Memendam Lara
“Saat aku beringsut dari sisimu…
Kunanti kau di ujung keabadian.”
Menikah menghalalkan seorang suami terhadap istrinya untuk melakukan segala sesuatu yang semula diharamkan. Bagi seorang wanita, pernikahan adalah kepastian memperoleh jodoh dan terhindar dari tuduhan sebagai perawan tua. Bagi pria, inilah akhir pubertas dan memasuki masa tanggung jawab. Bagi kedua mempelai, pernikahan bisa menjadi puncak kebahagiaan untuk saling berbagi cinta sejati. Maka kegombalan dan kebohongan dalam bercinta, stop sampai di sini. Kepura-puraan harus segera diakhiri dan selanjutnya adalah membangun mahligai cinta dalam sebuah rumah tangga. Bercinta bagi dua sejoli yang sedang berpacaran selalu indah, mengasyikkan walaupun dalam dekapan fatamorgana. Ya, seolah dunia hanya milik berdua. Tapi setelah akad nikah, hubungan percintaan bisa berbuah manis bahagia atau berujung duka.
Cita cinta dalam pernikahan yang dialami Lisa jauh dari harapan. Empat tahun dari usia pernikahannya dengan Agus, ternyata banyak mendatangkan kepedihan dan kekecewaan. Setiap hari Lisa merasa kekecewaan terhadap suaminya semakin menumpuk. Lama kelamaan rasa cintanya pupus. Kepedihan semakin dalam dan meradang. Sikap suaminya: Agus Dwisasmita, nampak mulai bertingkah. Tiba-tiba dia marah tanpa sebab. Tidak fokus, pertanyaan dan jawaban sering tidak pas. Sering pulang telat, dengan alasan yang mengada-ada. Kalau sedang di rumah, ia tiba-tiba menghilang dengan alasan sedang mencari rokok di warung.
Sebagai wanita, Lisa dapat merasakan getaran perubahan sikap suaminya. Tapi sulit bagi Lisa untuk membuktikan bahwa ada praduga adanya penghianatan. Kabar angin berkembang di mulut tetangga, bahwa Agus mempunyai wanita lain selain dirinya. Karuan saja, berita “perselingkuhan” seperti itu cepat menyebar ke seluruh ibu-ibu di komplek perumahan. Bak membakar jerami di musim kemarau.
Lisa terpancing oleh desas desus itu. Amarahnya terbakar. Pertanyaan tetangga tentang suaminya, seringkali ditanggapi dengan syak wasangka yang menimbulkan salah paham. Lisa sering merasa terpukul dan terdesak.
“Mbak, bapak ada di rumah?” tanya mbak Tika, pada suatu hari.
“ Ya…, ada, bapak lagi istirahat,” jawab Lisa.
“Berarti, kemaren pulangnya agak sore ya bu?” usik Tika kembali dengan nada usil.
Lisa hanya tersenyum kecut sambil menganggukkan kepala. Kalau mungkin, Lisa selalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Misalnya, bertanya tentang harga cabe yang terus menanjak naik. Atau ia memberitakan bahwa harga telur dan daging ayam naik. Walaupun kurang nyambung, jawaban Lisa sangat mujarab untuk menghindari pertanyaan menyelidik dari tetangga.
Akhirnya Lisa menutup diri dari lingkungan masyarakat. Cara seperti ini, menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan iseng dari para tetangga. Lisa selalu menutup pintu pagar depan. Setiap keluar masuk rumah, pintu depan selalu ditutup rapat-rapat. Pada malam hari, lampu ruang depan selalu dimatikan, atau digunakan bohlam yang kecil wattnya.
Mendung menyelimuti langit. Sesekali gerimis datang menyapu bumi. Entah kenapa, jiwa Lisa galau, hatinya gelisah dihantui perasan kecewa oleh sikap suaminya dan berita-berita tidak sedap itu. Sekiranya berita perselingkuhan itu, benar dan nyata, Lisa tidak tahu akan berbuat apa. Amarahnya bangkit bak kuda yang lepas dari tali kekang. Kesetiaan yang telah dia berikan selama ini, ternyata dibalas dengan penghianatan. Sepenuh hati ia persembahkan cinta, tapi kekecewaan yang ia dapati. Lisa tersadar, bahwa semua ini baru dugaan, baru omongan orang. Jadi tidak ada bukti kuat.
