Toleransi dalam Pendidikan Agama (tantangan menulis gurusiana hari ke-11)
Seakan publik terhenyak dengan peristiwa di Tanjungbalai, Sumatera Utara pada tahun 2016 lalu. Beberapa Klenteng dan Vihara dibakar massa. Polisi telah mengamankan sedikitnya tujuh remaja yang terlibat kerusuhan. kerusuhan dipicu oleh salah paham beberapa individu bertetangga.
Kejadian serupa juga dialami warga muslim di Tolikara yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan Koramil I1702-11/Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada tahun 2015. Saat takbir pertama, kelompok massa Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) langsung menyerang umat Islam. Sesaat setelah itu, sekelompok masyarakat melakukan pelemparan ke arah Mushala Baitul Muttaqin dan membakar beberapa kios disekitarnya. Ironisnya hanya karena alasan pengeras suara pada kegiatan shalat yang dianggap mengganggu ketenangan. Mereka dengan begitu mudah tersulut emosi untuk melakukan penyerangan, pembakaran dan perilaku intoleransi.
Kejadian ini menorehkan luka bangsa Indonesia yang sedang beranjak menuju negara demokratis. Sikap intoleransi sejatinya bukan watak bangsa Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap keragaman diatur dalam UUD 1945 yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Memeluk agama bukan hanya sekadar proses kognitif manusia. Beragama merupakan penerapan ajaran agama dan proses mengintegrasikan ajaran agama dalam hati dan pikiran.
Menurut Axtell dalam tulisan yang berjudul The Psichology of wordviews menyatakan bahwa kunci utama perdamaian adalah toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam tulisan yang berjudul The heart, Mind and spirit, Prof Mohamed Omar Salem menjelaskan hasil penelitian Lacey dan Lacey (1978). Hati mampu berkomunikasi dengan otak sehingga dapat mempengaruhi seseorang berpersepsi dan bereaksi terhadap dunia sekitarnya. Jadi, hati merupakan kompenen yan penting dalam pemahaman agama. Seseorang tidak hanya memahami agama secara logika, namun agama tersebut mampu membuat perasaan menjadi lembut dan penuh ketaatan.
Pendidikan agama semestinya menjadi alat strategis untuk mengajarkan toleransi pada peserta didik. Banyak cara memahamkan agama agar peserta didik memiliki kemampuan menejemen diri menjadi pribadi yang toleran namun memiliki keyakinan kuat pada agama yang dianutnya.
Pertama, Menyajikan konten pendidikan agama dengan memberikan keteladanan Lingkungan sekolah dibentuk menjadi lingkungan yang ramah dan agamis. Integrasi antara teori dan praktik keagamaan harus benar-benar terlihat secara langsung oleh peserta didik.
Kedua, Pesan-pesan agama dikemas secara tepat sesuai realitas. Realitas kemajemukan dalam beragama harus ditampilkan secara positif.
Ketiga, meyakinkan peserta didik bahwa misi pendidikan agama adalah untuk keselamatan dan kesejahteraan seluruh makhluk Tuhan. Kesejahteraan dan keselamatan yang dimaksud harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Keempat, sikap empati dan simpati harus ditanamkan kepada peserta didik melalui pendidikan agama. Kebutuhan akan empati dan simpati terhadap orang lain sangat perlu ditumbuhkan sejak dini dari lingkungan pendidikan/sekolah.
Dasar-dasar tentang toleransi semestinya menjadi acuan dalam dunia pendidikan untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar