Ermawati

Profil Penulis: Penulis lahir di RS Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, menempuh pendidikan dasar di Cibubur; dan SLTP di Gandaria, Jakarta Timur, d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kebun Rahasia

Kebun Rahasia

“Aku mencintaimu/ lebih dari nyawa ku/

jangan pernah tinggalkan aku/ maknai setiap jengkal kehidupan.”

Lisa selalu menutupi kepedihan hatinya dengan segala macam aktivitas. Lisa tidak mau membahas tentang adanya orang ketiga dalam rumahtangganya lagi, tak mau menggubrisnya. Ia berpendirian, bahwa yang terpenting saat ini adalah mendampingi suaminya menuju kesembuhan total. Mereka juga bersepakat bahwa kejadian di puncak dan tentang perawatan suaminya di Rumah sakit PMI Bogor, tidak perlu diungkapkan kepada siapapun. Biarlah tetangga menganggap, bahwa mereka baru pulang dari menikmati liburan panjang selama tahun baru.

Namun. upaya Lisa untuk memendam luka tidak berjalan mulus. Dalam dirinya selalu berkecamuk antara kebencian dan cinta kasih. Sebagai wanita, mudah hancur hatinya bila disakiti. Tapi sebagai wanita pula, hatinya mudah lebur bila menyaksikan suaminya menerita sakit. Akhirnya, Lisa menekan “ego” ke relung hati paling dalam. Sisi-sisi lembut kemanusiaan dalam dirinya perlahan tumbuh dalam hati. .

“Mas .. kapan mau periksa ke dokter?”

“Terserah mama. Kapan mama ada waktu mengantar papa. Kayaknya papa tak mungkin sendirian pergi ke dokter,” Agus pasrah.

“Besok lusa kali ya. Hari ini mama jam mengajarnya penuh.”

“Thanks mah,” Agus berusaha menentramkan hati.

Lisa pulang agak siang. Ia mengajak suaminya ke rumah sakit, Setelah mendaftar, mereka bersabar menunggu di depan ruang rawat. Ada 7 pasien yang mengantri, dan Agus mendapatkan nomor urut 5. Setiap pasien ada yang mendampingi. Pastilah yang mengantarkan itu adalah orang-orang tercinta. Orang yang tulus. Nampak jelas,sebuah pemandangan yang kontras. Pasien tanpak layu dan kuyu, sedang yang mengantarkan tanpak segar bugar dan berseri-seri.

Suster mempersilahkan Agus masuk ruang periksa dan Lisa membiarkan suaminya sendirian masuk ke ruang periksa dokter. Sengaja Lisa melepas suaminya sendirian, dengan tujuan melatih dan membiasakan dirinya agar kelak mandiri dan mampu berobat sendiri.

“Selamat sore. Apa yang bapak keluhkan?” Tanya dokter .

“Dok, saya pernah dirawat karena pingsan. Kata dokter ada pembengkakan jantung”, sambil menyodorkan hasil foto rontgen. Dokter mempelajarinya dari x-ray single LED/ lampu baca rontgen yang ditempelkan di sisi ruang kerjanya.

“Jantung bapak tidak bermasalah. Ini… baik-baik saja,” kata dokter menunjukan gambar di layar foto rontgen. Kemudian dokter berdiri mendekati Agus dari belakang. Dia memeriksa dada dan lambung dengan alat stekoskop.

“Kalau malam hari saya sering demam tinggi” keluh Agus .

Dokter mendiagnosa kemudian menulis resep. Untuk mengetahui gejala demam pada malam hari, dokter menganjurkan untuk melakukan check up kepada ke ‘cholega’nya dokter spesialis internis. Dia menjelaskan bahwa demam merupakan indikator akan adanya serangan virus atau infeksi dalam tubuh. Maka perlu diperiksa oleh sepesialis penyakit dalam. Dokter tampak mengedipkan matanya kepada perawatnya. Entah apa maksudnya. Agus malas menanyakan lebih lanjut. Bukan wewenangnya..

