marjan kadud

marjan Kadud, nama samaran penulis yang selama ini terbengkelai dan diabaikan tiap pembaca - Seniman multitalenta ini mempelajari _ lingkungan , sosial, b...

Selengkapnya
Navigasi Web
kebijakan pendidikan indonesia masa menteri daud  jusuf
mer kasdud

kebijakan pendidikan indonesia masa menteri daud jusuf

DAOED JOESOEF DAN SINDROM MASYARAKAT NON-ANALITIS Sejak dulu banyak orang yang bertanya kenapa saya mengapresiasi demikian mendalam Daoed Joesoef dan pemikirannya, yang dalam ingatan kolektif kebanyakan kita dianggap sebagai tokoh kontroversial. Saya sebenarnya punya jawaban panjang atas pertanyaan tersebut. Namun kalau mau dijawab ringkas, maka ringkasnya kira-kira adalah seperti ini. Daoed, bagi saya, adalah contoh menarik dari betapa penalaran kolektif kita seringkali diwarnai oleh kesulitan memisahkan mutiara dari pasirnya, atau memisahkan pohon dari hutannya. Di mata kebanyakan kita, semua yang berlumur pasir selalu dianggap sebagai kotoran, sama seperti halnya setiap pohon pastilah dianggap sama dengan watak rimbanya. Penalaran semacam itu tentu saja bermasalah. Dan adanya penalaran semacam itu juga yang dulu pernah merisaukan Daoed saat ia menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia, misalnya, dulu sering berpidato bahwa mahasiswa mestinya menjadi "man of analysis" dan bukan "man of public meeting". Sebab, hanya seorang analitis sajalah memang yang akan bisa memisahkan mutiara dari pasirnya, serta bisa mengenali karakter setiap pohon satu per satu, tak disamaratakan sebagaimana rimbanya yang menakutkan. Kebanyakan kita masih mengidentikan Daoed Joesoef dengan NKK/BKK dalam pengertian dan penilaian yang minor. Masalahnya, kita luput membedakan antara NKK/BKK yang "digagas" oleh Daoed dengan NKK/BKK yang kemudian "dibajak" dan "dipraktikkan" oleh rezim. Hal itu memang harus dibedakan. Sebab, seandainya NKK/BKK yang dipraktikkan rejim adalah sama dengan yang digagas Daoed, maka Daoed tentunya adalah menteri pendidikan yang "sukses besar" (dari perspektif rezim yang berkuasa) sehingga mustahil dia kehilangan jabatan periode keduanya. Tapi nyatanya itu tidak terjadi. Daoed hanya duduk satu periode di kabinet dan kemudian diganti oleh Nugroho Notosusanto. Sejumlah kebijakan strategisnya kemudian juga dibubarkan oleh penggantinya itu. Fakta ini seharusnya menjadi bahan problematisasi untuk mempertanyakan kembali mitos negatif yang melekat pada sosok Daoed. Daoed naik menjadi menteri pendidikan memang persis ketika rezim militer Orde Baru baru saja memukul gerakan mahasiswa 1978 di Bandung, setelah sebelumnya rezim yang sama menghadapi Malari 1974 dengan tindakan represif. Rezim, melalui Kopkamtib, kemudian membungkam gerakan mahasiswa. Tapi, jika kita periksa kronologinya, sterilisasi kampus dari gerakan politik sudah dimulai pasca-Malari dan semakin intensif menjelang Pemilu 1977 serta sebelum Sidang Umum MPR 1978, jadi jauh sebelum Daoed masuk kabinet. Untuk mengamankan kekuasaan, rezim memang sangat berkepentingan untuk memberangus gerakan politik di kampus. Sesudah berhasil menundukkan partai-partai melalui kawin paksa pada 1973, kampus memang tinggal menjadi satu-satunya cagar alam kebebasan berpendapat. Malari 1974 dan Gerakan Mahasiswa 1978 adalah buktinya. Tapi, jika kita baca tulisan-tulisan Daoed, "menundukkan" politik kampus atau gerakan politik mahasiswa bukanlah merupakan concern-nya. Perhatian Daoed adalah pada bagaimana menumbuhkan dan menjaga kultur akademis di kampus-kampus. Memang, salah satu kritik mendasar Daoed Joesoef terhadap dunia universiter pada 1970-an adalah terkait relasi mereka dengan politik praktis. Pada titik ini, Daoed mencoba membedakan antara politik sebagai konsep dengan politik sebagai kekuasaan—dalam pengertian sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah dan partai politik di parlemen. Sivitas akademik boleh menggunakan kampus sebagai alat untuk berpolitik dalam pengertian konsep. Namun, jika ingin berpolitik praktis, maka mereka tidak boleh lagi menggunakan kampus dan jubah akademisnya, melainkan harus dilakukan dalam kapasitasnya sebagai warga negara melalui kendaraan politik yang ada di luar kampus. Jadi, jika kita membaca dengan seksama gagasan Daoed mengenai "normalisasi kampus", Daoed sebenarnya tidak pernah melarang sivitas akademik, terutama waktu itu mahasiswa, untuk berpolitik praktis. Hanya saja, ketika mereka mulai berpolitik praktis, maka mahasiswa harus menanggalkan identitas kemahasiswaannya