Ermawati

Profil Penulis: Penulis lahir di RS Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, menempuh pendidikan dasar di Cibubur; dan SLTP di Gandaria, Jakarta Timur, d...

Selengkapnya
Navigasi Web

KB (Keluarga Besar)

Masa Kecil dalam Keluarga Besar

Prolog

Biaya hidup yang tinggi,seperti sewa rumah dan makan,di kota besar seperti Jakarta mendorong sejumlah keluarga hidup dengan berbagi. Misalnya satu rumah dihuni oleh banyak orang. menolak dan tidak berbagi dengan keluarga yang sangat membutuhkan tumpangan hidup bukan sikap bijaksana. Namun, perlu dibarengi dengan sikap keterbukaan dan komunikasi.

Masa kecil yang saya jalani adalah masa kecil yang bahagia dengan dua orang tua yang baik lagi mapan dan suka berbagi. Kekayaan keluarga tidak hanya untuk dinikmati sendiri. Sifat ayah saya yang berasal dari suku Palembang sangat setia pada keluarga, punya kesadaran beragama yang kuat, ganteng, cerdas dan pandai mengurus keluarga. Sehingga selama hidupnya selalu saja ada family yang datang untuk mengadu nasib di kota Jakarta dengan menumpang di rumah keluarga saya.

Bertemu Sepupu yang Dibesarkan Bersama di Masa Kecil.

"Ayolah nak bersiap, kita harus hadir saat akad nikah," kata-kata bujuk rayu saya keluarkan dengan sabar kepada Mas Rey.

"Tapi ibu..., Ah saya tunggu dirumah saja ya, kaki Mas Rey kan masih sakit." Kembali ia merajuk menolak ikut. Memang kakinya baru saja dijahit 7 jahitan karena kecelakaan motor tadi malam.

Saya mulai tak sabaran menyahut, "Adek, ini kesempatan langka kita bisa bertemu sanak-saudara ibu. Belum tentu satu atau dua tahun kedepan akan ada lagi kesempatan seperti ini,nak." Sekilas saya melirik kearah suami. Ada rasa khawatir ia marah karena saya mendadak lebay. Tapi suami saya tampak hanya diam dan raut wajahnya tidak menampakan rasa kesal atau mimik mengejek, Syukurlah. Dan saya tak mau lagi berpanjang-panjang kata berdebat dengan Mas Rey.

"Mana bu, makanan yang harus aa bawa?" Anak sulung ku Mas Kem melongok dari jendela. Sejak pagi dia sudah memanaskan mobil dan sedang bersiap-siap membawa kami dalam perjalanan menuju Serang.

Sejak kemarin saya mempersiapkan mental untuk menghadiri undangan ke Serang. Setelah suami dan anak anak setuju màka saya mempersiapkan perbekalan di jalan dan barang bawaan. Ternyata rencana kadang tak sesuai dengan kenyataan.

Tiba-tiba saja Mas Rey semalam pulang sambil terpincang-pincang dan darah terus memancar dari lubang lukanya. Saya dan suamipun sempat mengajaknya ke Rumah Sakit UIN Jakarta ruang Instalasi Gawat Darurat untuk merawat lukanya. Luka terbuka yang dialami Mas Rey mendapat 7 jahitan dari perawat.

"Ya, makanannya biarlah ibu yang membawa ke mobil," saya menyahut sambil bergegas menuju ke mobil yang sudah di parkiran, Mas Rey mengikuti dari belakang tanpa banyak bicara. Turut pula mengikuti kami, suami saya sambil mengunci pintu rumah dan menutup pagar. Bismillahimajrehawamursaha. Allohumaghfirli.

Jadi, hari ini saya menghadiri sebuah undangan pernikahan sepupu. Seluruh keluarga dari pihak almarhum ayah hadir. Adik-adik ayah yang masih hidup dan keponakan-keponakan ayah.

Melihat sanak saudara dari pihak ayah disana, kenangan saya dibawa kembali ke masa silam. Masa-masa saya dan mereka masih kanak-kanak. Karena sebagian besar sepupu disana adalah teman sepermainan saya di masa kecil. Hidup dalam rumah yang sama dengan ayah dan mama sebagai pengayom semua.

Kembali ke masa lebih awal. Keadaan ayah saya saat menikah dengan mama saya, adalah dalam keadaan yatim. Kemudian ketika saya dilahirkan ayah sudah menjadi yatim piatu. Dikarenakan ia masih memiliki 3 orang adik yang masih kecil-kecil, maka 1 orang adik lelakinya yang masih usia Sekolah Dasar dibawa ke Jakarta. Ia bersekolah di Jakarta dan diasuh oleh ibu saya seolah sebagai anak pertama.