Pemeriksaan selesai, kini mereka bersabar menunggu antrian obat di apotek. Lisa menggandeng Agus mencari tempat duduk yang agak menjauh, tapi tetap mendengar bila ada panggilan dari asisten apoteker. Mata Agus menerawang jauh. Agus mulai takut dan khawatir akan kondisi kesehatannya. Tadi, dia mengerti kenapa dokter mengerlingkan mata kepada perawat yang membantunya . Agus menangkap isyarat itu dari ujung matanya. Memang pembekakan di jantungnya, tapi dokter menghibur bahwa tidak ada masalah dengan jantungnya. Itulah metode dokter di dalam memberikan sentuhan psikologis kepada pasien, agar pasien tidak stress. Rasa aman dan nyaman, tentunya akan lebih mujarab pengaruhnya dibandingkan dengan konsumsi bermacam-macam obat. Obat mempunyai efek negative.

Memang, tak banyak, dokter yang mampu memanipulasi keresahan pasien. Pasien yang stress dan putus asa, justru akan mengalami penderitaan neurosis, dengan gejala pengasaman lambung yang tinggi. Bisa-bisa penyakit yang diderita semakin parah.

Setelah dua minggu, Lisa mengajak suaminya untuk kontrol kesehatan kembali. Memang dadanya tidak merasakan nyeri lagi, tapi setiap tengah malam, Agus selalu mengalami demam dan berkeringat.

“Bapak pernah ke Irian atau Kalimantan?” tanya dokter

“Iya. Setahun yang lalu, saya pernah di Kalimantan selama 2 bulan”.

“Prediksi saya sementara, bapak kena malaria. Saya kasih resep, kalau tidak ada perubahan kontrol lagi,” sambil mempersilah Agus untuk keluar ruang periksa.

Setelah satu minggu, Agus masih merasakan demam pada malam hari. Agus sampaikan keluhannya kepada dokter. Dokter memberi pengantar agar di USG perut. Maksudnya dilihat gambaran organ sekitar perut menggunakan pantulan bunyi ultrasonik. Ternyata hasilnya bagus, cumanada penumpukan lemak di liver. Kemudian Agus dirujuk ke spesialis paru.

Satu minggu kemudian, Agus diantar Lisa ke Rumah sakit. Setelah mendaftar, mereka menunggu di tempat antrian poli paru. Pasien penderita penyakit paru-paru banyak sekali, ada sekitar 14 orang. Dokter belum datang, semuanya sabar menunggu. Dan, menunggu adalah pekerjaan yang sangat menjemukan.

Untuk membunuh kejenuhan, mereka berdua berbincang bincang tentang apa saja. Temanya bisa saja mengomentari pakaian dokter yang trendy. Bisa juga membicarakan tingkah laku pasien yang aneh. Tema pembicaraan bisa juga berbentuk keprihatinan terhadap rupa-rupa penyakit dan penderitaan orang. Namanya rumah sakit, ya tempat berkumpulnya orang sakit.

“Enak sekali menjadi dokter ya Ma,” Agus memecah kejenuhan.

“Emangnya kenapa pa?”.

“Coba bayangkan, jika dalam sekali praktek dia memeriksa 30 pasien, dan setiap pasien biaya konsultasinya Rp.160.000. Penghasilan dokter kan gede banget. Belum lagi uang jasa periksa pasien yang rawat inap dan komisi dari pabrik obat.”

“Pantesan baju mereka mahal-mahal,” Lisa menimpali.

Tak lama Agus mendapatkan panggilan antrian. Agus diminta berbaring di meja periksa. Dengan stetoskop dokter memeriksa dada kiri dan kanan. Sambil membolak balik dokumen “rekam medis” dokter menyimpulkan. “Berdasarkan gejala yang di keluhkan dan hasil pemeriksaan dahak dan hasil rontgen, saya curiga, bapak mengidap penyakit TBC. Bila benar dugaan saya, maka bapak masuk dalam program penanggulangan nasional, Untuk memastikan, maka bapak harus rontgen lagi dan periksa dahak, sementara saya kasih obat bronchitis dulu,” ucapan dokter bagai memuntahkan peluru dari senjata brand.

“Memang, pengobatan ini dikenal dengan istilah “OAT-KDT dengan PMO” Kepanjangannya adalah Obat Anti Tuberkulosis- Kombinasi Dosis Tetap dengan Pengawasan Minum Obat.”

Dari hasil rontgen dan dahak, pada pemeriksaan berikutnya, Agus divonis positif menderita penyakit Tubercolosis ( TBC). Penyakit ini menular, penyebarannya melalui ludah di bekas minum penderita. Dokter, mengingat agar tidak menular kepada istrinya, maka bekas gelas dan sendok makan harus segera dicuci.