dengan, misalnya, menggunakan identitasnya sebagai anggota organisasi massa, keagamaan, atau organisasi sosial politik lainnya. Dan aktivitas politik itu harus dilakukan di luar kampus. Tapi kita tahu gagasan Daoed itu banyak disalahpahami. Cara rezim memberangus gerakan mahasiswa kemudian dijadikan referensi untuk menilai gagasan Daoed. Dalam banyak titik, tentu ada persinggungan antara keduanya, namun menganggap bahwa apa yang dipraktikkan rezim merupakan narasi pokok dari gagasan tersebut jelas mengandung kekeliruan yang serius. Hingga hari ini banyak orang mengecam NKK/BKK karena apa yang dipraktikkan oleh rezim selama periode Daoed menjadi menteri, seolah itulah apa yang dikonsepkan oleh Daoed, tanpa menyimak bagaimana sesungguhnya NKK/BKK yang dikonsep oleh Daoed sendiri. Sebagai sebuah gagasan, NKK/BKK sebenarnya telah dipikirkan Daoed sejak dirinya masih kuliah di Perancis. Dia sudah menyadari bahwa dunia di masa depan akan sangat ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan Indonesia, menurutnya, akan menghadapi persoalan besar karena kultur yang berkembang dalam dunia universiter kita bukanlah kultur akademik yang bersifat meritokratif, tapi kultur politik yang sangat diwarnai oleh agregasi ideologi dan afiliasi politik praktis. Itulah hal yang telah menggelisahkannya. NKK/BKK sendiri sebenarnya dirancang dalam tiga tahap. Sesudah "normalisasi kehidupan kampus", yang menyasar mahasiswa, sasaran berikutnya adalah dosen. Di tahap kedua ini, perbaikan mutu staf pengajar akan diperbaiki dengan menyekolahkan dosen-dosen ke jenjang pendidikan pascasarjana secara massif. Jadi, Daoed sudah lama memikirkan hal tersebut, jauh sebelum UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa kualifikasi dosen harus berpendidikan minimal S2. Dan tidak banyak yang mengetahui bahwa tahap akhir dari NKK/BKK yang dikonsepkan Daoed sebenarnya adalah otonomi kampus. Dalam pandangan Daoed, otonomi kampus tidak mungkin bisa diselenggarakan jika sivitas akademik dalam dunia universiter tak bisa membedakan antara “academic freedom” dengan “freedom of speech”. Itu sebabnya, pada zamannya, perpustakaan-perpustakaan sekolah digalakan, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) diminta menyelanggarakan pameran-pameran buku secara rutin di ibukota-ibukota provinsi, dan dia memulai sebuah proyek pengkajian filsafat Nusantara dalam bentuk studi Javanologi, Sundanologi, Batakologi, dan filsafat-filsafat etnik lainnya. Sebagai pemikir kebudayaan, Daoed sejak lama berpandangan bahwa 'Polemik Kebudayaan" mestinya segera diganti dengan "penelitian kebudayaan", dan gagasan itu diinstitusikannya dengan pilot-project berupa Lembaga Javanologi, yang digagas bersama Soeroso Prawirohardjo, mantan Rektor UGM yang berhasil mendirikan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan dan Pusat Studi Kependudukan yang sangat legendaris pada zamannya itu. Lembaga itu hanyalah awalan, karena kebetulan kajian kebudayaan Jawa telah jauh berkembang dibanding kajian kebudayaan lainnya. Setelah Javanologi, kemudian akan didirikan lembaga sejenis lainnya, terutama dari kebudayaan-kebudayaan besar, seperti Sunda, Bugis, Batak, Minang, Dayak dan lainnya. Saya yakin Menteri Nugroho tidak pernah membaca hasil kajian lembaga Javanologi, sehingga lembaga dan proyek besar itu kemudian dibubarkan karena menurutnya akan mengancam keutuhan dan kesatuan Indonesia, sebuah argumen yang bahkan ketika pertama kali dikemukakan pada awal 1980-an sudah terasa menggelikan. Arsip-arsip lembaga Javanologi, yang kini masih tersisa di sebuah perpustakaan kecil di dekat Purawisata, Yogyakarta, menjadi tanda bukti ikhtiar intelektual yang pernah dirintis pada zamannya. Tak banyak juga yang mengetahui bahwa Daoed menjadi menteri pendidikan atas dorongan dua tokoh terkemuka, yaitu Hatta, yang merupakan idolanya sejak muda, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebelum ditanting oleh Soeharto, yang menanting Daoed pertama kali mengenai soal pendidikan adalah Hatta. Penantingan yang ganjil, menurut Daoed, karena dirinya adalah doktor ekonomi, dan Si Bung yang menantingnya juga adalah sarjana ekonomi juga. Saya paham kenapa Daoed Joesoef sangat dimusuhi oleh para “aktivis”, karena dialah mungkin satu-satunya menteri pendidikan dan kebudayaan yang jengah dengan mitos gerakan mahasiswa di Indonesia. Memang, hanya di Indonesia, "aktivis" bisa jadi identitas, dan bahkan mungkin profesi. Ia juga adalah semacam gelar kehormatan, yang sekali