Marheni Pandu Pratiwi

Guru SD Wergu KUlon 1 Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Suka juga menulis tapi sering tidak tahu harus menulis apa...tahu-tahu jadi aja......

Selengkapnya
Navigasi Web

Asyiknya Berkomitmen dengan Anak-anak

Seperti biasa, tepat pukul 06.25, saya harus sudah berada di kelas. Maklum, mengajar di kelas II SD memang membutuhkan perhatian lebih. Itu menurut saya. Meskipun ini bukan pengalaman pertama mengajar di kelas bawah. Sebagai guru kelas, dan pernah merangkap tugas sebagai guru Bahasa Inggris, saya justru mengajar dari kelas I sampai dengan kelas 6. Namun pada tahun pelajaran ini sedikit berbeda. Kalau biasanya saya ditugasi menjadi guru kelas di kelas V, sekarang saya mendapatkan tugas mengajar di kelas II. Bagi saya, ini tugas yang menarik dan menantang.

Hampir seluruh anak kelas II sudah hadir di kelas. Benar-benar hebat para orang tua mereka. Memenuhi komitmennya hadir pukul 06.30 untuk belajar membaca dan berhitung bersama. Hari ini jadwalnya belajar membaca. Ada yang sambil disuapi oleh ibunya, duduk berdampingan di mejanya, ada juga yang sambil minum susu. Belum sempat minum di rumah, begitu alasannya. Saya memang menekankan agar selalu sarapan sebelum berangkat sekolah, karena pada awal masuk, ternyata banyak anak yang tidak dibiasakan sarapan. Sehingga baru beberapa jam saja proses pembelajaran berlangsung, keluhan lapar dan kepala disandarkan di meja, menjadi pemandangan yang memilukan.

Menjelang pukul 07.30, mereka sudah duduk ditempat duduknya masing-masing. Mengerti apa yang harus dilakukan, para orang tua keluar dari kelas, dan anak-anak pun sudah memegang buku bacaan di tangan masing-masing. Buku itu sudah mereka pilih dari perpustakaan sekolah, ketika mereka pulang sekolah kemarin. Buku yang sudah selesai dibaca, tidak boleh dipilih kembali pada hari berikutnya.

Dengan manis mereka duduk, dan mulai membaca buku bacaan yang ada dihadapannya masing-masing. Seperti lebah kalau sedang berkumpul, begitulah suasananya. Saya harus mengelilingi mereka satu per satu untuk mengetahui progress mereka dari hari ke hari. Tidak perlu memvonis kesalahan mereka, karena hanya dengan senyum atau dengan kata hayoo saja, mereka tahu bahwa telah melakukan kesalahan dalam membaca. Mereka akan dengan cara uniknya masing-masing mengakui kesalahannya. Kalau benar-benar merasa kesulitan mengeja, baru mereka akan menunjukkan aksinya minta bantuan. Ada yang merengek dan mengatakan kok angel bu, ini huruf apa tah bu, kok tumpuk-tumpuk…Yang dimaksud adalah konsonan rangkap. Ada juga yang kemudian menarik-narik tangan saya meminta perhatian lebih. Bahkan ada juga yang langsung minta pangku, agar lebih dulu diajari cara membaca yang benar sebelum saya menuju ke meja temannya yang lain. Bagaimana cara mengatasinya ? Cukup dengan memberi kode sedeku. Kalau sudah ramai begitu, maka saya harus segera berdiri ditengah, dan memberi kode tangan disilangkan diatas meja. Itulah sedeku yang berarti kembali ketempat duduk masing-masing dan diam. Dengan cepat suasana menjadi tenang.

Segera saya bagikan kertas lipat, dan mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka menulis kata yang sulit mereka baca, kemudian dikumpulkan ke meja guru. Kata-kata yang mereka anggap sulit itu, akan dipelajari lagi nanti pada saat pulang. Satu per satu akan saya panggil, dan diajari bagaimana cara membacanya. Kemudian anak-anak akan menempelkan kertas-kertas itu di papan berpaku. Gunanya untuk mengingatkan kembali, jika bertemu lagi dengan kata yang sama, tetapi lupa cara membacanya. Kalau sudah ingat dan tidak lupa lagi, kertas itu harus diambil. Bagi yang semakin sedikit kertas yang menancap di papan pakunya, maka saya akan memberikan hadiah sebagai penghargaan. Karena itu menandakan bahwa dia semakin sedikit menemui kesulitan dalam membacanya.

