Anakku, Biar kering darahku dalam tiap sujud malam Biar rapuh tulang-tulang ini, keropos dimakan waktu dan derita Namun tiada satu pun yang sanggup menghentikan langkahku Untuk menjaga jiwamu, mendidik akalmu, dan menyayangi setiap hela napasmu

Anakku, Biar hancur jasad ini oleh getirnya dunia Namun demi satu senyummu— Takkan kubiarkan tangan siapa pun menyentuhmu dalam luka Takkan kuizinkan dunia menorehkan duka Tanpa aku, ibumu, berdiri paling depan menghadang segalanya

Wahai darah dan nafas dari ragaku, Meski aku bukan jelmaan dewi atau sosok sakti mandraguna Aku ibu, Yang hatinya tak pernah padam bahkan saat langit runtuh sekalipun Yang jiwanya bangkit tiap kali mendengar suaramu bergetar dalam ketakutan

Jangan takut, nak... Meski dunia sekelam malam tanpa rembulan, Akan kupeluk kau dengan cahaya dari hatiku Kau takkan pernah berjalan dalam gamang Takkan pernah mengarungi hidup dengan langkah goyah dan jiwa yang beku

Karena aku ada Sebagai pelita saat kabut menelan arahmu Sebagai atap saat langit runtuh menimpamu Sebagai bumi, tempatmu berpijak meski semua pergi meninggalkanmu

Anakku, Aku lahir kembali dalam tatapanmu Aku hidup setiap kali kau memanggil “Ibu” Dan di sanalah seluruh kekuatanku bersumber Tak dari otot, tak dari baja— Tapi dari cinta, yang tak pernah mengenal batas Tak mengenal lelah, tak mengenal akhir

Maka berjalanlah, Dengan kepala tegak dan hati penuh harap Karena kau tak sendiri Ada aku—ibu—yang akan selalu menjadi rumahmu Di dunia yang terkadang tak tahu cara mencintaimu