Mariana puspa sari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sang Perancang Waktu

Sang Perancang Waktu

Pagi itu matahari bersinar terang, sedikit angin yang berhembus menambah kesejukan yang kurasa. Berjalan dari rumah petakan yang ku singgahi sementara menuju tempat kerja adalah rutinitas pagi yang menyenangkan. Sebagai konselor di salah satu lembaga pendidikan non formal di Jakarta membuatku harus tetap tersenyum dan merasa bahagia dalam kondisi apapun. Bicara di hadapan orang tua atau anak yang bermasalah dengan tenang, membantu mereka mendapatkan solusi permasalahan dengan bijak. Semua itu adalah keharusan. Harus bisa, siap dan sedia selalu.

Entah apa yang membuatku begitu tertarik dalam dunia pendidikan dan pengasuhan. Mungkin karena dunia ini sangat dekat denganku sebagai serang wanita atau karena hal tersebut memiiki magnet yang bisa membuat otak ini terus bekerja. Beberapa kemungkinan tadi bisa saja benar adanya. Berprofesi sebagai konselor membuatku terbiasa bertemu dan berbincang dengan beragam karakter manusia khususnya para orang tua dan anak didik. Pemahaman terhadap permasalahan yang tengah mereka hadapi harus ku tumbuhkan segera dalam hati dan pikiran, mereka bukan hanya butuh solusi tapi empati. Dua hal itu adalah penawaran yang bisa kuberi dan mereka dengan senang hati menerimanya.

Satu jam sebelum makan siang seorang bapak dating dan mengetuk pintu ruang kerjaku dan berucap,

“Assalamu’alaikum. Permisi mbak, saya ayahnya Iola, boleh saya masuk?”

Aku terdiam sejenak sambil berpikir, sepertinya di hari itu tidak ada janji yang terjadwal bagi kami untuk bertemu. Namun karena ia sudah datang, kupersilakan ia masuk dan duduk di tempat yang tersedia seraya berkata: “Saya Mariana, ada yang bisa saya bantu?”

Ia pun menjawab: “Saya mau tanya terkait pekembangan belajar anak saya selama di sini, bagaimana mba, apakah lebih baik?”

Aku jawab pertanyaan tersebut dengan cukup rinci sambil melihat data-data di komputer yang telah ku siapkan untuk para siswa. Data-data tersebut mencakup jumlah kehadiran, nilai-nilai yang diperoleh, catatann para guru yang mengajar tentang perkembangan kemampuan siswa, dan sebagainya. Sambil sesekali mengangguk, bapak itu mendengarkan penjelasanku dengan seksama, meski tidak terlontar dari mulutnya, aku tahu bahwa ia puas dengan penjelasan yang diberikan.

Setelah memastikan jawaban yang sempurna dari pertanyaannya, aku ajukan pertanyaan lain: “Iola berapa bersaudara pak?”.

Ia pun menjawab: “Dua mbak, adiknya laki-laki. Keluarga saya kecil mbak, anak cuma dua tapi yang penting bahagia”.

Aku tersenyum mendengar jawaban tersebut. Memang tidak asing mendengar orang tua yang hanya memiliki satu atau dua anak. Di tempat ku bekerja saat ini kebanyakan orang tua terutama ibu berprofesi sebagai pekerja kantoran, pagi antar anak ke sekolah, sore jemput di tempat les. Waktu efektif bertemu anak hanya pada saat malam, itu pun kalau belum terlelap karena kelelahan. Karier menjadi hal yang utama untuk dikejar, “Yang penting punya anak mba, ga usah banyak-banyak, repot ngurusnya, cuti hamil, cuti melahirkan, jadi banyak cutinya kerjaan”, celoteh salah seorang ibu.

“Mbak sudah menikah?”, tanya bapak itu padaku

“Belum”, jawabku singkat

“Mau saya kasih tips buat bekal mba saat membina keluarga nanti?”

“Boleh pak jika berkenan”, aku menjawab dengan antusias

“Saya laki-laki biasa yang punya cinta luar biasa untuk keluarga. Kerjaan saya ga tetap mba, tapi saya tetap bekerja. Istri saya adalah wanita yang paling rela di dunia, rela menerima saya sebagai suaminya, rela bahagia, sengsara dan merasakan apa saja bersama saya”

Kuselangi cerita tersebut dengan anggukan. Ia pun melanjutkan kalimatnya:

“Ketika saya melamar istri dulu. Saya sempat ditolak mertua karena dandanan saya yang seperti ini dan pekerjaan yang tidak tetap. Alhamdulillah saya bisa buktikan bahwa apa yang mereka pikir tentang saya adalah suatu kesalahan. Saya bisa bawakan mas kawin yang panatas untuk istri dan saat ini kami sudah punya rumah sendiri bahkan mertua ikut tinggal bersama di rumah tersebut”

Anggukan berikutnya pun ku berikan, ia menatapku dengan keseriusan, terlalu banyak yang ia rasa dan ingin dibagi, dan saat ini adalah waktu yang paling tepat baginya untuk berbagi pengalaman dengan ku, seorang mbak konselor.