Sudah dua puluh lima menit berlalu, selesailah belajar membaca pagi hari ini. Mereka dengan tertib keluar dari kelas memanfaatkan sedikit waktu untuk bermain sebelum bel masuk berbunyi. Setelah bel berbunyi, mereka secara otomatis berbaris di depan kelas, dan yang merasa bertugas memimpin barisan langsung menempatkan diri. Bagi barisan yang tertib dan tenang, ditunjuk lebih dulu untuk masuk kelas. Tidak lupa mereka menunjukkan kedua tangannya untuk diperiksa kebersihan tangan dan kukunya. Setelah itu mereka meringis menunjukkan giginya, sudah digosok apa belum. Kalau ada anak yang senyum-senyum agak merajuk dan bibirnya terkatup, kemudian badannya lengkat-lengkot, itu tanda bahwa dia menyadari kealpaannya tidak menggosok gigi. Tanpa diperintah dia akan segera menuju gelas pribadinya yang sudah saya susun di rak, yang berisi pasta gigi dan sikat giginya, menuju kamar mandi, dan gosok gigi. Anak itu, akan mendapatkan kertas lipat warna merah, kemudian dia dengan sadar akan menuliskan hal yang harus dilakukan, tapi telah dilupakan. Dengan sendirinya dia akan menancapkan kertas merah itu di papan berpaku.

Selesailah rangkaian kegiatan mengisi jam ke 0 pagi ini. KBM harus segera dimulai. Pintu kelas saya tutup, anak-anak sudah menempatkan diri di kelompoknya masing-masing. Siap menikmati alur tema pembelajaran hari ini. Setelah anak-anak pulang nanti, saya harus menindaklanjuti hasil bercengkerama dengan anak-anak pada jam ke 0 tadi. Bila dirasa perlu, maka orang tuanya akan saya ajak bicara demi kemajuan anaknya. Begitu yang sudah berjalan.

Kalau diceritakan memang sepertinya memakan waktu yang lama dan panjang. Tapi tidak sebenarnya. Tiga puluh menit masih bisa tersisa sekitar lima menit, untuk anak-anak menghirup udara segar halaman sekolah sebelum masuk kelas. Yang lama adalah proses awal berkomitmen dengan anak-anak. Meskipun begitu, ternyata anak-anak bisa diajak berkomitmen. Dan gambaran saya diatas tadi, adalah hasil dari komitmen belajar bersama anak-anak.

Saya sangat yakin, guru, sangat mengenal apa yang disebut dengan kontrak belajar. Saya lebih suka menyebutnya dengan komitmen belajar bersama. Hanya sayangnya, mungkin belum banyak yang memanfaatkan kontrak belajar itu, sebagai salah satu upaya untuk memahami kesulitan belajar anak. Padahal, memahami kesulitan belajar anak sejak dini, sangat penting. Kita akan mendapatkan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan itu, yang pada gilirannya, akan mempermudah kita dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagaimana mungkin kita bisa mengatasi kesulitan anak didik kita, kalau kita tidak pernah tahu dimana letak kesulitan yang mereka alami.

Komitmen belajar bersama itulah yang saya manfaatkan untuk memberikan pembiasaan kepada anak-anak didik saya di kelas 2. Komitmen itu saya buat bersama dengan anak-anak. Saya upayakan agar anak-anak sendirilah yang memutuskan apa yang harus mereka lakukan. Tujuannya sederhana, agar mereka bisa. Itu saja. Maka saya hanya perlu mengajak mereka berimajinasi pada situasi yang saya harapkan. Kemudian anak-anak diminta untuk memberikan pendapatnya. Muncullah kalimat-kalimat sederhana mereka, seperti, masuk pagi-pagi, boleh bawa maem, boleh disuapin, harus milih buku bacaan di perpus, yang telat menyapu kelas, yang telat membaca sendiri, tidak boleh rewel, harus gosok gigi, harus bisa membaca, kalau tidak sarapan digigit nyamuk, kalau tidak bisa membaca kalah sama kerbau, dan masih banyak lagi. Tinggal tempel saja kalimat-kalimat itu di selembar kertas, kemudian dipasang di tembok kelas yang mudah untuk dilihat dan dibaca oleh anak-anak. Mereka akan selalu ingat janji mereka di kertas komitmen bersama itu.

Setelah komitmen belajar bersama tercipta, maka langkah berikutnya adalah membiasakan anak mewujudkan apa yang telah mereka tulis di kertas komitmen tadi. Disinilah benar-benar dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan guru. Cerewet untuk membentuk disiplin anak-anak mematuhi komitmennya sendiri, menurut saya sangat tidak dilarang disini. Jangan pernah bosan mengingatkan, jika ada anak yang melanggar. Saya punya trik sendiri untuk mengingatkan anak-anak, atas kesalahan yang mereka lakukan. Tidak perlu marah. Tidak juga harus bernada tinggi. Sederhana saja. Rangkul saja anak, katakan padanya, aduh pinternya…lebih pinter lagi kalau membacanya tidak sambil bercanda. Atau kepada anak yang berontak tidak mau tenang membaca, rengkuh saja, kalau perlu dipangku, paksa dengan halus untuk mau membaca.