Tidak seperti biasanya, sore itu, Agus pulang kerja diantarkan Adi, teman satu kantornya. Katanya Agus sakit. Lisa kaget bukan kepayang.
“Iya mbak. Tadi Mas Agus muntah-muntah di kantor. Makanya saya mengantarnya pulang, mobilnya masih ditinggal di kantor,” ujar Adi menjelaskan.
“Astagfirullah…, Kenapa pah?” Lisa menyambut suaminya sambil memapah lengannya.
“Selama perjalanan, mas Agus hanya meringkuk di Jok belakang. Pusing katanya mbak.”
Lisa segera menggandeng suaminya ke dalam kamar dan merebahkan ke tempat tidur. Setelah diselimuti, Lisa berusaha bertanya dengan mendekatkan bibirnya ke telinga Agus dan berbisik,
“Papa kenapa?”
Agus diam saja. Bibirnya membiru dan wajahnya pucat. Keringat dingin mengucur. Lisa khawatir, jangan-jangan kena penyakit “angin duduk”.
“Apakah dari tadi siang papa, tidak makan?” Tanya Lisa gundah.
Agus hanya mendehem, “he-eh,” ujarnya sambil menganggukan kepala dengan malas.
Adi hanya berdiri di dekat pintu, mematung tidak tahu apa yang harus diperbuat. Adi merasa risi dan kurang sopan berada di kamar tidur. Ruang kamar tidur adalah wilayah pribadi, hanya suami istri yang boleh tahu, orang lain tidak. Karena itu Adi bergegas pamit.
“Mbak Lisa, aku pamit pulang dulu ya,” sembari merapatkan kedua tangkup telapak tangan di dadanya. Lisa grogi. Karena panik, ia tidak mempersilahkan mas Adi untuk duduk sebentar, sekedar minum kopi.
“Terimakasih Mas, telah berkenan mengantar Mas Agus pulang.” Lisa berdiri dari sisi kasur, membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Adi merasa tersanjung, kemudian mebalikkan badan keluar rumah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Lisa kembali ke sisi tempat tidur, pembaringan suaminya. Bingung akan melakukan tindakan apa, sebagai bentuk pertolongan pertama.
“Oh iya…,” teringat sesuatu Lisa beranjak ke kotak obat untuk mencari obat penurun asam lambung. “Coba minum obat maag dulu, kalau bisa tabletnya dikunyah ya pah,” tutur Lisa setengah memberi nada perintah.
Agus menuruti kata istrinya, namun ulu hatinya nyeri, dadanya seolah tertekan hantaman berat benda keras dan mules diperutnya bagaikan dililit ular phyton raksasa. Tak berujung.
“Aduh, Mah…, Sakit sekali perut papa,”
Bergegas Lisa membuatkan larutan teh manis panas di dapur. Terburu-buru menghampiri pembaringan dimana Agus berada.
“Minum dulu pah,”
Agus bangun dari tempat tidur. Sambil menyandarkan badan ke sisi belakang tempat tidur, ia meneguk minuman teh manis hangat. Menyeruputnya dengan sangat nikmat. Lelaki yang ringkih itu merasakan aliran kehangatan dan kesegaran mengalami peristaltik di kerongkongan lalu bermuara ke lambungnya. Sensasi yang menyenangkan. Seketika otot-otot perut yang kram seolah mengendor. Agus rebahan lagi dan berusaha istirahat dengan mencoba memejamkan mata.
Tiba-tiba seperti ada yang mengusik lambungnya, mengiris-iris. Agus bangkit dan muntah-muntah lagi. Semua isi perutnya --- termasuk air teh manis dan obat maag --- tumpah ruah, menyebar di lantai. Bau asam menyeruak ke seluruh ruangan dan membuat Lisa mual ingin muntah juga. Asam klorida terlalu banyak biasanya dipicu oleh stress, Agus mengalami kuptasi asam lambung ke organ lain tubuhnya. Selain muntah, pastinya ia juga merasa pusing, nyeri usus dan mengalami pembengkakan jantung. Belum lagi jika asam tak diundang itu tersedak ke paru-paru. “Waduh, ini keadaan darurat.”