Selanjutnya dokter menjelaskan, bahwa program pengobatan berlangsung seIama 6 bulan. 2 bulan pertama dimaksudkan membunuh bakteri pathogen penyebab penyakit dan 4 bulan berikutnya yntuk melemahkan kemungkinan penulatan penyakit tuberculosis ini ke orang-orang terdekat. Bisa juga diperpanjang sampai 9 bulan atau 1 tahun. Kalau belum ada perkembangan maka akan dilaksanakan tindakan selama 2 tahun.

Agus keluar dari ruangan dokter. Agus bercerita bahwa dia divonis “positif TBC”. Agus menguatkan dirinya, sedang Lisa cemas dan waspada agar tidak ketularan. Lisa menyuruh suaminya agar duduk istirahat di ruang tunggu, sementara Lisa melangkah ke meja apotek menyerahkan resep dan kembali duduk di samping Agus. Setelah 1 jam lamanya menanti, suaminya dipanggil untuk mengambil obat banyak sekali, karena memang untuk jangka kurun waktu 1 bulan.

“Pah kenapa musibah ini bertubi-tubi datangnya,” keluh Lisa mulai gagap menghadapi cobaan demi cobaan.

“Sudahlah mah, terimalah cobaan penyakit ini sebagai ujian, apakah kita mampu melewati dengan sabar atau tidak, siapa yang sabat dialah yang bertakwa kepada tuhannya. Allah swt.” Lisa meremas tangan suaminya, agar tetap tegar penuh “harapan”.

Taqdir. Tidak ada yang tahu taqdir manusia di masa depan. Manusia hanya berencana, memprediksi dan “ngelakoni”, kepastian yang akan terjadi, itu kekuasaan Tuhan. Sejak dalam kandungan, kita tidak minta jenis kelamin, bahkan tidak ada yang tahu apakah jenis kelamin -- pria atau wanita--, dalam Rahim. Kalaupun ada alat USG untuk hanya bantu, sekedar mendeteksi tapi tidak memastikan.

“Iya pah. Tentang jodoh juga tidak ada yang tahu. Kenapa aku menikah dengan papa, itu juga rahasia Tuhan.”

“Ya begitulah takdir menggelayut di setiap ubun-ubun kita, sebagai ciptaan dari yang maha kuasa, istilahnya mah MILIK. si anu jodoh dengan si ani. Si ina jodoh dengan dengan si ono.”

“Apakah perkawinan bertahan sampai akhir hayat atau hanya bertahan 1 bulan atau bertahan 1 tahun, itu adalah rahasia Ilahi. Tapi Allah sangat membenci perceraian, dan tidak melarang perceraian. Rumah tangga ini merupakan tempat pengujian diri, agar senantiasa berikhtiar untuk mempertahankan perkawinan.” Agus menambahkan pandangannya tentang takdir.

Namun, ketika akan membahas tentang takdir kematian, Agus menghela nafas panjang dan berhenti berbicara. Wajahnya memandang jauh ke depan. Dibelainya pundak Lisa dengan mesra.

“Mah tidak ada yang tahu kapan kematian itu tiba. Dengan cara apa kematian itu terjadi. Apakah dengan cara sakit, tabrakan, musibah longsor dan lain sebagainya. Semua adalah taqdir Ilahi.”

Agus menunduk, memandangi tanah di hadapannya. Sebatang pohon manga berdiri kokoh. “Dari tanah kembali ke tanah. Tidak ada manusia yang tahu, dimana akan mati, apakah di rumah, di rumah sakit, atau tergolek diemperan toko bahkan ajal menjemput dijalan raya. Tak ada yang tahu tentang kematian . Hanya Allah yang maha kuasa, kapan dan dimana kematian akan terjadi. Taqdir adalah kenyataan dalam kekuasaan Ilahi. Manusia hanya berusaha agar tidak bertentangan dengan alam, yaitu taqdir-taqdir yang tertulis kitabNya maupun taqdir yang tertulis di dalam ciptaanNya,” sambil mendongakkan kepala Agus memandang langit. Cakrawala biru non jauh di atas sana. Awan tipis melayang-layang menuju angkasa.

