Tantangan hari ke - 5

Tantangan Menulis 30 hari gurusiana

Kadangkala hari terasa begitu berat. Mengajar beberapa kelas seorang diri lalu menyeberangi sungai setiap pagi dan siang hari. Sedangkan setiap sore, harus kembali ke sungai untuk mencuci peralatan dapur, pakian dan mengambil air beberapa ember.

Setiap siang, mereka bertiga selalu datang ke rumah penduduk yang saya huni untuk sementara waktu. Mereka selalu membagi berita seputar kejadian-kejadian di kampung. Kadangkala bila saya lelah dan beristirahat maka mereka bertiga biasanya duduk di teras, bernyanyi lalu mengejar babi atau ternak lain yang masuk ke halaman rumah saya.

Pagi ini, saya berencana ke sekolah lebih awal. Selain beberapa pekerjaan siswa yang belum tuntas saya koreksi, saya juga ingin mandi di pancuran belakang sekolah sebelum siswa-siswi berdatangan.

Ketika saya menyeberangi sungai dan masuk ke pekarangan sekolah, mereka bertiga pun sedang menuju sekolah. Kami bertemu di halaman sekolah dan mereka bertiga meminta izin bermain di rumah guru. Sayapun mengangguk.

Setalah mandi dan berpakaian, saya menuju ke ruangan kelas. Rupanya mereka bertiga telah meninggalkan rumah guru sedari tadi sebelum saya selesai membersihkan diri. Mereka bertiga sedang berdiri di teras, menunggu saya membuka pintu kelas.

" Ibu guru, Yosep (salah satu murid kelas 6) bawa mace (pacar) ke kampung. Ibu guru coret dia punya nama! " Lapor Frengky sambil menunjukan wajah yang begitu serius.

"Iyo (iya) ibu guru. Kemarin saya dengan Wens (kakaknya) pulang dari hutan tebang matoa (salah satu buah-buahan khas Papua) kami lihat mereka di sungai." Veranus menambahkan. Lagi-lagi dengan wajah serius dan meminta keputusanku.

"Wah, Yosep ini bagaimana? Dia tidak mau sekolah kah? Kalian bertiga jangan begitu, sekolah dulu, jangan pikir mace (pacar)." Jawabku sambil tersenyum.

"Iyo (iya), kita malas kawin (menikah). Kawin itu tidak baik, betul toh ibu guru?" Tanya Frengky seolah-olah meminta persetujuanku.

"Iyo (iya), kalian bertiga sekolah dulu, pintar dulu." Jawabku sambil menyandarkan tubuh di pembatas teras sekolah.

"Iyo, sa juga malas kawin, penting kah? (Iya, saya juga malas menikah, itu tidak penting)." Sahut Ishak dengan wajah serius.

Saya tersenyum mendengar laporan mereka bertiga. Mungkin ini tujuannya, mereka bertiga datang ke sekolah pagi-pagi sekali hari ini. Tidak seperti biasanya.

"Sa (saya) nanti jadi bendahara kampung saja." Sahut Frengky dengan wajah berbinar.

"Sa (saya) jadi polisi saja." Kata Veranus tak mau kalah.

Ishak yang agak pendiam tersenyum kecil, lalu dengan suara pelan berkata "Sa(saya) jadi paman (pak mantri/perawat) saja ."

"Iyo (iya) kalian bertiga sekolah, mace (pacar) itu banyak kalau kalian sekolah." Jawabku meyakinkan mereka bertiga.

"Iyo (iya), kalau kita sudah sekolah, kita bisa kawin (menikah) dengan suster, ibu guru atau pegawai kantor." Kata Frengky.

"Iyo (iya), kalau sudah sekolah, kita bisa kawin (menikah) dengan mace (pacar) cantik dari kota." Tambah Veranus dengan wajah bersemangat

"Iyo (iya), mace (perempuan) kota itu bagus -bagus (cantik-cantik)." Kali ini Frengky begitu bersemangat dan melupakan keinginannya agar saya mencoret nama Yosep dari daftar siswa kelas enam.

Saya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, berpikir beberapa kali. Apakah kali ini saya gagal mengarahkan pikiran mereka?

Papua, Februari 2020