Pada saat usiaku baru 4 tahun, adik perempuan ayah meninggal dunia dalam usia sangat muda. Namun sang kakak berpulang dengan meninggal kan 5 orang anak piatu. Bapak anak-anak itu menikah lagi dengan seorang perempuan tambi dan memiliki 2 anak lagi. Mereka sekeluarga hidup menumpang di rumah kami di Jakarta.

Mengapa ayah saya mau merelakan diri merawat mereka semua?

Konon semasa mudanya dahulu, waktu ayah masih bujangan, dimanapun ayah bertugas selalu dikirimkannya buah tangan cantik untuk sang kakak perempuan almarhumah. Kenangan penuh kasih pada sang kakak lah yang membawa kesanggupan besar menjaga anak-anak yang ditinggalkannya.

Kenangan saya dan adik-adik dibesarkan bersama dengan 1 orang paman kecil dan 5 orang saudara sepupu sebenarnya tidak saya ingat betul. Banyak hal dari masa itu yang saya lupakan. Manis atau pahit tak terlalu penting bagi saya. Pengalaman saya menempuh kehidupan sesudahnya bisa dibilang lebih bermakna. Maka sayapun lupa. Namun sekilas dibawah ini adalah cerita yang saya rekam dari ingatan mama saya.

Saat itu sudah zaman orde baru. Bersamaan dengan pencanangan hari keluarga nasional tanggal 29 juni 1970, program Keluarga Berencana mulai di dengungkan melalui berbagai media. Televisi Republik Indonesia merupakan salah satunya. Beberapa crew TVRI sampailah kerumah orangtua saya. Bertepatan hari libur, sebuah hari minggu yang cerah, saat seluruh keluarga santap siang bersama.

Ayah memiliki meja makan besar dari kayu yang tidak ada sambungannya. Meja itu adalah meja bekas inventaris partisipan PKI di jalan gereja theresia Jakarta Pusat. Kami di setting duduk mengelilingi meja besar tersebut sedang makan bersama. Menunya: tempe, tahu, ayam goreng dan tumis kangkung.

Masih menurut mama, ada wawancara dengan pembawa acara TV dengan mama dan ayah selaku orang tua mengenai keseharian kami sekeluarga. Setelah film Itu dItayangkan di televisi, ternyata keluarga ayah disebutkan sebagai contoh betapa sulitnya sebuah rumahtangga yang harus mengurus keluarga besar. Maka sebaiknya keluarga muda Indonesia mengikuti program KB (keluarga berencana). Itu adalah sebuah iklan KB (Keluarga Berencana).

Lazimnya orang hidup bersama dan saling berinteraksi sosial, terkadang terjadi gesekan. Gesekan antara anak-anak keponakan ayah dengan saya dan adik-adik terkadang berbuntut kekerasan fisik. Sehingga sepànjang yang saya ingat, saya sering menghabiskan waktu bersembunyi di kolong ranjang. Menunggu sampai mama atau ayah pulang dan menyelamàtkan kami adik beradik.

Prilaku yang tidak normal akibat tekanan jasmani ini kadang terulang sampai dewasa. Ketakutan oleh perangai suami yang tiba-tiba marah membuat saya menangis dan bersembunyi di kolong ranjang.

Peristiwa demi peristiwa tersebut menimbulkan trauma masa kecil yang pedih. Yang tak ingin saya kenang. Contoh lainnya adalah ketidaksukaan saya makan sambal. Jikapun dipaksa saya akan menangis.

Ternyata menurut paman saya, sewaktu kecil ia pernah menjejali saya cabai sambil memegangi kaki saya diatas bibir sumur dengan posisi kepala dibawah. Menurutnya untunglah saya tidak berontak sehingga tidak tercebur kedalamnya. Sungguh permainan anak-anak yang tidak lucu. Tapi, kami semua masih anak-anak waktu itu. Kenakalan anak-anak berdampak trauma. Untungnya ada orang tua yang standby meminimalisir kerusakan akibat trauma tersebut. Dan mamalah yang datang menyelamatkan saya sebelum terlambat.

Orang tua saya berbeda dengan duet Destarata-Gandari yang membiarkan anak dan keponakannya (kurawa dan pandawa) saling baku hantam dalam perang baratayudha. Mereka membesarkan kami dengan kasih sayang dan teladan akhlak yang terpuji.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post