marjan kadud

marjan Kadud, nama samaran penulis yang selama ini terbengkelai dan diabaikan tiap pembaca - Seniman multitalenta ini mempelajari _ lingkungan , sosial, b...

Selengkapnya
Navigasi Web
Belajar dari  Tjiu
Mr Chu

Belajar dari Tjiu

Dalam dokumen itu, Soedarpo juga bertemu Heynes pada 28 November 1967 antara pukul 15.00 hingga 15.55. Tertulis Soedarpo adalah Direktur Utama Soedarpo Corporation yang berkantor di Jalan Veteran I nomor 21-22, Jakarta. Soedarpo dikenal dengan usaha perkapalannya.

Rosihan Anwar, dalam biografi Soedarpo yang berjudul Bertumbuh Melawan Arus(2001), menyebut dia sebagai juga salah satu pendiri dan menjadi komisaris utama pertama dari Bank Niaga. Dalam dunia politik, Soedarpo dikenal sebagai orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang identik dengan Soetan Sjahrir. Sejak mahasiswa, Soedarpo memang sudah menjadi bagian dari lingkaran Sjahrir. Dari Bank Niaga, tak hanya Soedarpo yang bicara dengan Elliott. Idham, nama Direktur Bank Niaga, juga salah satu pendiri Niaga, pun berbicara dengan Elliot. Idham yang tinggal di Roa Malaka Utara nomor 21 itu bertemu Elliott pada 29 November pukul 08.00 hingga 08.45. Idham mengaku dia paham dunia perbankan Indonesia. Seperti Soedarpo dan Oei, Idham pun mengaku bersedia hadir dalam roundtable.Terkait diskusi soal investasi asing, Soedarpo mengajak Basyaruddin Rahman Motik, Nuh dan juga R.L. Tobing. Motik adalah pengusaha asal Sumatra Selatan dan ketua dari sebuah asosiasi pengimpor Indonesia, Gabungan Importir Indonesia (Gindo). Motik bertemu Heynes pada 27 November 1967 pukul 16.30 sampai 17.10. Kala itu Motik sedang di rumah sakit untuk operasi ringan. Pengusaha yang saat itu tinggal di Jalan Banyumas 2 ini, kepada Heynes, bercerita tentang perselisihannya dengan Harlan Bekti dan Kosasih. Baginya, Harlan Bekti cenderung dekat dengan komunis. Harlan Bekti adalah pimpinan PT Tehnik Umum. Menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984), perusahaan yang dipimpin jebolan ITB era kolonial ini adalah pelaksana proyek besar macam Hotel Indonesia dan Air Mancur Monas di Jakarta, dan Hotel Ambarrukmo di Yogyakarta. Dalam dokumen, Harlan Bekti tercatat tinggal di Jalan Wahid Hasjim 86, Jakarta. Bekti juga bertemu Heynes pada 5 Desember 1967 pukul 08.50 sampai 09.55. Dalam dokumen, Bekti tercatat sebagai Presiden dari perusahaan yang ia dirikan, Tehnik Umum. Kepada Heynes, Bekti mengaku punya kawan SD yang jadi penasehat politik Nasution. Kawan yang dimaksud tampaknya Oejeng Soewargana, yang juga menemui Elliott. Oejeng yang penerbit ini, pada 1950an, membantu Abdul Haris Nasution di partai politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Hal terpenting yang dilakukan Nasution pada 1967 adalah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang menolak pidato pertanggungjawaban Sukarno, Nawaksara.

Tobing, yang pernah jadi wakil presiden Asosiasi Importir Indonesia, juga bertemu Haynes pada 6 Desember 1967 antara pukul 15.50 hingga 16.40. Haynes mencatat, dia datang bersama dua asistennya. Tobing yang tinggal di Jalan Sam Ratulangi nomor 19 A ini dianggap sebagai nasionalis yang merasa Indonesia butuh perlindungan melawan kekuaatan modal asing. Bahasa Inggrisnya tak begitu baik. Tobing mengatakan dia bersedia datang ke roundtable juga. Orang-orang dunia usaha yang juga diundang dalam roundtable adalah Julius Tahija, Presiden Caltex Indonesia. Dalam dokumen disebutkan dia tinggal di Kebon Sirih 52. Julius bertemu Haynes pada 29 Desember 1967, dari pukul 10.05-10.50. Tahija yang pernah jadi pemilik Bank Niaga ini, menurut Rosihan Anwar, punya beberapa perusahaan. Julius juga berjanji akan datang dalam pertemuan. Menurut catatan Haynes, Tahija tidak cocok dengan pemikiran kelompok Motik. Di antara orang-orang dunia usaha yang hanya sebentar ditemui Haynes adalah Nahar Zahiruddin. Haynes bertemu Nazar pada 24 November 1967 antara pukul 09.00-09.05. Mereka bertemu di lobi hotel. Pertemuan sangat singkat itu terjadi sebelum Haynes bertemu Duta Besar Australia untuk Indonesia, Max Loveday. Tak banyak keterangan tentang Nazar selain dia punya keterkaitan dalam Pacific Indonesia Businessmen s Association (PIBA). Menurut Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009), Nahar Zahiruddin Tanjung pemimpin dari N.V. Morison—sebuah usaha dagang keluarga yang dirintis dari zaman perang. Usaha itu, menurut Robison, “Berkembang di tahun 1950an dengan fasilitas Program Benteng."( bersambung ....3 dalam pencicikan sejarah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post