Sipnosis:

"kakaaaaaaa!", panggilnya terengah-engah.

Ku toleh dia dengan tersenyum sambil tetap merapikan kain-kain tenun di tanganku.

"kaka, beta mo carita! Dongku... Dongku...", ucapnya dengan gugup.

Seketika ku hentikan tanganku dan menatapnya dengan tajam, "kenapa Dongku, Ester?".

Diraihnya tanganku cepat-cepat dan menarikku kuat.

"cepat sudaah! Kaka, tolong Dongku!", teriaknya sambil menarikku berlari ke arah rumah Dongku.

Ku berlari sekuat tenaga dengan penuh khawatir hal yang paling kutakutkan selama ini akan terjadi pada Dongku. Dan benar saja sesampai di rumahnya, aku melihat teman kecilku naik dan turun gunung itu tersungkur lemas tak berdaya, dengan cepat ku rengkuh tubuh mungilnya yang lemah itu dan dia menatapku kosong dan berkata lirih "kaaa... kaaa... ".

Tiba-tiba "Gubraaakkk!", suara kursi kayu dibanting dan hancur.

"kau! Perempuan racun, pergiiiiiii!!! Kau meracuni Dongku dan anak-anak lain!!!! Enyaaaaahhhh!! Tak guna kau beri mereka kenal baca dan tulis. Sia-sia!!! Benalu!!! " teriak lelaki paruh baya itu dengan geramnya sambil mengarahkan sisa kayu kursi yang dibantingnya ke arahku.

Tangisku terhenti dan ku tatap lelaki itu dengan tajam. Tak lama mengucur darah segar di pelipisku.

Di menjelang petang itu, tragedi menyedihkan itu benar-benar terjadi di sudut dusun di kaki gunung Fatunus. Dingin dan mencekam. Bahkan alampun tak sesuara, hujan deras, angin kencang dan petir menyambar-nyambar. Di tengah gulitanya dusun , gadis berjilbab itu terhuyun-huyun tanpa alas kaki menggendong seorang anak laki-laki dipunggungnya dan menggandeng seorang anak perempuan lain.