“Ya Allah,” Lisa berseru dan berusaha tidak panik. Ia mengambil kain “lap pel” untuk membersihkan lantai dan mengganti baju suaminya yang basah oleh keringat dan muntahan. Tampak otot-otot tubuhnya yang atletis mengkilap di basahi keringat. Lisa sempat terpesona, namun cepat berganti terharu seketika. Pria gagah ini terkulai lemah.
Sprey dan sarung bantalpun diganti. Lisa berpikir keras untuk mengambil keputusan. Suaminya perlu mendapatkan nutrisi, perlu di infus. Mendapat asupan gizi melalui cairan steril yang dimasukan langsung kedalam darah. Maka Lisa berniat membawa Agus ke rumah sakit. Agus menolak.
“Papa nggak mau ke dokter, papa hanya perlu istirahat,” kilahnya sambil berusaha tengkurap.
Lisa merayu suaminya seraya meyakinkan, “papa sudah tidak kemasukan makanan lewat saluran pencernaan, karena muntah-muntah terus. Ayolah pah, sekali ini saja papa menuruti keinginan mama.” Suaminya dilarikan ke Rumah Sakit. Agus mendapatkan penatalaksanaan tindakan pertama oleh dokter jaga di Unit Gawat Darurat (UGD) melalui pemberian cairan infus.
Lisa merasa lapar. Dilihatnya suaminya Agus nampak sedang berusaha tidur dengan memejamkan matanya. Diam-diam Lisa beranjak pergi keluar rumah sakit. Di seberang jalan ada rumah makan, Ia masuk untuk memesan makanan.
“Uda, makan, pake rendang dan minumnya es teh manis.”
Sementara menunggu hidangan tiba, Lisa menyeruput es teh manis yang telah disajikan. Kerongkongannya lumer oleh manisnya gula dan dinginnya es. Segar menyebar ke seluruh tubuh. Rasa senang dan bahagia, menggelayutkan dalam jiwanya.
Pikiran Lisa berkecamuk, membayangkan biaya rumah sakit, sementara dia tidak pegang uang sama sekali. Daging rendang dan sambal cabe ijo tak mampu menggugah selera makan. Tapi, rasa lapar menghardik dari dalam perutnya.
Lisa paksakan dirinya untuk makan, suap demi suap nasi dijejalkan ke dalam mulutnya. Kalau perutnya tidak diisi, bisa-bisa diapun tumbang di rumah sakit. Ada satu keyakinan, bahwa aktifitas mengunyah makanan seperti mengunyah masalah. Menelan makanan ibarat menelan masalah, masuk ke dalam perut, yang baik diserap oleh usus halus dan yang buruk diagendakan dibuang oleh usus besar menuju anus.
Dokter memanggil Lisa. Ia menjelaskan diagnosanya. Bahwa, berdasarkan hasil laboratorium, suaminya positif terkena demam berdarah (DB) dan harus dirawat inap.
“Silahkan ibu memesan kamar di ‘front’,” perintah dokter.
Lisa sangat kaget mendengar berita buruk itu. Dia memaksakan kakinya melangkah menuju resepsionis. Setelah memasukan data pasien, resepsionis meminta sejumlah uang deposit.
“Maaf…suster, saya tidak bawa uang.”
“Ini prosedur bu. Kalau suami ibu mau dirawat inap, maka harus ada dana deposit,” suster itu menjelaskan.
“ Saya mohon, kiranya suami saya dibiarkan masuk ruang rawat inap terlebih dahulu. Besok akan saya selesaikan pembayarannya.”
“Tidak bisa bu”.
Lisa memaklumi sikap suster. Dia hanya melaksanakan perintah managemen.
Menurut Lisa, aturan rumah sakit sangat tidak adil. Dia merasa diremehkan. Dia merasa diabaikan. Kalau tidak ada uang berarti suaminya tidak dirawat, dibiarkan teronggok di sudut ruang UGD. Penyakit yang diderita suaminya perlu penanganan yang segera, karena bila terlambat bisa menyebabkan kematian. “Ini suatu kejahatan,” gumamnya.
