Maryam

Maryam, guru SDN 215 inpres Taipa Jika kau bukan anak raja dan anak ulama besar maka menulislah ( Imam Al Gazali )...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menikahi Om-Om bagian 9 ( Papa Sakit )

Menikahi Om-Om bagian 9 ( Papa Sakit )

Papa mertua melarikan papaku ke rumah sakit. Kulihat kepanikan di wajahnya, sungguh persahabatan mereka begitu eratnya. Beliau memperlakukan papaku layaknya saudara sendiri, padahal papaku hanya tukang kebun di rumahnya.

Aku hanya bisa menangis menyaksikan papa yang terbaring lemah, kubaringkan kepalanya di atas pahaku, kuusap keringat yang membasahi dahinya “Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa pada satu-satunya milikku saat ini ya Allah” ratapku.

“Telpon Raka nak” ucap papa mertuaku dengan bibir bergetar.

“Baik pa” jawabku singkat, aku segera menghubungi Raka, namun tak ada jawaban dari sana. Pasti ia tak mau mengangkat telepon dariku.

“Nggak diangkat pa” ucapku lirih.

“Pasti sedang sibuk, ini kan hari pertamanya masuk kerja setelah cuti” ucap papa terlihat sangat khawatir. Aku mengangguk meskipun aku tidak yakin akan jawaban itu.

“Aku wa saja yah pa” jawabku langsung mengetik pesan di aplikasi hijau itu. Papa mengangguk menyetujui, pandangannya lurus kedepan berkonsentrasi menyetir. Kemampuan menyetirnya lumayan, meskipun usianya sudah cukup tua.

Sampai di rumah sakit, papa langsung di bawa ke IGD. Perasaanku tidak enak. Rasa perih kehilangan ibuku yang juga di rawat di rumah sakit ini kembali menyayat hatiku. Aku hanya bisa menangis menunggu kabar dari dalam ruangan sempit itu. Papa mertuaku berusaha menenangkan aku, dadaku terasa sesak. Aku sangat takut kehilangan papaku “Tuhan, jangan ambil papaku, belum setahun aku kehilangan ibuku, lukaku masih basah dan perih, kumohon tangguhkanlah Ya Allah” doaku dalam hati.

Kulirik kembali ponselku, kutelusuri chat yang kukirim pada si manusia salju, ternyata masih belum centang biru padahal kulihat ia sedang online “Ah...Tuhaaan! manusia seperti apa yang kau kirimkan padaku untuk jadi imamku?” jerit hatiku.

Air mataku luruh membasahi pipiku. Rasa pedih yang kurasakan kian bertambah atas sikapnya padaku. Seharusnya ia sekarang ada di sini menghiburku dan memberiku semangat agar aku tak serapuh sekarang “ngarep kamu Win” aku mengetuk jidatku protes terhadap pikiranku sendiri.

“Raka belum bisa dihubungi yah nak?” tanya papa mertuaku dengan tatapan sayu, kujawab dengan gelengan lemah. Aku tak mau berharap lagi padanya, karena pastinya hanya kecewa yang kudapatkan.

Papa mertuaku meminta ponselku dan berkali-kali mencoba menelpon anak satu-satunya itu, namun tak ada jawaban dari ujung telepon. Aku melihat kemarahan di matanya, tapi aku hanya bisa terdiam tak tahu harus berkata apa.

“Win, kamu tahu no telepon kantornya?” tanyanya lagi , namun jawabanku tetap sama, hanya menggeleng. Bagaiamana mungkin aku tahu nomer kantornya, bicara dengannya saja aku jarang. “buat apa kepo cari tahu nomer kantornya segala” gumamku dalam hati.

“Aduh Raka! kemana anak itu?” sahut papa dengan nada kesal, ia kembali duduk mencoba mengatur nafasnya yang kian memburu karena emosi campur khawatir.

“Papa tenang yah, pasti sebentar lagi kak Raka ke sini” ucapku mencoba menenangkannya. Walaupun aku sendiri tidak yakin kalau Raka akan membaca chatku. Aku hanya tidak ingin keadaan bertambah buruk kalau sampai darah tinggi lelaki yang kusebut papa itu kumat gara-gara stres.

Kuatur deru nafasku yang semakin sesak. Bilur-bilur luka yang ia torehkan semakin perih. Aku tak berharap banyak darinya, hanya saja aku merasa sangat cemas akan keadaan papa sehingga aku berharap ia datang.

Jam di ponselku menunjukkan pukul limabelas, artinya sudah hampir tiga jam aku dan papa mertuaku menunggu di sini namun belum ada kabar dari dalam. Aku semakin gelisah namun tak kutampakkan, karena kulihat papa mertua juga sangat gelisah. Bahkan ia tak menyadari jika hanya memakai kaos pendek berkerah dan celana pendek ke rumah sakit ini.

Mataku tertuju pada sosok yang baru keluar dari ruang IGD. Seorang dokter wanita yang cantik dengan balutan hijab biru langit. Ia tersenyum ke arah kami, kulihat papa langsung menghampirinya “Bagiamana keadaan pasien dok? Tidak terjadi apa-apa kan?” tanyanya mendahuluiku.

“Alhamdulillah pak, kondisi tuan Rahman sudah membaik, tekanan darahnya sudah stabil setelah tadi sempat melonjak, kami harap tidak ada kalian bisa bantu kami menjaga kestabilan emosinya, karena sepertinya penyebabnya karena tekanan dan stress” ucap cantik berlesung pipi itu lembut.

Aku menarik nafas lega mendengar penjelasan dokter itu, namun aku tidak mengerti apa yang menyebabkan papaku tertekan dan stres. Aku telah memenuhi keinginannya “Apa lagi?” bisikku dalam hati.