Agus sangat faham dan mengerti akan makna kematian. Agus juga sangat faham akan arti taqdir, sesuai pemahamannya yang tidak terlalu dalam. Kalaupun dia berobat ke rumah sakit, itu adalah sebuah upaya atau ikhtiar menuju kesembuhan. Kalaupun dia berdo’a agar mendapat kesembuhan, itu hanyalah sebuah harapan memohon ridhaNya. Jika Allah berkehendak lain, tidak ada kesembuhan bagi dirinya, diapun pasrah, pasrah kepada taqdirNya.

Seringkali pikiran itu menyelusup dan berkecamuk dalam jiwanya. Lisa lelap di sisinya. Dari yang dirasakan, sepertinya sulit untuk menuju kesembuhan. Tapi bila menyerah dan putus asa, berarti imannya telah menipis.

Setiap pagi Agus harus berjuang melawan rasa bosan meminum obat. Setiap pagi Agus harus menelan 5 kapsul obat merah, segede jempol. Obat itu harus diminum 2 jam sebelum makan, agar memiliki daya manfaat yang maksimal. Kuman TBC tahan terhadap asam. Namun, efek sampingnya, lambung perih, maag kambuh. Nafsu makan tidak ada. Begitulah setiap hari, Agus minum obat, nafsu makannya hilang. Oleh karenanya, dibutuhkan keberanian dan dorongan semangat untuk minum obat. Efeknya sangat tidak enak, jantung berdebar, dada panas, perutpun panas.

Tambah hari, tubuh Agus semakin lemah. Nafsu makan yang hilang, menyebabkan rendahnya asupan nutrisi dalam tubuh. Lisa menyiasati pola makan suaminya dengan menyediakan telur rebus setengah matang, atau telur rebus 4 butir dan 4 kaleng susu beruang.

“Papa tidak sanggup meneruskan minum obat ma,” Agus mengeluh. Berat badannya, turun drastis. Otot-ototnya hilang diserang kuman. Perutnya dipenuhi kuman, darahnya dialiri kuman, termasuk tulangnyapun di hinggapi kuman.

“Coba dulu seminggu lagi,” Lisa memberi motivasi. “Papa harus kuat. Papa harus punya semangat. Papa tidak boleh menyerah,” Lisa meyakinkan suaminya dan menghibur hatinya, karena takut kehilangan.

Agus putus asa. Pada tengah malam, demam menyerang. Keringat dingin mengucur dari badannya. Agus bermimpi didatangi almarhum ayahandanya. Termasuk almarhum dari beberapa saudaranya yang telah wafat, pernah hadir juga dalam mimpi-mimpinya.. Mimpi Agus tentang mendiang ayahnya memukul jiwanya.

Mimpinya sangat jelas. Ayahnya mengajak Agus kecil ke tepi danau. Danau luas sekali. Ada burung elang besar terbang di atas danau, dari dua kepak sayapnya yang panjang, permukaan danau disapu dan airnya saat seketika. Agus terbangun dan menggigil, sambil mencari jawaban apakah takwil mimpi itu. Dalam hati berkata “ waktunya telah tiba. Ya Allah Gusti….hamba siap dipanggil olehMu.”

Agus mempersiapkan diri dengan terlentang sempurna, kaki diluruskan, bersendekap. Dia siap dijemput malaikat maut. Dipejamkan matanya. Lama, lama sekali dan hilang.

Lisa larut dalam tidurnya. Terlelap, setelah seharian bekerja. Pagi-pagi sekali -sebelum berangkat kerja-- ia harus menyiapkan sarapan pagi. Sepulang kerja --biasanya sebelum adzan asar-- dia harus beres2 dan menyiapkan makan malam untuk suaminya. Sementara, untuk bersih-bersih, seperti ngepel lantai, nyuci pakaian dan setrika, Lisa dibantu oleh mbok Ina yang datang setiap pagi dan pulang jam 09.00.

Pintu depan diketok2 mbok Irah. Lisa terbangun bangkit ke depan membukakan pintu. “Silakah Bu, aku kesiangan,” Lisa buru-buru menuju kamar mandi untuk ambil air wudhuk dan Solat subuh. Selesai solat, suaminya dibangunkan.

“Mah semalam aku mimpi ketemu almarhum Ayah, Ada apa ya?”

“Sudah sana wudhu. Buruan subuh.” Lisa kembali ke dapur, merebus air untuk membuat teh dan susu.

“Bu Ina, tolong buatkan teh dan susu buat bapak ya. Aku mau mandi dulu dan siap-siap ke sekolah.”