“Harusnya pasien didahulukan demi keselamatan. Demi rasa kemanusiaan,” kilah Lisa kepada suster.
“Saya hanya melaksanakan peraturan rumah sakit, Bu.”
Lisa kehabisan kata-kata yang dapat memaksa suster. Lisa kembali ke ruang UGD. Dipandangi wajah suaminya yang lelap karena pengaruh obat.
Batinnya berteriak. Ini bukan rumah sakit tapi warung orang sakit. Pantas saja, banyak pemilik modal mendirikan rumah sakit. Bukan karena mereka bijak dan dermawan, tapi di situ ada peluang bisnis yang menawan. Pasien yang sekarat akan memenuhi seluruh angka-angka tagihan yang disodorkan kepada keluarga pasien. Tagihan meliputi pembayaran uang sewa kamar, jasa dokter dan penebusan obat. Pasien tidak bisa menolak tagihan. Pasien tidak punya posisi tawar. Kepalanya berputar tujuh keliling, kemanakah dia harus mencari pinjaman uang.
Lisa menenangkan diri dengan menepi kea rah dinding, mencari tempat duduk. Rebah tak punya tenaga, seolah berat tubuhnya tiba-tiba menjadi 1 ton. Terpikir untuk menghubungi adiknya di Yogja.
“Hallo, dik, tolong mbak…, apakah adik ada uang simpanan. Kalau bisa mbak dikirimi uang 10 juta. Mas Agus dirawat di Rumah Sakit, kena DBD.”
“Innalillah. Iya ada…, ada mbak…, akan segera Nunik kirim ke rekening mbak,” jawab adiknya dari Jogja.
“Tapi, Dik diam-diam aja ya. Rahasia ini dijaga, jangan sampai suamimu tahu, apalagi Ibu. Aku malu sekali Dik.”
“Iya Mbak, Cuma Nunik harus kasih tahu Mas Andri, Tak elok bila tidak pamit ke suami.”
“Ya, terserah kamu saja. Tolong “banget”, jangan sampai kedengaran ibu. Trims ya.”
Lisa tidak mau Ibunya tahu, bahwa secara ekonomi belum berkecukupan. Gaji mereka berdua sangat pas pasan. Tidak berlebih, karena masih dituntut cicilan rumah, cicilan mobil dan motor. Hampir dikatakan lebih besar pasak dari pada tiang. Oleh karenanya, disamping mengajar Lisa masih berburu mengajar les privat.
Kalau sampai Ibunya tahu bahwa Lisa meminjam uang kepada adiknya, dia pasti marah besar dan mencak-mencak membalikkan kata, kenapa dia dulu tidak mentaati perintah ibunya.
Ibunya dahulu memang tidak terlalu merestui perkawinannya. Agus kurang memiliki kesopanan untuk bersikap “unggah ungguh” kepada Ibu mertuanya. “Adat istiadat Jawa itu pedoman. Kebudayaan untuk mau berbudi luhur harus dipegang teguh,” alasannya waktu itu.
Setelah Bapaknya meninggal 5 tahun yang lalu, Ibunya mengambil posisi sebagai kepala keluarga. Dulunya wanita jawa itu hanya berperan di dapur, di sumur dan di kasur. Sepeninggal suaminya, dia menjadi penentu.
Agus sebagai menantu bukan datang dari keluarga yang berkecukupan. Almarhum ayahnya hanyalah mantan pegawai jawatan kereta api, penjaga lintasan. Disamping itu, sekolahnya hanya lulusan D3 di Akademi Pimpinan Perusahaan. Ia bekerja di perusahaan dealer mobil. Gajinya tidak seberapa, paling-paling hanya mengandalkan bonus, bila marketing melampau target.
Sementara, Lisa adalah lulusan sarjana strata1 di bidang pendidikan dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Tentunya lebih “bonafid” dan lebih tinggi martabatnya.
Oleh karena itu, Ibu Lisa sudah mempersiapkan calon pendamping sejak jauh-jauh hari, namanya Hendra. sarjana jebolan Universitas Gajahmana, jurusan arsitektur. Pasti memiliki prospek kemapanan ekonomi. Hendra, pernah kost di rumah Lisa semasa kuliah dulu. Waktu itu Lisa kelas 2 SMA, sedang Hendra mahasiswa baru.