Anak senang dipuji dan diberi hadiah sebagai penguatan, meskipun itu hanya berupa tepuk tangan. Maka jangan lupa agar selalu memberikan pujian kepada anak, baik anak yang patuh maupun yang bandel. Senyum guru, merupakan obat mujarab bagi anak. Mereka akan luluh kalau kita sentuh dengan senyum dan tutur kata yang lembut.

Pembiasaan itu menuntut kedisiplinan dan kesinambungan. Kita harus menjadi contoh pertama tentunya. Meminta anak-anak datang pukul 07.30 misalnya, maka sekuat tenaga, kita harus minimal lima menit sebelumnya harus sudah siap di tempat. Berat pada awalnya. Tapi lama-lama, asyik saja menjalaninya. Ini akan merubah hampir seluruh jadwal aktifitas kita di rumah, agar kita bisa sebelum 07.30 sudah siap di kelas.

Asyiknya berkomitmen dengan anak-anak memanfaatkan jam ke 0, bisa kita rasakan kalau pembiasaan yang kita tanamkan berhasil. Semua akan berjalan dengan sendirinya. Kita tidak perlu ngotot kepada anak-anak untuk melakukan kewajiban mereka di kelas, dalam proses pembelajaran. Memang tidak semua anak bisa bertanggung jawab dengan komitmennya. Dan tentu saja tidak setiap hari juga anak mampu bersikap baik, terhadap komitmennya tersebut. Justru disitulah fungsi kita sebagai guru ditantang.

Hal yang juga tidak boleh kita lupakan, adalah selalu melakukan komunikasi dengan orang tua anak. Perkembangan anak setiap hari, perlu kita sampaikan kepada orang tua. Bahkan pada saat komitmen tercipta, kita juga harus menyampaikan itu kepada orang tua, agar orang tua membantu upaya kita, menanamkan pembiasaan baik tersebut kepada anak-anak.

Saya juga tertatih-tatih pada awalnya melakukan semua itu. Tapi dengan jurus senyum manis*, dan mengurangi waktu istirahat di kantor guru agar bisa lebih banyak waktu bersama anak-anak, pelan-pelan pembiasaan jam ke 0 itu terbentuk. Bahkan mengimbas baik pada perilaku anak secara keseluruhan. Mengajar jadi asyik nikmat rasanya.

Sampai sekarang pembiasaan berkomitmen itu terus saya lakukan. Kalau ada anak yang nakal, hanya dengan pandangan mata dan senyuman saja, dia sudah tahu bahwa dia melakukan kesalahan. Dia akan tersipu malu dan minta maaf.

Rasanya, bulan depan saatnya memperbarui komitmen belajar bersama. Karena pada saat istirahat tadi, anak-anak protes, hampir semua buku bacaan di perpustakaan sudah mereka baca. Tentu saja bacaan yang mereka gemari, yaitu bacaan fable bergambar warna-warni. Rupanya mereka membutuhkan buku-buku cerita fable baru. Ini artinya tantangan baru. Saya hanya tersenyum menanggapi protes anak-anak. Mereka tidak puas melihat saya hanya tersenyum. Mereka tidak tahu, bahwa senyum saya kali ini, sambil berfikir, bagaimana caranya menyediakan buku-buku yang mereka inginkan itu dengan cepat. Ada yang nyeletuk bahwa dia punya bacaan baru, akan dia bawa ke sekolah. Besok pagi dia akan membaca buku bacaannya sendiri. Anak yang lain pun menimpali, tidak mau kalah, besok pagi juga akan membawa buku bacaannya sendiri yang belum dibaca. Tentu saja saya memperbolehkannya. Ini ide cemerlang. Anak-anak memang kaya ide. Setidaknya hari ini saya sudah punya rencana, bagaimana memperbarui bacaan mereka.

Pukul 11.00 anak-anak saya lepas pulang, dengan memastikan bahwa mereka sudah aman dalam jemputan mitra baik saya, para orang tua mereka.

* Kata anak-anak, senyum saya manis…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

O iya salah ketik.maaf

03 Aug
Balas

Jam ke 0 kok 7. 30 ya..

03 Aug
Balas

Iyaaa...mish bu endang..sy edit dl

03 Aug



search

New Post