“Ya Bu,” Mbok Irah beranjak ke dapur, meninggalkan menyapu sesaat.

“Papa tidak boleh terpengaruh oleh mimpi. Mimpi itu kembangnya tidur,” sambil berjalan menuju kamar tidur Lisa berdalih. Agus diam dan bangkit dari sajadah menghentikan dzikirnya.

Lisa sangat terbantu oleh mbok Irah. Dalam keadaan seperti ini, keberadaan mbok Irah sangat penting. Dia bukan hanya sebagai pelengkap, karena predikatnya sebagai “pembantu”. Mbok Irah adalah pahlawan bagi Lisa dan Agus. Gajinya tidak terlalu besar, tapi pekerjaannya berat. Mbok Irah mengerjakan apa saja, yang sekiranya tidak mampu dikerjakan oleh Lisa maupun Agus. Bagi Lisa pola hubungan antara dirinya dan pembantunya bukan dalam pola hubungan “babu” dan “majikan” yang cenderung menindas. Mbok Irah adalah mitra setara di dalam rumah tangga mereka. Jangan pandang mbok Irah dengan merendahkan karena ia bodoh dan tidak berpendidikan. Yang membedakan adalah fungsi dan peran di dalam pekerjaan. Orang seperti mbok Irah tidak boleh dianggap rendah, karena posisinya sebagai pembantu. Belum tentu orang yang berdasi atau pejabat lebih mulya dari mbok Irah. Kemulyaan seseorang bukan ditentukan oleh jabatan atau kekayaan, akan tetapi ditentukan oleh akhlaknya. Mbok Irah selalu menyampaikan bila ada uang yang terselip dalam saku celana yang tercuci dan disetrika, Irah adalah naman panggilan, nama aslinya adalah Munirah, dialah wanita yang pasrah dan hidupnya sederhana.

Memang tidak semua orang kecil seperti mbok Irah. Banyak juga yang tidak tahan dengan godaan. Maka dari itu, sabda nabi mengatakan bahwa kefakiran bisa menjerumuskan diri kepada kepada kekafiran. Mereka berani mencuri karena mereka lapar.. Mereka berniat merampok karena lapar.. Jika ada yang melawan, tidak segan-segan mereka membunuhnya. Ganjaran mereka penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Demikian juga, orang jahat bisa juga dilakukan oleh orang berdasi atau pejabat dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Dengan ujung builpennya, mereka mencuri, dari ujung bolpennya mereka bisa membunuh, yang korbannya bisa ribuan orang dan mencuri milyaran rupiah. Tidak mudah, memang untuk dibuktikan. Yang bisa membuktikan nanti, di hari pembalasan, dimana tangan yang bicara dan kaki yang bersaksi. Sedangkan mulut2 mereka terkunci rapat-rapat.

Hari minggu, hari libur dan Lisa bisa seharian penuh melayani suaminya. Seperti biasanya setiap pagi Lisa langsung mandi lalu bergegas melaksanakan solat subuh. Sebelum solat, sepintas dilirik suaminya yang masih tidur nyenyak. “Syukurlah dia belum bangun,” gumamnya. Setelah solat, Lisa langsung menyiapkan teh manis dan telor rebus. Tadinya sempat terpikir untuk membangunkan suaminya agar melaksanakan solat, namun entah kenapa dia kok langsung ke dapur. Setelah semuanya matang, lalu disiapkan di atas meja makan. Lisa masuk ke kamar tidur membangunkan suaminya.

“Pa.. bangun, sudah pagi pah, Ayo salat! “

Agus tetap lelap. Biasanya mendengar kerucuk air dari kran kamar mandi saja dia sudah terbangun. Kadang-kadang, bahkan seringakali dia yang membangunkan istrinya. Dalam hati Lisa bergumam: “tidak seperti biasanya, tumben?”

“Pah, Ayo bangun! sudah siang,” penuh curiga Lisa mendekat dan duduk disisinya. Sambil menepuk pundaknya lisa membangunkan suaminya.

“Astagfirullah…” Agus beristigfar. Suasana hening seketika. Lisa tersenyum.

“Ya Allah. papa terlambat bangun, kesiangan,” Agus bangkit dari tempat tidur bersegera ke kamar mandi dan langsung ambil air wudhu. Usai solat, Agus menuju meja makan dan meraih segelas teh manis hangat.

“Et et et… ,tunggu tidak boleh makan apa-apa sebelum minum obat.”