“Tak perlu disesali. Begitulah kenyataan hidup,” Lisa tersadar dari lamunan.
“Sudah dapat kamar mbak,” dokter ingin memastikan apakah suaminya jadi akan dirawat di rumah sakit ini, atau Lisa akan membawanya pulang.
“Belum dapat Dok. Sebentar lagi, saya sedang menunggu transferan untuk uang muka,” Lisa menjawab dengan tenang karena telah mendapat janji bantuan berupa pinjaman uang dari adiknya.
Lisa beranjak menuju Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Kemudian Lisa mengecek saldo di kartu ATMnya. Ternyata transfer uang dari adiknya telah masuk. Iapun mengambil sejumlah uang. Kemudian Lisa beranjak menuju meja resepsionis dan segera mendaftarkan kamar untuk suaminya.
Jam 23.00 Agus dieksekusi ke ruang perawatan di kamar Kelas satu (1) yang berada di lantai dua (2), Ruang 201. Lisa berjalan di belakang perawat yang mendorong kereta ranjang. Sepanjang jalan sangat lenggang karena tidak ada lagi orang yang berkerumun sedang membesuk. Malam sudah sangat larut.
Tiba di kamar rawat, Agus dipindah ke ranjang besi. Kamar itu hanya ditempati 2 ranjang. Tiap ranjang di sediakan 2 tempat duduk bundar dan sebuah lemari kecil untuk menyimpan makanan. Pembatasnya berupa gorden yang dapat di tarik menutup, mengitari seluruh ranjang.
Lisa memanjatkan syukur ke hadirat Ilahi. “Alhamdulilah, satu tugas berat telah selesai.” Kebimbangan tidak lagi tampak dari wajahnya. Ia bisa tersenyum tipis. Matanya berbinar. Lisa duduk di sebelah suaminya. Lisa mengusap wajah suaminya dengan handuk kecil yang telah dibasahi air hangat. Ada kerut-kerut duka dan kelelahan dalam raut wajah suaminya.
Keadaan Agus semakin hari semakin memburuk. Hari ke empat perkembangan penyakit Agus semakin buruk. Staminanya merosot tajam. Pada tengah malam ditingkahi oleh demam yang tinggi menyergap, ia mengigau. “Ibuuuu, Agus mau pulang ibuuuu. Tunggulah, aku dataaaang.”
Lisa kaget dan terbangun. Jam menunjukkan pukul 03,00. “Ada apa gerangan?” Dirabanya kening Agus, panas tinggi. Seluruh badannya memancarkan rasa hangat menembus pakaian.
Dalam catatan dokter yang ada di ujung ranjang, memang tercatat panas tubuh suaminya berkisar antara 39 - 40oC. Sedangkan trombosit nya terus menurun sampai angka 36.000. “Pasti darahnya terlalu kental dan tak mampu mengalir,” Lisa memaklumi. Ia hanya menemui suster meminta ditambahkan paracetamol cair ke dalam infusan yang masuk ke nadi pada tangan kiri Agus. Perawat menelpon dokter untuk konfirmasi, barulah setelah itu kondisi Agus yang menggigil mereda. Semula suhu tubuhnya yang terlalu tinggi membuat udara disekitarnya terasa dingin dan Agus menggigil.
Pagi telah tiba. Serombongan suster dan perawat masuk ke dalam kamar sambil mendorong ranjang kereta dorong. Lisa mengintip dari balik kordin. “Innalilah” Pasien di sebelah meninggal. Nyawanya meregang direnggut oleh kuman “dengue” yang dibawa betina jalang anopheles.
Ketakutan menyergap. Lisa menutup mata dengan kedua tangannya. “ Ya Allah sembuhkan suami saya” . Lisa menyadari bahwa penyakit suaminya serius dan nyawa menjadi taruhannya. Kekhawatiran menghujam ke dada Lisa dan melahirkan rasa kasih dan iba. Takut kehilangan.
Pada setiap kunjungan dokter, Lisa selalu bertanya: “Dok, apakah belum terlambat?”
“Kami periksa dulu ya, harap ibu bersabar,” saran dokter sambil membuat catatan rekam medis di sebuah kertas lembar status pasien yang digantung di ujung ranjang, lurus di depan kaki pasien.
