam penantian. Syak-wasangka kembali menggelayut di sanubarinya. Jangan-jangan dia jalan bersama dengan wanita lain. Tak salah apa yang digunjingkan tetangga. Setan membisikan kecurigaan saat Lisa sendirian di rumah. Tadinya sudah janjian mau makan di restaurant. Pedih hati Lisa.

Seluruh lampu rumah dimatikan. Lisa lari ke kamar tidur sambil melemparkan tubuhnya yang mungil ke tempat tidur. Air matanya meleleh. Kepedihan semakin menjadi-jadi. Omongan tetangga tentang wanita lain, mengiang-ngiang di telinga. Setega itukah Agus.

Deru suara mobil memecah tangis. Agus datang mengetuk pintu. Dengan segan, langkahnya tertahan satu demi satu. Diputar anak kunci dan gagangnya berbarengan. Lisa menundukkan kepala. Matanya basah.

“Mama sakit?” Agus merangkul istrinya, kemudian menutup pintu.

“Mama baik-baik aja kok,” sambil menghapus pipinya yang basah dengan telapak tangannya.

“Mama pucat dan kenapa mata mama basah. Apakah mama baru saja menangis ?” Agus menyelidik. Sepertinya ada yang disembunyikan oleh Lisa. Agus mengajak Lisa agar duduk di kursi makan.

“Papa minta maaf, karena pulang telat. Tadi lembur.”

“Papa pasti bohong. Dasar pembohong. Kita janjian mau pergi, papa lupa?” Amarah Lisa bangkit.

“Astagfirullah, papa lupa mah, demi Tuhan papa lupa,” Agus meyakinkan Lisa sambil memegang pundaknya.

“Kenapa tidak telepon, SMS atau WA? kan bisa!” Sambil memberontak, melepaskan diri dari suaminya.

Lisa berlari ke kamar tidur. Rebah lalu bersembunyi di balik selimut tebal. Agus menghampiri. “Maafin papa, mah.”

“Papa harus jujur,” Sambil mengigit ujung selimut, Lisa menangis dan berteriak kencang. Teringat wajah ibunya. Perasaannya getir dibalut kerinduan kepada ibunya. Terngiang nasehat ibunya, bahwa lelaki itu pandai beralasan. Alibinya banyak. Jadi jangan terlalu percaya dengan omongan berbumbu dan kegombalan.

Agus masih duduk di tepi tempat tidur. “Papa memang bodoh, meremehkan hal kecil, padahal penting. Papa minta maaf mah.”

Lisa menghentikan tangisannya. Berusaha menenangkan diri dengan memanjatkan zikir bertasbih di dalam hati. Subhanallah, Diserahkan semuanya kepada yang maha empunya segalanya. Kecurigaan yang selama ini mengendap dalam hatinya, kalau memang benar, biarlah Tuhan yang membuka aib. Dalam pepatah kuno, Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, suatu saat pasti akan tercium.

Pagi telah tiba. Fajar menyingsing. Agus membangunkan istrinya. Lisa kaget, berarti semalam dia tertidur pulas sampai menjelang pagi. Kelelahan karena menangis.

“Ma, bangun!” Suaminya menepuk-nepuk pundak Lisa dengan lembut. Lisa menggeliat dan duduk. Jam menunjukkan angka 05.00. Perasaan Lisa lega. Agus mengantarkan Lisa ke kamar mandi untuk ambil air wudhu, Agus menunggu di depan pintu.

“Kita salat jamaah mah,” Agus bertindak menjadi imam.

Selesai salat, Lisa salim, mencium tangan suaminya. Agus berkesimpulan bahwa salim mencium tangan adalah symbol perdamaian. Seolah tidak ada masalah, Agus beranjak ke dapur merebus air untuk membuat teh manis dan susu. Lisa merasa terbantu.

Matahari bergerak cepat, cahayanya menembus lubang angin. Diantara dedaunan, sinarnya menginjak bumi. Seperti biasanya, setiap pagi Lisa berkendara sepeda motor menuju ke sekolah. Sedangkan Agus mengendarai mobil ke kantornya yang berjarak lebih jauh, sekitar 12 km.

Tak lama, 2 minggu setelah pertengkaran kecil itu, Lisa mendapatkan undangan makan bakso dari seorang rekan. Tidak seperti biasa, tumben-tumbenan Rita ingin mentraktir dirinya.

Di warung bakso mereka memesan 2 mangkok bakso dan 2 gelas es teh manis. Rita termasuk wanita yang sangat suka rasa pedas dan juga kecap. Karakter mereka cukup kontras, Yang satu spontanitas, konfrontatif dan terbuka. Satu lagi, duduk manis, adem ayem menjaga perasaan orang lain, tapi suka menyimpan dendam. Isi mangkok bakso telah habis. Es teh manis tinggal setengahnya. Rita memulai omongan.

“Lis aku sengaja traktir kamu ke sini, ada yang ingin aku omongin,” seru Rita serius.

“Bicarain apaan sih,” Lisa acuh, karena antara dia dan Rita tak ada masalah apa-apa di sekolah.

“Aku serius Lis. Ini bukan masalah aku dan kamu, tapi masalah kamu dan suamimu,” Seru Rita sambil menghisap sedotan ke dalam gelas.

“Jangan bicara disini, Hayo kita pindah ke pojok sana”. Mereka bangkit, lalau mengatur posisi agar jauh dari pendengaran orang lain.

“Lis… apakah kamu punya adik ipar wanita”, Tanya rita hati-hati.