terpacak maka akan berlaku seumur hidup. Itu sebabnya Sjahrir suatu kali pernah meledek Hariman Siregar, "elu dari dulu jualannya Malari mulu, Run!" Ya, setelah empat puluh tahun berlalu, hingga hari ini kita masih saja menyebut Hariman sebagai "aktivis Malari". Tentu saja Hariman mungkin tak menginginkannya demikian. Namun, label itu masih saja melekat pada dirinya. Diterimanya "aktivis" sebagai identitas, gelar, dan bahkan profesi, saya kira merupakan bentukan sejarah. Meskipun, perlu diberi catatan tambahan: sejarah yang menikung. Pangkal mulanya saya kira berawal dari angka “1928” dan “1945”. Dua tonggak dalam perjalanan sejarah bangsa kita itu telah melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai “Angkatan 1928” dan “Angkatan 1945”. Angkatan 1928 merujuk kepada generasi yang terlibat dan jadi pelopor terjadinya peristiwa yang jauh belakangan kemudian disebut sebagai “Sumpah Pemuda”. Adapun Angkatan 1945 merujuk kepada anak-anak muda yang menjadi aktor dari sebuah gerakan yang kemudian melahirkan Proklamasi. Dua tonggak itu ternyata cukup hebat, sehingga kemudian melahirkan mitos tentang gerakan pemuda sebagai kekuatan pendobrak. Oleh karenanya, ketika Soekarno berhasil dijungkalkan dari kekuasaannya, segera saja generasi yang terlibat dalam proses “pendobrakan” itu kemudian dicatat sebagai “Angkatan ‘66”. Apalagi sejak H.B. Jassin juga mengukuhkan label Angkatan '45 dan '66 sebagai identitas dalam hikayat kesusastraan di tanah air. Sejak itulah, saya kira, mitos itu jadi semakin kukuh. Apalagi sejak generasi pendobrak kekuasaan Soekarno itu membentuk paguyuban, bikin yayasan, perkumpulan usaha, dan berbagai organisasi lainnya pada awal dekade 1970-an. Sejak itu pula mitos gerakan pemuda menyempit menjadi gerakan mahasiswa. Dan Angkatan ’66 bukanlah angkatan terakhir, karena kemudian lahir yang disebut “Angkatan 1974” dan “Angkatan 1978”. Barangkali, sejak masa-masa itu pula kata “aktivis (mahasiswa)” juga memulai riwayatnya sebagai mitos. Daoed tentu saja tidak anti-aktivisme, karena sejak masih pelajar dia adalah aktivis Republikein. Yang tidak dia sukai adalah ketika mahasiswa hanya menerjemahkan “aktivisme” sebagai menjadi “man of public meeting” dan bukan “man of analysis”. Mereka memitoskan dirinya sebagai pendobrak, namun tidak memiliki konsep ketika apa yang didobraknya itu telah tumbang. Artinya, ada sebuah proses yang salah, atau tidak lengkap, yang oleh karenanya harus diperbaiki, dalam pembentukan imajinasi mengenai aktivisme dalam dunia universiter. Dan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kegelisahan itu diutarakan Daoed dengan gagasan NKK/BKK. Sayangnya, hingga hari ini kita membaca NKK/BKK hanya dengan satu kacamata: kacamata aktivis pelawan rezim. Di kalangan aktivis tahun 1980-an, sering disebut bahwa munculnya kelompok-kelompok diskusi di kampus pada tahun 1980-an adalah bentuk penyiasatan (by product) terhadap NKK/BKK, sesudah gerakan mahasiswa diberangus. Ironisnya, jika kita membaca gagasan Daoed, munculnya kelompok-kelompok diskusi itu sebenarnya justru merupakan kehendak (by design) dari kebijakan NKK/BKK. Persis di sini kita melihat bahwa gagasan Daoed memang banyak disalahpahami. Kasus sebagaimana yang terjadi pada Daoed dan pemikirannya adalah contoh betapa ingatan kolektif kita seringkali diwarnai oleh kesulitan memisahkan mutiara dari pasirnya. Semua yang berlumur pasir akan dianggap sama dengan pasir, padahal mestinya tidak demikian. Itulah sindrom dari masyarakat non-analitis. Dalam masyarakat non-analitis, mutiara diandaikan berasal dari gunung mutiara, dan bijih emas berasal dari bongkahan emas pula. Dan sindrom semacam itu telah meluputkan kita dari banyak mutiara terpendam dan bijih emas yang tersembunyi. Daoed, menurut saya, adalah salah satunya. Ia adalah pohon yang khas baik di tengah belantara Orde Baru maupun di tengah hutan alumni Fakultas Ekonomi UI yang sangat didominasi oleh pemikiran Mafia Berkeley. Sejauh yang bisa saya catat, Daoed Joesoef adalah satu-satunya menteri pada jamannya, dan mungkin juga hingga kini, yang menuliskan sendiri pidato-pidatonya. Dia tidak mau menggunakan 'ghost writer'. Meski berasal dari FE-UI, dalam sidang-sidang kabinet, dia adalah pengkritik paling awal tim ekonomi pemerintah, yang digawangi Mafia Berkeley, yang membuatnya tak pernah disukai oleh Soeharto. Ada satu janjinya yang hingga kini coba saya samai, namun tak pernah konsisten saya jalani: janji membaca buku seribu halaman per minggu.