Lisa dihantui rasa takut kehilangan suaminya, Di sudut relung hatinya yang terdalam, ternyata ia sangat mencintai Agus. Tak terasa titik air mata turun dari pipinya. “aku gak mau kehilangan dia,” nada lirih mengadu kepada Tuhan.
Menjelang hari kelima, trombosit tetap dibawah standar. Teman-teman bilang agar diberi tambahan asupan berupa Jus kurma atau Jus Jambu. Lisa mematuhi anjuran teman-temannya, selama 2 hari, secara rutin tiga kali sehari Lisa memberikan Juice jambu atau Kurma. Namun tingkat trombosit dalam darah Agus masih dibawah.
Kekhawatiran Lisa tidak berlangsung lama. Setelah dihibur oleh dokter, bahwa ada teori pelana kuda. Dalam 5 hari kondisi penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) akan merosot sampai titik kritis. Jika bisa mempertahankan daya tahan tubuh Agus di kondisi prima. Maka pasien akan mampu melampauinya. Artinya Agus akan hidup dan berangsur-angsur pulih kembali seiring naiknya jumlah thrombosit.
Darah yang mengalir sempurna tanpa hambatan adalah kunci pertahanan homeostatis tubuh manusia. Tubuh akan memulihkan dirinya dan menyingkirkan segala macam alien yang mengganggu system kekebalan tubuh. Nikmat apa lagi yang paling dinanti oleh insan yang dalam ujian sakit, nikmat sehat tentunya.
Tapi, pada hari ke-enam keadaan Agus justru semakin memburuk. Dokter mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ada komplikasi.
“Dok, semalam demam tinggi dan mengigau. Saya mencoba kompres dengan air es, barulah panasnya turun, ” Lisa membuat laporan kepada dokter.
Dokter diam, dan memeriksa dada Agus dengan “stetoscope”, menepuk-nepuk perutnya, dan menyenter mulutnya dan pupil matanya. Mencari keadaan tidak lazim yang bisa menjawab pertanyaan: “Apa gerangan penyebab gagalnya sistem immun pasien yang satu ini.” Setelah itu, ia membuat catatan tindakan. Tak lama, suster menyuntikan larutan antibiotik dan penurun panas kedalam kantong infus yang berisi cairan garam (Natrium Chlorida) dan gula (Glucosa) steril.
Agus sama sekali tidak makan nasi. Jatah makanan yang disediakan rumah sakit tak tersentuh. Paling-paling, Agus hanya mencicipi sedikit. Entah disebabkan tak berselera ataukah karena menunya. Lisa mencoba mencicii satu suap dan memang makanan itu tawar tidak ada rasa. Kata Suster, memang begitu jatah konsumsi makanan untuk orang sakit. Kalau hanya mengandalkan makanan dari infus, kesembuhan Agus pasti melambat.
Lisa pergi keluar rumah sakit, naik angkot, memesan sup panas dan sate kambing. Tanpa sepengetahuan suster, Lisa menyuapi Agus. Ternyata makannya banyak dan sangat lahap. Sisa makanan segera dibersihkan dan dibuang agar tidak ketahuan perawat. Benar saja, pada esok harinya, jumlah trombosit darah Agus naik ke angka 65.000. Keesokan harinya, meningkat tajam sampai 100.000.
“Alhamdulilah” Lisa meremas telapak tangan suaminya. Yakin bahwa ada harapan untuk sembuh.
Menurut dokter masa kritis DBD sudah terlampaui. “Hebat perkembangan kesehatan Pak Agus sangat dahsyat,” puji dokter dengan kagum bercampur senang.
Sementara Agus merasa kesal terhadap nyamuk yang mengigit dirinya. Dia masih menduga-duga, mencari tahu dimanakah dia kena gigitan nyamuk. Apakah di rumahnya atau di rumah mertuanya saat mendamping Lisa ke Yogja.
Agus menoleh memandangi istrinya. Ia haru dan bangga pada Lisa, karena rela pontang panting mengurus dirinya. Agus merasa punya hutang budi, hutang nyawa.
