Marlis Fatma

Guru SMAN 1 Rao, Kab. Pasaman. Prov. Sumatera Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ayah, Engkaulah Matahariku

AYAH, ENGKAULAH MATAHARIKU

Kamis 10 Agustus 2006 jam 3.40 dini hari, tiba-tiba duniaku terasa gelap, sukmaku melayang, badanku gemetar, lemah tak berdaya. Goncangan maha dahsyat menghantam jiwaku. Matahariku telah pergi menghadap Sang Pencipta. Meninggalkan aku dengan isak tangis disampingnya yang terdiam kaku. Satu persatu alat yang terpasang dibadannya dilepas tim medis.

Ayah, dialah matahariku, penyemangat hidupku, lelaki hebat yang pernah kumiliki. Darinya aku belajar tentang jalan hidup yang tak semulus jalan tol. Butuh ketelitian, ketekunan dan kesabaran untuk mencapai tujuan. Ayah tidak pernah mengeluh lelah atas pekerjaannya, semua dilakukan dengan ikhlas, sabar dan semangat. Masuk kerja pagi pulang sore, masuk sore pulang malam atau masuk malam pulang pagi secara bergantian. Sebagai pegawai PT.Telkom jam kerja Ayah berbeda dengan instansi lain.

Ayah, adalah lelaki berhati lembut. Dia tak pernah marah, berkata kasar atau pun bersuara keras. Perasaannya sangat peka dan halus. Suatu ketika, Ayah pulang kerja dan melihat aku sedang tidur sore, waktu yang tidak lazim aku tidur. Ayah langsung menanyakan kepada Ibu, apakah aku sakit atau ada masalah sehingga tidur sore hari. Ibu menjawab bahwa aku sedang lelah sehingga tertidur. Terkadang aku merasa kekuatiran Ayah berlebihan, tapi bagi Ayah itu adalah hal yang wajar sebagai wujud kasih sayang dan perhatiannya.

17 Maret 2006, hari yang sangat bersejarah dalam hidupku, hari yang mengawali aku jadi guru. Pengumuman tes lulus CPNS adalah berita yang sangat membahagiakan bagiku dan keluarga. Wajah Ayah dan Ibu berbinar-binar saking bahagianya. Terbayar rasanya lelah mereka menyekolahkanku sampai jadi sarjana. Bukan materi yang mereka bayangkan tapi status sebagai abdi negara yang melekat itulah yang membahagiakan.

Sebelum menjadi guru aku mencoba berwirausaha yaitu dengan menjual kue kering dan kue basah serta menjahit pakaian. Ayah tak pernah melarang, bagi Ayah apapun pekerjaan selagi halal dan baik boleh dikerjakan. Berpantang bagi Ayah mendapatkan pekerjaan dengan cara yang tidak baik. Dari pada menempuh cara sogok-menyogok lebih baik tidak jadi pegawai, sebab serupiahpun yang kita nikmati tetap haram, itu prinsip Ayah yang tidak bisa ditentang.

Tatkala SK CPNS sudah dalam genggamanku, kebahagiaan Ayah menjadi nyata. Dipandangnya selembar kertas itu dengan senyum terindah diwajahnya. Saat itu aku berjanji, bahwa nanti setelah aku gajian, aku yang akan memenuhi kebutuhan Ayah dan Ibu, jadi uang pensiun Ayah bisa digunakan untuk keperluan lainnya. Padahal Ayah tidak pernah menuntut apapun padaku, kebahagiaanku adalah kebahagiaannya.

2 Agustus 2006, pertama kali aku memakai pakaian warna coklat khaki, pakaian seragam yang menjadi identitas dan kebanggaanku. Dengan mengenakan pakaian tersebut aku berangkat kerja sebagai guru di SMAN 1 Rao. Rao merupakan daerah asing bagiku, aku belum pernah ke sana karena itu Ayah ingin menemaniku sambil mencari rumah kos yang cocok untukku. Jarak Rao dengan rumahku lebih kurang 56 km, jadi tidak mungkin bolak balik setiap hari.

Namun aku menolak, aku ingin mencari rumah kos dengan teman-temanku. Aku tidak ingin merepotkan Ayah, karena waktu itu Ayah mulai sakit-sakitan. Bagiku sudah cukup Ayah melepas keberangkatanku setelah shubuh dan menunggu aku pulang sekolah sore hari di teras rumah. Jika aku terlambat sampai di rumah, maka Ayah akan resah, bertubi-tubi pertanyaan akan dilontarkannya. Sedangkan Ibu selalu siap melepas dan menantiku dengan hidangan di meja makan.

Ternyata keinginan Ayah mencarikan rumah kos untukku adalah keinginan terakhirnya. Beberapa hari kemudian Ayah jatuh sakit dan tidak sadar sampai ajal menjemputnya. Tidak ada pesan dan kata perpisahan, hanya penyelasanku yang tersisa. Ayah telah berpulang menghadap Allah SWT sebelum sempat menikmati gaji pertamaku sebagai CPNS, tidak melihat berapa jumlah rupiah yang kubawa pulang, tidak merasakan hasil perjuangannya membesarkanku.

Ayah pergi dengan tenang, seulas senyum menghias bibirnya. Semoga itu adalah pertanda bahwa Ayah telah menemukan kebahagiaan yang hakiki. Selamat jalan matahariku, semoga semangatmu tetap mengiringi perjalanan hidupku.

Kisah ini ditulis oleh Marlis Fatma, S. Sos., M.M seorang guru sosiologi di SMAN 3 Sumatera Barat, dia lahir di Lubuk Sikaping tanggal 3 Mei 1977. Untuk menghubunginya bisa melalui email [email protected] dan no WA 085364284354.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post