Agus mengurungkan niatnya untuk menyeruput seteguk teh manis panas. Lisa menyiapkan 5 butir OAT dan segelas air putih. Kembali perut Agus mual melihat tumpukan obat.

“Ini…, minum obatnya,” Lisa menyiapkan obat. Satu persatu Agus menelan obat TBC. Traumatis menelan obat itu. Setelah 2 jam Agus diperbolehkan makan dan minum. Biasanya, seharian Agus tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali kepalanya pusing, ulu hatinya perih dan selalu merasa haus. Karena banyak minum, akhirnya sering membuang air kecil. Warnanya merah.

Setelah satu setengah atau dua jam, Agus diperkenankan minum teh manis dan makan 1 butir telor rebus. 1 jam kemudian Agus menyantap bubur ayam atau nasi uduk dengan lauk semur tahu dan telor.

“Papa …’entar’ siang mau dipesenin makanan apa? Rendang apa tunjang?” Tanya Lisa sambil siap-siap berdandan sebelum berangkat kerja.

“Terserah mama,” Agus pasrah memandangi istrinya, lalu bangkit dari kursi makan mendekati istrinya yang sedang berdandan, seraya berbisik. Dalam hatinya hanya bumbu rendang yang membangkitkan selera makannya. Tapi lama kelamaan Agus merasa bosan juga.

“Mama cantik sekali pagi ini,” puji Agus. Lisa merasa tersanjung. Hidungnya memerah, pura-pura tidak mendengar, tapi hatinya senang dan bahagia. Suaminya sangat mengerti bahwa pujian adalah senjata yang sangat ampuh untuk melunakkan hati wanita. Tapi tidak semua pria mampu melancarkan pujian kepada wanita, apalagi wanita yang sudah menjadi istrinya.

“Pa, mama akan berangkat agak pagi, Ada tugas mendesak yang belum diselesaikan,” Lisa menutupi kebahagiaan karena dipuji sambil beranjak ke meja makan. Agus berusaha berjalan mengiringi istrinya tapi ‘telat’. Agus sudah duduk disebelahnya.

“Tugas sekolah ya mah.”

“Iya, begitulah kerjaan seorang guru. Selain mengajar, mama membantu anak-anak mempersiapkan bahan praktek di laboratorium sekolah.

“Assalamuaikum,” Lisa pamit sambil sallim mencium tangan suaminya.

“Waalaikumussalam,” Desir angin menghujan kalbunya. “aku memang keterlaluan.” desisnya dari dalam dada.

ooo000ooo

Setiap pagi, Lisa mendapatkan dirinya dalam kesibukan yang besar. Menyiapkan makanan, minuman dan obat bagi suaminya telah menjadi aktifitas rutin. Setelah itu, Ia buru-buru mandi dan berdandan. Lisa tak lagi bersolek seperti dulu. Nalurinya sirna, karena selalu dirundung derita. Saat ini, hanya tekad dan kesiapan untuk senantiasa melayani suaminya sebagai “bakti” dari seorang istri kepada suaminya.

Tapi entah kenapa, sekarang Lisa tak mampu menciptakan jiwanya melebur dalam kebersamaan. Yang ada hanyalah sebuah kewajiban agar terbebas dari tanggungjawab. Suaminya, tidak berdaya dan sangat membutuhkan orang lain. Keberadaan orang yang sangat disayangi adalah sebuah keniscayaan. Hanyalah pasangan yang sejati yang rela berkorban untuk saling berbagi.

Hari-hari sepi dihadapi Agus setiap hari. Ia memaklumi istrinya bekerja dan tidak mungkin mendampingi dirinya secara terus menerus. Karena penyakit dan reaksi obat, kadang-kadang Agus tidak ingat apakah dia sudah minum obat atau belum. Selera makannya sirna. Obat yang diminum dirasakan membakar lambungnya. Obat itu juga membakar dadanya. Dalam hatinya Agus berbisik “Ya Allah ampunilah dosa hamba”

Lisa baru pulang kerja dan masuk rumah mendapati suaminya tergolek lemas di sisi tempat tidur. Darah keluar dari sela-sela bibirnya.

“Astagfirullah,” Lisa membawa suaminya ke rumah sakit, tapi sebelum sampai, nyawanya tak tertolong lagi. Agus menghembuskan nafas terakhir dipangkuan istrinya. Agus pergi untuk selama-lamanya.