“Saya punya tips untuk menyatukan anggota keluarga kecil saya mba. Saya buat jadwal jalan bareng, saya dengan istri, saya dengan Iola, saya dengan adiknya Iola, istri dengan Iola dan istri dengan adiknya Iola. Jadwal tersebut tidak bisa diganggu gugat dengan hal lain”

“Kalau lagi jalan bareng, biasanya ngapain aja pak?” tanyaku cepat.

“Nonton di bioskop, makan, belanja, ya pokoknya aktivitas bersama lah. Yang lebih penting lagi selama jalan itu, kami wajib bicara dari hati ke hati. Namanya manusia pasti ada dong unek-uneknya. Hal yang tidak disukai oleh anak-anak saya terhadap saya atau istri. Kami sebagai orang tua pu punya unek-unek yang harus disampaikan ke anak. Cuma bahasanya yang baik. Jangan membuat anak untuk takut curhat sama kita. Kalau bukan ke orang tua, kemana lagi anak akan cerita?”

Dua kalimat terakhir yang diucapkannya membuat mata ku berkaca-kaca. Memang idealnya orang tua menjadi tempat anak mencurahkan isi hatinya. Ku hela napas panjang guna menahan luncuran air mata yang hendak membasahi pipi. Ia terkesan dengan tingkahku, sambil tersenyum ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. Buku bersampul biru yang nampaknya belum pernah ku lihat di toko buku yang biasa ku kunjungi.

“Ini hadiah dari saya untuk disini. Mohon terima dan simpan ya mbak, kalau mbak mau baca, silakan saja”

“Terima kasih, Pak untuk bukunya dan terima kasih juga untuk cerita bapak barusan. Semoga saatnya nanti saya bisa jadi orang tua yang baik untuk buah hati saya”

“Kalau begitu saya permisi ya mbak, selamat beristirahat siang. Wassalamu’alaikum”

“Ya pak, terima kasih. Wa’alaikumsalam Warahmatulloh”

Dari cerita bapak tadi, terlintas teori pendidikan ayah dalam benak ini, beberapa kali ku baca namun pengaplikasian yang sesungguhnya baru saja ku dapatkan. Dalam teori itu terdapat enam belas peran ayah dalam mendidik anak. Yang sangat kentara dari perbincangan kami barusan adalah peranan seorang ayah sebagai teman curhat, memperkuat ikatan sebagai sebuah keluarga, memberi perrhatian, meningkatkan kecerdasan emosi anak, dan ayah sebagai pemimpin keluarga.

Ia menjalankan fungsi keayahannya sebagai pemimpin keluarga dengan membuat jadwal jalan bersama, ia atur sedemikan rupa agar dirinya, istri dan kedua anaknya bisa melakukan aktivitas bersama tanpa harus mengganggu jadwal yang lain. Dibuatnyalah peraturan bahwa ketika melakukan aktivias tersebut wajib bicara dari hati-hati, fungsi keayahan sebagai tempat curhat anak pun ia jalankan. Karena komunikasi yang intens dan melibatkan sisi emosional antara komunikan, fungsi keayahan sebagai peningkat kecerdasan emosi anak tanpa sadar telah ia lakukan juga. Anak-anak merasa dipahami dan diterima sebagaimana mestinya hingga timbul perasaan nyaman, fungsi keayahan sebagai pemberi perhatian dan penguat ikatan keluaga telah berhasil dilakukan.

Luar biasa, manusia memang tidak sempurna tapi sebagai makhluk yang Alloh ciptakan dengan akal dan hati. Perbaikan diri menuju ke tahap yang lebih baik harus terus dilakukan. Per individu melakukan perbaikan hingga terciptalah keluarga yang dimana tiap-tiap individunya mampu berkembang menjadi lebih baik. Hidup ini singkat dan sekali saja, ketika kita mengisinya dengan banyak kebaikan sesungguhnya kita tengah mempersiapkan bekal terbaik untuk di bawa ke tahapan setelah hidup. Semangat berbagi perbaikan dan kebaikan, para pembaca. Semoga Alloh ridho dengan apa yang kita lakukan

Jakarta, 4 April 2017 pkl 09.04 WIB

Sumber

www.dakwatuna.com

pengalamann pribadi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post