Marti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SEKOLAH BUKAN PENJARA

SEKOLAH BUKAN PENJARA

Sekolah adalah lembaga tempat melaksanakan kegiatan belajar mengajar, atau tempat peserta didik menerima pembelajaran dari guru. Sekolah juga merupakan rumah kedua bagi peserta didik, dimana mereka lebih banyak menghabiskan waktu efektifnya di tempat ini. Selain sebagai tempat untuk mencari ilmu, sekolah juga menjadi tempat untuk bersosialisasi bagi peserta didik. Baik itu bersosialisasi dengan teman sebaya, kakak kelasnya, adik kelasnya, juga dengan gurunya. Oleh karena itu perkembangan karakter peserta didik juga terjadi di sekolah.

Kondisi sekolah yang nyaman akan membentuk karakter yang positif bagi peserta didik, demikian pula sebaliknya. Peserta didik yang merasa tidak nyaman di sekolah akan tertekan dan menganggap sekolah itu sebagai penjara baginya. Ketika yang tercipta kondisi semacam ini, maka mustahil tujuan pendidikan bisa terwujud.

Beberapa kondisi sekolah yang dirasa seperti penjara bagi peserta didik, adalah adanya tuntutan kurikulum yang berat. Muatan kurikulum yang tersistem begitu sarat, menyebabkan peserta didik merasa berat mengikuti pembelajaran. Hal ini diperparah dengan target nilai yang tinggi dari orang tua. Peserta didik akan menjelma menjadi robot penghafal materi tanpa pengelolaan mental dan karakter yang manusiawi. Mereka tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengembangkan bakat dan minatnya, karena sebagian besar waktu mereka tersita untuk mencapai target kurikulum.

Selain itu, situasi pembelajaran yang membosankan juga menciptakan penjara akademis bagi peserta didik. Seperti yang terjadi di dalam penjara, keadaan begitu monoton dan membosankan. Penghuni penjara tidak mempunyai kebebasan untuk berekspresi dan beraktualisasi. Rutinitas yang sama dilakukan berulang-ulang setiap harinya. Sekolah dengan situasi seperti ini, biasanya disebabkan oleh cara guru dalam mengajar. Guru yang mengajar dengan metode konservatif akan membuat peserta didik jenuh dan tidak nyaman mengikuti pembelajaran. Dan tentu saja transformasi ilmu kepada peserta didik tidak bisa dilakukan secara optimal.

Di dalam penjara, seringkali terjadi aksi pembulian oleh sesama penghuninya. Demikian juga dengan yang terjadi di sekolah. Pembulian di sekolah bisa dilakukan oleh sesama teman, bahkan juga dilakukan oleh guru terhadap murid. Jika peserta didik sering mengalami pembulian, hal ini akan mengganggu perkembangan mentalnya. Anak tersebut akan merasakan seperti di penjara, tidak kerasan di sekolah karena tertindas oleh situasi sosial di sekolahnya. Dampak yang lebih parah jika seorang anak dibuli secara terus-menerus, dia akan memiliki sifat rendah diri dan menyimpan dendam kepada teman-teman yang membulinya.

Ketika peserta didik merasakan ketidaknyamanan di lingkungan sekolah, mereka akan cenderung melakukan pelanggaran terhadap tata tertib. Kondisi mental yang tertekan akan memunculkan sikap perlawanan pada sistem yang ada. Maka sering kita jumpai adanya peserta didik yang membolos sekolah, pamitnya pergi ke sekolah ternyata tidak sampai sekolah. Mereka memilih mencari pelarian ke tempat-tempat yang membuat mereka nyaman bersama teman-temannya. Mereka akan memilih menghabiskan waktu bersama komunitasnya yang bisa menerima mereka dengan baik, tanpa bullying, tanpa tekanan dan tanpa tugas-tugas yang memeras otak.

Menyadari fenomena seperti, sudah seharusnya para pemangku kebijakan di sekolah mengambil langkah antisipatif agar peserta didik nyaman dan kerasan di sekolah. Sekolah perlu melakukan evaluasi terhadap muatan kurikulum. Jika tuntutan kurikulum terasa memberatkan peserta didik, perlu diadakan penyikapan-penyikapan, agar beban belajar peserta didik lebih proporsional. Selanjutnya perlu diadakan upgrade kompetensi guru, agar guru dapat menerapkan metode pembelajaran yang variatif dan up to date. Sehinggga peserta didik kerasan, nyaman dan menikmati pembelajaran di sekolah. Kemudian pemantauan interaksi sosial di sekolah perlu dilakukan untuk mencegah tindakan bullying oleh sesama peserta didik. Hal ini membutuhkan kerjasama antara guru BK dan wali kelas, karena mereka yang lebih memahami keadaan psikologis peserta didik. Penerapan gerakan sekolah ramah anak, juga perlu dilaksanakan untuk mengantisipasi tindakan bullying oleh guru terhadap peserta didik.

Tegalgede, 16 Mei 2023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

aamiin ...maturnuwun...

06:15
Balas

Semoga lolos jd pemenang lomba mantap

05:44
Balas



search

New Post