Setelah diotopsi, mayat Agus di bawa pulang. Sepanjang jalan, suara sirine Mobil ambulan, meraung-raung dan hati Lisa menjerit menyayat sepanjang jalan. Di hadapan Lisa telah terbaring beku, kekasihnya, suaminya yang sangat dicintai. Putus asa dan sia-sia. Sejenak Lisa menggugat keadilan Ilahi. Kenapa suaminya direnggut secepat ini.

“Tuhan Kenapa Kau ambil nyawa suamiku. Suamiku cukup tersiksa. Ia cukup menderita. Kenapa tidak Kau beri kesembuhan kepada suamiku,” isak tangis Lisa.

Rita ada disampingnya “Barangkali ini yang terbaik bagi suamimu Lis. Sabar dan kuatkan hatimu,” Rita memapah sahabatnya yang dirundung duka.

“Iya, harusnya aku ijin cuti mengajar,” Lisa bersedih, Sedih Lisa karena merasa bersalah, karena tidak bisa merawat suaminya setiap saat.

“Sekiranya aku senantiasa mendampingi Mas Agus, mungkin maut ini tidak terjadi,” Lisa meraung.

“Ayo Lisa, Kalau sayang suamimu, jangan mengisak-isak seperti itu. Ikhlaskan dia pergi, dan memang begitulah takdirnya,” Rita meyakinkan.

“Iya Rit. Tadi pagi, tidak seperti biasanya, Itu firasat. Mas Agus mengantar sampai ke depan pintu dan melambaikan tangan, ternyata lambaian terakhir.”

“Semua telah ada dalam catatanNya. Semua harus kembali kepadaNya,” Rita membujuk dan air matanya juga menetes.

Lisa merasa bersalah karena tidak sepenuh hati merawat suaminya, karena memang harus bekerja. Kalau tidak bekerja, Lisa tidak bisa membantu meringankan beban rumah tangganya. Rasa bersalahnya semakin dalam, karena dia menuduh suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Kini dia beku dihadapannya. Sesosok mayat, pernah dikasihi.

Di rumahnya, tetangga dan handai toloan yang datang takziyah. Langit serasa runtuh, Tak tahu harus bagaimana. Lisa minta bantuan Rita agar mengabari ibu dan adiknya di Jogja. Lisa juga minta bantuan Mas Adi mengabari keluarga mas Agus di Bekasi.

Dipandangi keranda di tengah-tengah rumah. Ketua RT mengabari Lisa sambil berbisik, bahwa kuburan telah di gali dan bertanya kapan jenazah akan dimakamkan.

“Ya, kita harus menunggu ayah dan Ibu mas Agus dari Bekasi.” Matanya sembab. Muka merah, Tubuhnya panas.

Setelah dimandikan, Lisa merintih “Oh Tuhan, akhirnya dalam selembar kain kafan, kamu dibungkus Mas. Dari tanah kembali ke tanah.”

Ibu mertuanya tiba didampingi adik iparnya, Lisa langsung bersimpuh. “Maafkan saya Bu. Maafkan Lisa bu. Lisa tidak mampu menjaga mas Agus. Lisa tidak bisa menjaga Mas Agus, hingga nyawanya direnggut penyakit.”

Dua wanita itu berpelukan, dengan air mata membasahi ke dua bahunya. Rita melerai keduanya dan menyabarkan mereka berdua bahwa ini “taqdir”. Mereka melangkah dan membuka ujung kain kafan. Sang Ibu mencium wajah anaknya yang pucat pasi. Tak terasa dari sudut matanya, mengalir air mata, kesedihan menghantam dadanya. “kamu kebanggaan kami, kini terbujur kaku dan segera menysul ayahandamu. Begitu cepat nak… ,kamu pergi”. Desahnya.

Mayat yang dingin dipindahkan ke keranda dipanggul ramai-ramai menuju ke masjid. Kalimat “la illahaillallah “ bergema sepanjang jalan menuju masjid. Setelah disolatkan, mas Adi mewakili keluarga, memberikan sambutan dan meminta bila ada sangkut paut agar segera menghubunginya.

Tak lama, sirine ambulan meraung-raung menyusuri jalanan menuju pemakaman. Lisa tak mau berpisah. Dia masuk kedalam mobil ambulan. Dihadapannya berbaring mayat suaminya. “Ini kali terakhir kita bersama,” desahnya.