Kelompok bangsa yang paling sanggup menyelaraskan kontradiksi hidup, salah satunya adalah, bangsa Jawa. Perhatikan betapa bervariasinya ketersediaan kosa kata atau ungkapan yang dapat dipakai untuk keperluan itu. Sesulit dan seberat apapun kondisi hidup yang mendera orang Jawa, mereka terbiasa meredakannya dengan cukup berucap: "mbuh" atau "yo weslah" atau "ditompo wae" atau "sak mlakune sak tuthuke". Strategi beradaptasi itu terus berkembang hingga selalu menemukan cara ungkap yang juga selalu adaptif. Satu contoh yang menurut saya sangat orisinal yang kemudian menjadi properti tuturan kolektif masyarakat jawa di jaman now adalah: "Yen kuat dilakoni yen ora kuat ditinggal ngopi.":DDk Orang jawa itu menantang hidup melalui kepasifan penerimaannya. Untuk itu tak perlu heran jika orang jawa sanggup memaklumi kelaliman penguasanya dengan tawa, dan jika sudah gak kuat, mereka akan memilih membabat sesamanya, dan sang penguasa jawa selalu memilih diam saja.

Di film Sang Pencerah, ada satu adegan kiai Dahlan keluar rumah dg melangkahkan kaki kanannya dulu. Kiai di film itu rupanya tdk cukup mengenal ajaran agama, tdk tau dia bahwa Islam mengajarkan keluar rumah langkahkan kaki yg kiri dulu, barulah masuk rumah pake kaki yg kanan. Kelihatannya soal sepele, tapi kiai sekaliber Dahlan, sesembrono

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Assalamualaikum. Tulisan yang bernas. salam kenal Pak Marwan....

06 Jun
Balas



search

New Post