Marni Hartati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

"GURU HOAX"

Berdasarkan data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara jasa internet Indonesia (APJI) di tahun 2016, pengguna internet di Indonesia telah mencapai lebih dari 55% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang artinya sekitar 132,2 juta penduduk merupakan pengakses internet aktif. Data tersebut kemudian dilengkapi dengan keterangan bahwa kurang lebih 65% pengguna yaitu sekitar 86.3 juta jiwa adalah penduduk Indonesia yang berdomisili di Pulau Jawa dengan pembagian prosentase berdasarkan gender adalah 52.5% laki-laki dan sisanya 47,5 % berjenis kelamin perempuan.

Dari besarnya jumlah tersebut, 54% adalah pengguna Facebook, sementara 5.54% merupakan pengguna twitter dan sisanya adalah pengguna jenis media sosial lainnya seperti Whatsap, Line, WeChat, Google+, dan lain sebagainya

Data terbaru ditahun 2017, didapatkan angka bahwa Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia dengan 111 juta pengguna Facebook setelah Amerika Serikat, India dan Brazil. Sebuah angka yang fantastis jika kemudian membahas bahwa penggunaan media sosial khususnya Facebook berperan penting bukan saja sebagai sarana bersosialisasi namun kini kian bergeser sebagai sarana pertukaran informasi dan cerita terbaru yang dilain sisi juga memiliki peluang sangat rawan dengan penyebaran hoax.

Hoax atau berita palsu pada dasarnya diciptakan untuk menipu banyak orang dengan cara merekayasa berita sehingga nampak seperti kebenaran. Tujuan pembuatan maupun penyebaran berita hoax sendiri bisa sangat beragam. Mayoritas, hoax diciptakan dengan motif ekonomi dimana pembuat hoax sengaja mendesain berita yang mengundang rasa penasaran atau simpati demi mengundang “klik” pembaca sehingga situs berita tersebut dibanjiri dengan iklan. Yang umum terjadi biasanya adalah dengan mendesain berita atau gambar yang mengundang “like” pembaca sehingga pada jumlah tertentu kemudian situs tersebut dapat dijual dengan imbalan yang menggiurkan.

Motif yang kedua adalah motif ideologi dimana pembuat hoax dengan sengaja memberikan berita yang cenderung mendoktrin ideologi atau kepercayaan tertentu kepada pembacanya. Jenis hoax ini akan sangat mudah didapati di musim pilkada dimana penyebarannya bahkan telah ditengarai sengaja di mobilisasi oleh oknum tertentu demi meraih dukungan suara.

Motif yang ketiga adalah motif kesenangan pribadi dimana pembuat atau penyebar hoax dengan sengaja atau bahkan tidak menciptakan hoax demi mengejar efek “gaduh” masyarakat sebagai respon atas berita yang disampaikan yang pada ujungnya memberikan efek kepuasan dan kesenangan pribadi semata.

Interaksi guru dan siswa pada masa sebelum media sosial masih dianggap sebagai dua hal yang terpisah dengan adanya batasan perbedaan ruang dan waktu. Namun, seiring dengan makin aktifnya kedua belah pihak di media sosial nampaknya pergeseran ini harus bisa diterima dimana guru dan siswa tanpa batasan apapun saling terkoneksi dan saling pengaruh mempengaruhi yang pada ujungnya terjadi proses mendidik secara langsung maupun tidak.

Aktifitas guru termasuk dengan apa yang diunggah guru lewat media sosial adalah salah satu indikasi yang berkaitan apakah seorang guru literat atau tidak terhadap suatu berita apalagi terhadap hoax. Masih banyak ditengarai, sejumlah guru yang tanpa sadar berperan sebagai “guru hoax” dimana hanya dengan membaca suatu judul beritanya saja tanpa mencerna isinya dan melakukan verifikasi kebenaran suatu berita, tanpa berfikir untung rugi dan dampak jangka panjang terhadap diri dan siswanya mereka dengan mudahnya meng”klik” situs berita, memberikan like dan bahkan komentar yang kurang mencerminkan layaknya seorang pendidik, bahkan kemudian yang sangat disesalkan adalah kemudian menyebarkan kembali berita hoax tersebut.

Guru memiliki pengaruh penting dalam pendidikan di era milenial saat sekarang apalagi jika dikaitkan dengan maraknya penggunaan media digital dan kontennya dalam dunia pendidikan. Mengedukasi guru tentang hoax, motif, bahaya dan cara menangkalnya adalah hal yang patut dipertimbangkan oleh guru yang bersangkutan dan pemerintah. Mendidik guru akan memberikan efek jangka panjang dalam mengedukasi siswa untuk tidak dengan mudah menjadi korban hoax, penyebar atau pembuat hoax. Jika kemudian guru sendiri adalah “guru hoax” maka apa yang bisa kita harapkan dari siswa dan pendidikan di Indonesia mengingat sekarang kedua belah pihak telah saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi aktif 24 jam lewat media sosial.

Marni Hartati

Peserta "2017 Summer Institute for News Literacy Fellows in Asia" Ho Chi Minh City Vietnam

kerjasama Vietnam National University, Hongkong University dan Stony Brook University, USA.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Amin, semoga bu Tanty mari kita mengedukasi siswa juga.

01 Oct
Balas

Hatur nuhun bu Desi.

01 Oct
Balas

Iya benar! Jangan pernah jadi guru Hoax! Judulnya unik dan isinya juga menarik! Keren Bu Marni!

01 Oct
Balas

Semoga kita tidak termasuk ya...

01 Oct
Balas

Bermanfaat jd bahan perenungan. Tulisan yang mengangkat tema kekinian.

02 Oct
Balas

seringkali kita terjebak menyebarkan hoax di grup WA

01 Oct
Balas



search

New Post