“Kalau dalam 2 hari ke depan, angka thrombositnya mencapai 150.000, bapak boleh pulang.” Dokter memberi harapan pada Lisa.
“Terima kasih dokter,” sahut Lisa, sementara Agus mengangguk.
“Selamat pagi…, Apakah Bapak tidur nyenyak semalem?” tanya dokter sambil menempelkan stetoskop ke dada lalu ke perut. Mendengarkan kejernihan suara udara pernafasan Agus, sebentar.
“Alhamdulillah dok,” jawab Agus lirih
“Bapak ingin cepat pulang, atau ingin lebih lama di sini,” dokter menggoda Agus dengan candaan.
“Pulang dok” jawab Agus bersemangat.
“Bapak sudah boleh pulang. Kasihan ibu, lihat matanya cekung, kurang tidur. Nungguin bapak tiap malam,” sambil memberi kedipan tanda simpati kearah Lisa yang berdiri di sisi kiri.
“Terima kasih dok. Saya sudah rindu rumah, ingin cepat pulang dok.”
“Ok.” dokter membuat rekomendasi kepulangan, menuliskan resep, memberikannya kepada perawat
Agus memandang istrinya. Ia menatap matanya dalam-dalam. Saling pandang. Tak tahu harus mengatakan apa. Agus ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu ia ungkapkan. Sementara itu dalam hati Lisa berkecamuk berbagai perasaan. Lisa sadar, bahwa saat ini dia harus mengubur kesan-kesan buruk tentang suaminya.
Karenanya Agus sangat mencintai Lisa. Cintanya membesar, sebesar gunung. Cintanya mendalam, sedalam samudra. Tapi, direlung dadanya yang terdasar, Agus sadar telah berkhianat kepada istrinya. Untuk menebus kesalahan, Agus berusaha membangun alibi, bahwa wanita istimewa lain itu bukan untuk dicintai, tapi untuk dikasihani. Wanita itu pernah ada mengisi hatinya. “Alah mak…, kenapa musibah dan petaka datang bersamaan?” Desis sesalan dalam hatinya.
Agus menatap kosong. Pikirannya melayang. Jiwa menerawang, mengambang di awan. Lisa memaklumi dan membiarkan suaminya berfikir dan menyimpulkan makna derita dan pengorbanan. Hanya Agus dan Tuhannya yang tahu.
Lisa pamit pada suaminya untuk keluar sebentar. Sambil membereskan selimut, Lisa memberikan kecupan sayang di kening suaminya. Agus sudah lama merindukannya.
“Mamah mau beli sop dan sate,” ujarnya berpamitan dan Agus mengangguk.
Dia mampir ke kasir untuk memastikan taksiran biaya pengobatan selama 10 hari. Diprediksi kisaran 15 juta. Secara hitung-hitungan kekurangan biaya sekitar 5 jutaan. Lisa memutar otak, kemana harus mencari dana tambahan. Terbayang sepintas untuk menjual sepeda motornya.
Lisa menghubungi Mas Adi, berupaya mencari cadangan dana. Di luar dugaan, ternyata Adi mendapatkan informasi bahwa kantor tempat Agus bekerja memberikan bantuan biaya pengobatan. Sepengetahuan Adi, kantornya akan mengcover seluruh pembiayaan di rumah sakit.
“Matur Suwun Mas, Insyaallah rekap pembiayaan perawatan akan saya kirim besok Mas,” ucap Lisa.
“Baik mbak,” sahut Adi di seberang telepon.
Lisa naik angkutan kota dan turun di depan warung sate pak Kumis. Ia memesan soup kambing dan sate kambing. Dari warung sate, Lisa pulang ke rumahnya. Lisa rindu rumah. Setiap pagi rumah diurus Mbok Irah. Rumah bersih, sudah disapu dan di-pel oleh mbok Irah. Lisa memanggil Mbok kepada Munirah bukan karena usianya yang lanjut, tapi karena statusnya sebagai pembantu. Usianya tidak terlalu jauh dengan dirinya, paling hanya selisih lebih tua 6 tahun dari dirinya. Dan umumnya orang kota memanggil pembantu dengan mbok. Sedangkan panggilan Ibu hanya untuk wanita kantoran.