Mayat diturunkan ke dalam kuburan. Lisa semakin merasa kehilangan. Dia kini seorang diri, Tak kuasa roboh dan lunglai. Selesai dikuburkan semua orang pulang, kecuali dirinya dan kerabat. Ada yang menyirami gundukan tanah, yang dibawahnya ada mayat suaminya. Ada yang menaburkan kembang tujuh warna.

Seketika Lisa terkejut. Seorang bocah kecil menanam pohon kembang di ujung kaki suaminya. Disampingnya berdiri seorang ibu cantik dalam balutan baju hitam. Sambil, menutup mulutnya, ibu itu mengusap air matanya yang mengalir deras. Lisa asing dengan orang ini.

Lisa menyelidik. Wanita itu mendekati dirinya dan berucap. “Kami turut berduka atas berpulangnya suami mbak,” sambil menyodorkan kedua belah tangannya. Lisa menyambut dengan gugup.

“Oh ya saya sangsi. Saya baru melihat, mbak ini siapa ya?”

“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya kenal dengan mas Agus. Permisi mbak, saya harus segera pulang.”

Dan wanita itu pamit undur diri. Sambil menuntun anak lelakinya, gadis muda itu beringsut balik badan membelakangi dirinya dan menuju mobil dan melaju menuju jalanan.

Sejuta tanya menggumpal dalam hati Lisa, Mobil warna merah itu telah meghilang dari pandangannya, Deru mesinnyapun tak lagi kedengaran. Tapi dalam ingatannya masih jelas wajah wanita itu. Selama dalam perjalan pulang Lisa dihantui oleh sosok wanita misterius itu.

Dan sepintas dia sangat kenal dengan wajah dan sinar mata anak kecil itu. Seorang anak kecil. Matanya tajam seperti mata kekasihnya yang selalu dilihat dan dikagumi selama ini.Mata Agus. Air matanya terhenti seketika. Air matanya tertahan dan tak bisa keluar lagi. Kesedihannya berubah menjadi kepedihan. Kepedihan itu menusuk jantung hatinya. Perasaan kehilangan beradu dengan rasa penasaran.

Di rumah, Ibu dan adiknya baru tiba di Yogya. Disambut kedatagna Lisa dari makam, lalu berpelukan sangat erat dengan derai air mata. Tak lama mereka bercengkrama ibu mertuanya. Seorang adik perempuan mas Agus mendekati Lisa menyodorkan segelas air. Diteguknya air itu, dadanya bergoncang, Lisa hanya mengangguk pada setiap pembicaraan antara ibunya dengan mertuanya. “Siapakah wanita itu?”.

Daun Mangga bergoyang-goyang di pucuknya. Dihempas angin, dan lepas mengapung di udara diombang ambingkan angin. Lalu hinggap ditanah yang kering. Seorang pejalan kaki menginjaknya.

Tak ingin larut dalam kepedihan, Lisa minta bantuan tentangga bahwa nanti malam diadakan kegiatan mengaji dan tahlilan di rumahnya. Setelah ayah dan ibu mertuanya pamit pulang, Lisa tumbang. Lisa merebahkan tubuhnya kepada adiknya. Ibunya membelai rambutnya. “Sing sabar, semua kehendak gusti Allah,” Lisa setuju, tapi siapakah anak itu, Siapakah wanita itu. Masih menyisakan tanya.

Satu minggu sudah, Ibu dan Adiknya mendampingi Lisa. Berangsur-angsur kesedihan tak terasa. Kepergian suaminya bisa jadi sebagai sebuah kehilangan yang mendalam. Kepergian suaminya, bisa juga menjadi akhir dari perjalanan dua sejoli yang diguncang oleh derita dan musibah.

Tiga wanita menuju stasiun kereta api. Kereta api melaju ke Jogja. Terpikir oleh Lisa untuk meninggalkan Jakarta dan memulai hidup yang baru di Jogjakarta.

Tut tut tut tut tut kereta melaju dengan kencang. Meninggalkan hati yang tertinggal dalam kebun. Sebuah kebun rahasia tempat menanamkan bibit Agus. Bibit yang akan memelihara kenangannya dan menandai simbol genetiknya.

Selesai

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ilalang Yang Terluka

20 May
Balas

Keren ceritanya Bun.

04 May
Balas



search

New Post