“ Tidak” Lisa penasaran. Matanya tajam memandangi Rita, ingin tahu. Di genggamnya tangan Rita erat sekali agar segera mengutarakan yang sebenarnya terjadi.

“Aku kemarin ketemu suamimu di Mall. Dia bersama 2 pria setengah baya dan 2 wanita, yang seorang agak lanjut usianya dan satunya lagi seumuran kita,” Rita bercerita bahwa Agus memperkenalkan mereka satu persatu seperti dalam acara kuis berebut kata di televisi. Ini Pak Herman, ini Pak Adi, dan Pak Yusuf. Sedangkan wanitanya ibu Heni dan ibu Wulan. Katanya teman satu kantor.

“Terus terang Lis, aku curiga dengan wanita yang bernama wulan. Suamimu itu duduk berdampingan dengannya, sangat mesra.”

Bagaikan di sambar petir, Lisa mendengar berita itu. Lisa tak bisa berkata apa-apa, Seolah-olah jantungnya lepas. Dia merebahkan tubuhnya ke bahu Rita. Rita memeluk dan menenangkannya. “Jangan terburu emosional. Itu baru pendapatku,” Rita menenangkan. “Bisa jadi aku salah menapsirkan. Tenangkan pikiran, lalu kamu korek informasi dari suamimu pelan-pelan.”

Lutut Lisa terasa lemas. Darah berhenti mengalir, seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Rasanya Lisa tak ingin pulang ke rumahnya. Lisa tak ingin ketemu lagi dengan Agus. Tapi juga tidak mungkin pulang ke Jogya, ke rumah ibunya. Lisa malu pada Ibunya, karena pernah tidak menuruti keinginan ibunya. Agus adalah pilihan Lisa sendiri.

“Lis, jangan terburu emosi. Kita cari bukti yang meyakinkan,” Rita menganjurkan.

“ Oh ya, Ada yang bernama Adi ya?”

“Iya, orangnya kurus semampai, hidung mancung. Rambut potongan belah dua. Di dagu kiri bawah ada tahi lalatnya”

“Cerdas, berarti aku harus mulai cari tahu dari Adi!”

Mereka beranjak pergi, setelah membayar bakso. Motor melaju kembali ke sekolah mengantar Rita untuk mengambil motornya yang di parkir di sekolah. Sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing, Lisa menelpon Adi agar mampir ke sekolah, sepulang kantor.

“Ada perlu apa ya mbak?” sahut Adi bimbang dan segan.

“Saya ada perlu serius Mas. Saya tidak sendirian ketemunya. Saya mengajak temen,’ Lisa memastikan. “Tapi mohon dengan hormat untuk tidak memberitahu Mas Agus, bahwa kita mau ketemuan.”

“baik mbak, akan saya usahakan dalam waktu 30 menit sampai.”

Lisa minta bantuan Rita agar bersabar mau menemani. Pertemuan dengan Adi dimaksudkan untuk memastikan apakah Wulan berhubungan atau menjadi pacarnya Agus.

Adi tiba di halaman sekolah tempat Lisa mengajar. Setelah keluar dari mobil, Adi diajak masuk ke kantin sekolah. Adi kaget melihat teman wanita yang mendampingi Lisa.

“Mbak Lisa, sepertinya saya kenal mbak ini, kalau tidak salah namanya …,eh ibu….”

“Rita, namanya,” Lisa menyambar.

Setelah bersalaman, Lisa mempersilahkan Adi duduk di bangku seberang. Sementara Lisa dan Rita duduk berdampingan. Ruang pertemuan ini tidak pas buat Adi. Terlalu luas dan seperti hubungan guru dengan murid. Tapi Adi berusaha memaklumi. Tidak mungkin mereka mengadakan pertemuan di tempat yang agak umum. Profesi guru seperti malaikat, tidak boleh cacat moral.

“Mas Adi, maaf saya tidak mungkin panjang lebar. Langsung saja saya mau bertanya. Apa betul waktu makan di restaurant Citos Mas Agus duduk berdampingan dengan Wulan”

“Iya, Betul mbak,” kata Adi

“Sepengetahuan mas Adi, apakah ada hubungan serius antara mas Agus dengan Wulan?” Tanya Lisa sambil menatap mata Agus. Gerakan mata bisa menunjukan seseorang jujur atau berbohong.

“Setahu saya tidak ada hubungan pribadi mbak. Kalaupun sering bersama, itu karena hubungan tugas luar,” dengan nada yang datar Adi memberitahukan.

“Oh begitu, baik terima kasih mas Adi telah berkenan mampir” Lisa mengangguk dan Adi pamit mengundurkan diri.

Lisa minta pendapat Rita, apakah Adi jujur atau menutup-nutupi sesuatu dari dirinya. Rita menjelaskan dari pandangan matanya menunjukkan bahwa Adi adalah orang yang Jujur. Kalau memang ada hubungan serius antara keduanya, dapat dipastikan Adi tidak akan bercerita. Adi temen baiknya Agus. Tidak mungkin Adi merusak persahabatan dengan membocorkan rahasianya kepada istrinya.

“Lis tadi ada satu point yang dapat dijadikan petunjuk, bahwa mereka sering mendapat tugas luar secara bersama-sama.”

“Maksud kamu” Lisa penasaran.

“ Kita pantau gerak gerik dan langkah mereka. Kita ambil fotonya melalu handphone. Foto itu akan menjadi bukti otentik dan tak mungkin suamimu mengelak,” Lisa manggut-manggut menyetujui usul sahabatnya, Rita.

ooo0000ooo

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut Bu Sip...

22 Jan
Balas

Sip

24 Jan



search

New Post