Lisa bahagia sekali. Batinnya mengakui, rumah adalah surga, “baiti jannati.” Lisa menaruh pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Kembali ke kamar membuka lemari. Lisa mengambil pakaian bersih untuk dirinya dan untuk dibawa ke rumah sakit. Setelah berdandan dia memandangi wajahnya di cermin. Wajahnya pucat, matanya bengkak karena kurang tidur. “Belum terlalu tua,” desisnya. Setelah memasukkan pakaian ke dalam tas ransel, Ia siap-siap ke luar rumah. Seluruh lampu dimatikan kecuali di ruang depan dan teras. Pintu dikunci dan meluncur menuju rumah sakit.
“Mama kemana aja? lama sekali perginya.” Agus menggoda. Nampak ada perubahan sikap, dan ucapannya mulai bergetar.
“Iya, setelah dari warung mang kumis, mamah mampir kerumah. Nich, mama bawakan pakaian baru buat papa.” Lisa duduk di kursi kecil, berkepala bundar. Bungkus sate dibuka dan kuah sop dituang ke dalam mangkok. “Ayo, makan dulu. Setelah perut kenyang, ganti pakaian!”
Lisa bercerita bahwa tadi mampir ke rumah. Semuanya telah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan suaminya. Lisa juga bercerita bahwa tadi ketemu beberapa tetangga mengabarkan bahwa suaminya sudah membaik.
Sanak saudara dan teman Agus banyak yang datang membesuk. Walau tubuhnya masih lemah, Agus berusaha menyambut tamu-tamunya dengan ceria. Memang wajahnya kelihatan segar, tapi Agus masih merasakan dirinya lemah.
Dua hari kemudian, Agus diperkenankan pulang, karena trombositnya telah meningkat sampai 165.000. Selama dalam perjalanan, Agus memeluk istrinya erat-erat, seraya berucap, “Ma terima kasih telah mendampingi papa. Maafkan papa yang selama ini telah mengabaikan mama.”
Lisa merasa tersanjung. Dan Lisa membisu. Bahwa melayani suami, apalagi dalam keadaan sakit adalah sebuah kewajiban mutlak. Demikian menurut tuntunan agama Islam. Apalagi didasari dengan rasa cinta yang tulus. Namun, sekilas hatinya bertanya, kenapa suaminya minta maaf. Apakah benar apa yang dikatakan tetangga tentang perselingkuhan suaminya dengan wanita lain. Buru-buru rasa curiganya dibunuh dalam-dalam, Lisa tak mau merusak suasana yang indah ini.
Agus bahagia sampai di rumah. Lisa mengantar Agus ke tempat tidur, tapi Agus ingin duduk di sofa saja.
“Mah duduklah di sini. Papa mau bicara.”
“Mau bicara apa? Serius benar lagaknya papa.” sergah Lisa sambil menaruh badannya di samping suaminya.
“Iya … papa harus banyak berterima kasih kepada mama.”
“Sudahlah Pah, yang penting papa sembuh. Mulai sekarang, papa pikirkan saja kesehatan, jangan berpikir yang tak perlu,” nasehat Lisa kepada suaminya.
“Kalau papa sehat, rumah ini akan bersinar lagi seperti sedia kala. Papa dapat bekerja lebih giat lagi. Mama juga bisa bekerja dengan baik” Lisa menguatkan hati suaminya untuk menggapai harapan.
Memang hanyalah harapan yang membuat hidup bergairah. Karena adanya harapan, Lisa pupuskan syak-wasangka atas desir angin perguncingan tetangga. Hatinya berbisik bahwa tidak akan meluluhkan rasa cintanya kepada Agus, kecuali memang ada fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
-------ooo0ooo----------
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap bu Erma, ditunggu cerita selanjutnya .. .
Awasome! Mantap bu Erma tulisannya bak penulis terkenal. Subhanallah! Bravo!
Kereeen bu erma... ceritanya uwenak dibacane. Te Ow Pe Be Ge Te... Lanjut cerita berikutnya ya, Jd pinisirin...
Wow...bu Erma sang novelis sejati nih. Enak bangett baca ceritanya
Bertele-tele ya, mbosenin?
Sejarah Cinta Bendungan Gintung
Subhanallah..,,kisah yg menyentuh sanubariku.......