jangan memandang sebelah mata sejarah
Jangan sembrono menilai sejarah
Nahar Zahiruddin belakangan menjadi mitra Australian Dairy Corporation dan ikut memproduksi susu dan es krim Indomilk. Pada 1970, dia sudah menjadi direktur P.T. Indomilk. Belakangan, dia juga menjadi mitra Liem Sioe Liong. Ayah Nahar, yang juga punya nama Zahiruddin, pun seorang pengusaha. Adiknya adalah politikus partai Golongan Karya (Golkar) yang legendaris, Akbar Tanjung
Tiga puluh sembilan dokumen kabel diplomatik dari Kedubes Amerika di Jakarta, yang dirilis kemarin oleh Arsip Keamanan Nasional dari George Washington University, menjelaskan pengetahuan para diplomat di Jakarta tentang Peristiwa 1965 dan setelahnya secara terperinci, dari hari ke hari. Arsip rahasia yang dibuka sesudah 52 tahun peristiwa "Gerakan 30 September" ini mengurai bagaimana Kedubes AS mengamati dengan detail kurun paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia tersebut. Ada beberapa poin dari kisah penghancuran gerakan kiri Indonesia tersebut: keterlibatan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal, konsolidasi kekuatan politik dan ekonomi untuk membentuk "Orde Baru", dan peran sejumlah nama—termasuk Soeharto yang menggantikan Sukarno—dalam suksesi pemerintahan pasca-G30S 1965. Norman Hannah, misalnya. Penasihat politik Panglima Komando Pasifik AS (CINCPAC) ini mengirim surat kepada Marshall Green, Dubes AS di Jakarta, soal bagaimana CINCPAC dan AS harus merespons “kemungkinan yang masuk akal bahwa Angkatan Darat Indonesia meminta bantuan kita melawan pemberontakan PKI” sebulan setelah Gerakan 30 September. Bantuan macam ini, katanya dengan nada spekulatif, “bisa saja apa pun, dari operasi rahasia hingga bantuan dalam banyak hal, termasuk transportasi, uang, peralatan komunikasi, atau persenjataan.” Seminggu kemudian, Green akan meminta pemerintahan Lyndon B. Johnson untuk “mengetahui kemungkinan bantuan jangka pendek yang sifatnya rahasia dan tak bisa dikenali”—sebuah isyarat dukungan AS terhadap Angkatan Darat. Dalam salah satu dokumen bertanggal 20 November 1965, dari ringkasan mingguan yang dihimpun oleh Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary Louise Trent, disebutkan "serangkaian pertemuan dengan para pemimpin mahasiswa, Jenderal AH Nasution—saat itu Menteri Pertahanan—mengungkapkan tekadnya untuk terus melancarkan kampanye merepresi PKI." "Represi terhadap simpatisan PKI ini sudah mencapai level pembunuhan massal di beberapa provinsi di Indonesia, yang rupanya berdasarkan perintah Jenderal Soeharto, setidaknya di Jawa Tengah," tulis Rent. "Baik di provinsi tersebut dan di Djakarta, represi atas PKI terus digencarkan." Karena saking banyaknya jumlah simpatisan komunis yang ditahan, ada masalah utama: kapan mereka diberi makan dan di mana rumah yang akan dijadikan sebagai tahanan. "Kejadian di provinsi-provinsi lain Indonesia berhasil mengatasi masalah tersebut dengan mengeksekusi mati para tahanan atau membunuh mereka sebelum ditangkap," tulis dokumen tersebut
Setidaknya nama Medan, Solo dan Kudus (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur), Makassar, Bali, dan NTT disebut sebagai situs pembunuhan massal, terutama setelah Resimen Para Komando AD hadir di daerah-daerah tersebut dan memobilisasi pembantaian. Pegawai konsulat AS di Surabaya melaporkan "kami terus menerima laporan orang-orang PKI dibantai di sejumlah daerah di Jawa Timur." Seorang misionaris yang kembali dari Kediri pada 21 November 1965 mendengar pembantaian besar-besaran di Tulungagung, yang dilaporkan sekitar "15.000 orang" terbunuh. Meski agak berlebihan, tulis dokumen ini, laporan konsulat itu menyatakan "pembantaian besar-besaran" memanglah terjadi. Belakangan, meski ada laporan pembantaian sudah berhenti di Jawa Timur, arsip lain bilang pembantaian terus berlangsung. Metode pembantaian juga diubah, dari dilempar ke sungai jadi dikubur di luar daerah atau desa. Kepala polisi daerah Jawa Timur bahkan mengatakan “sangat sulit menyetop pembunuhan”. Laporan lain, yang ditulis Direktur Intelijen Angkatan Udara Indonesia, memberi pandangan yang agak jarang terhadap laporan internal Angkatan Darat di balik gerakan 30 September. Laporan ini menerangkan kegiatan RPKAD di sekitar Surakarta, terutama di Solo, yang diperlakukan sebagai "zona perang" oleh Angkatan Darat karena tingginya popularitas PKI di sana.
Sebagian pasukan RPKAD yang sebelumnya dikerahkan untuk kampanye Konfrontasi dengan Malaysia lantas dipakai untuk membantu serangan meluas terhadap PKI. Dokumen lain pada 21 Desember 1965 menyebutkan, “sedikitnya 100.000 orang terbunuh, termasuk 10.000 orang di Bali, dalam kampanye anti-PKI yang digerakkan tentara.” “Pembunuhan di Bali dimulai pada awal Desember ketika RPKAD dan unit Brawijaya, yang dikomandani Sarwo Edhie Wibowo tiba. Pembunuhan terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian, menyebabkan sekitar 80.000 orang terbunuh.” Laporan pada 3 Agustus 1966 menyebutkan soal pembantaian di Nusa Tenggara Timur. "Pada Januari atau Februari, Detasemen Angkatan Darat datang ke Rote dan mengeksekusi pemimpin PKI setempat serta seorang kader partai dari Jakarta bernama Sukirno.” Cerita ini berdasarkan pengamatan antropolog AS, James Fox, dan istrinya yang menghubungi Kedutaan untuk mengisahkan peristiwa itu ketika mereka tinggal di sana selama kurun pembunuhan. “Tentara kembali pada pertengahan Maret dan mengeksekusi antara 40 dan 50 orang Rote serta 30 orang komunis lain dari Pulau Sawu [sebelah barat Pulau Rote],” ujar Fox. Ia meyakini antara 800-1.000 orang yang dituduh komunis telah dieksekusi oleh tentara di NTT.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terima kasih ilmunya