Aku dan papa menemuinya setelah di pindahkan ke ruang perawatan. Papa memilihkan kamar VIP untuk papaku. Ruangan yang bahkan lebih luas dari rumahku. Ruangan dengan kamar mandi dan meja makan di dalamnya bahkan dilengkapi dengan AC dan TV LCD menggantung di dinding kamar.

Ponselku bergetar, nama Raka tampil di layar ponselku. Aku menyerahkan ponsel itu pada papa mertuaku. Tak sanggup rasanya aku berbicara dengannya. Kuperhatikan papa mertuaku berbicara dengan nada kesal padanya. Aku sengaja menjauh dari sana. Kudekati papaku yang masih terbaring lemah, bahkan ia belum membuka matanya.

Sekitar sejam lamanya si manusia salju akhirnya datang dengan muka tegangnya, ia menghampiriku yang berada di samping papa. Kilirik matanya, terpencar tatapan kecemasan akan keadaan papa, baru kali ini aku melihatnya sebagai manusia yang punya hati.

Kuperhatikan ia menggenggam tangan papa seolah menguatkannya. kusadari ada hubungan istimewa antara mereka berdua, atau mungkin karena sejak ia kecil papaku bekerja di rumahnya sehingga ia begitu dekat secara emosinal pada papaku.

“Papa pulang saja, biar aku yang jaga pa” ucapnya menatap papanya bersungguh-sungguh.

“Tapi, kamu baru pulang kerja nak, apa tidak lelah?” jawab papa mertuaku.

“Tidak apa-apa pa, aku masih kuat kok” ia tersenyum meyakinkan papanya. Sikap manisnya kali ini benar-benar membuatku bingung. Padahal tadi aku sudah siap untuk mengusirnya, tapi melihatnya bersungguh-sungguh mau mejaga papa, aku mengurungkan niatku.

Aku mejauh dari papa, kubiarkan ia duduk di sisi papaku, karena sejak tadi aku menunggunya menjauh dari situ tapi tidak juga ada tanda-tanda bahwa ia akan beringsut dari sana.

Dokter cantik yang mengabarkan keadaan papa tadi, terlihat masuk dalam ruangan kami. Ia terlihat bicara dengan papaku dengan wajah serius. Aku menajamkan pendengaranku untuk mencuri dengar dari mereka.

“kami belum bisa mengambil kesimpulan tentang penayakit yang di derita tuan Rahman, namun dari tanda-tanda yang ada, sepertinya ada masalah pada ginjalnya, kita tunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut. Insyaa Allah besok kita sudah bisa melihat hasilnya” ucap dokter itu lembut. Papa yang duduk di kursi dekat pintu kamar bersiap untuk pulang. Ada kecemasan yang sangat besar tergambar di wajahnya.

Dadaku kembali bergemuruh, mendengar percakapan mereka dan juga reaksi papa mertuaku itu. Kembali air mataku luruh, sekuat tenaga aku menahannya.

Raka mendekatiku, aku mendongakkan kepalaku melihat wajahnya “Sabar yah, Insyaa Allah papa baik-baik saja” ucapnya lirih. “Apakah aku tidak sedang bermimpi mendengarnya berkata lembut seperti itu?” selorohku dalam hati. Aku menganngguk menimpali perkataannnya. Sejenak aku ingin berdamai degannya.

Papa mertuaku akhirnya pulang. Aku dan Raka menginap menjaga papa. Aku berdoa semoga untuk beberapa waktu kami tak bertengkar dulu. Melihat kondisi papa yang lemah membuatku ikut tak bertenaga.

“sudah makan?” tanya manusia salju itu ringkas. Aku menggeleng, baru sadar sejak siang tadi, belum ada sebutir nasipun masuk dalam perutku.

“Aku beli makanan dulu, kamu jaga papa yah” ucapnya sambil melangkah keluar meninggalkanku yang terbengong atas sikapnya yang berubah seratus delapan puluh derajat.

Tak lama berselang ia datang menenteng kresek berisi sate kesukaanku. Baunya begitu menggoda, perutku semakin meronta-ronta membaui rasa makanan kesukaanku itu.

Tanpa kuperintahkan ia mengambil piring dan menghidangkan makanan itu di hadapanku “Makanlah pasti cacing di perutmu itu sudah menggeliat lapar” ucapnya sambil tersenyum tanpa rasa bersalah. Aku tak menjawabnya, langsung kusambar piring berisi sate dan lontong yang berada dihadapanku itu, aku tidak mau jika ia menyaksikan ilerku terbit gara-gara aroma sate yang begitu menggoda perut laparku.

Raka tetap di samping papa semalaman. Sementara aku tidur di sofa panjang yang tersedia di kamar perawatan itu. Aku sengaja tidak tidur di kasur yang ia siapkan untukku. Meskipun ia bersikap baik padaku malam ini, tetap saja aku tak percaya padanya. Takut ia macam-macam padaku “ ihhh, nggak deh” bisikku merasa geli.

Keesokan harinya, hasil pemeriksaan papa akhirnya keluar. Papa divonis menderita gagal ginjal. Lututku lemas mendengar penuturan dokter yang menerangkan penyakit papa dengan bahasa yang rumit. Hanya itu yang dapat aku tangkap dari penjelasannya, papa harus melakukan serangkaian perawatan intesnsif termasuk cuci darah.

Aku terduduk lemas memegangi dadaku yang kian sesak. Tak mampu membayangkan bagaimana penderitaan papa menjalani serangkaian pengobatan itu, dan yang lebih membuatku bingung adalah darimana aku memperoleh biaya pengobatan papa? Bahkan jika aku menjual rumahku sekalipun tak akan cukup untuk menutupinya.

Pikiranku kacau, hanya air mata yang terus berderai membasahi wajahku yang kusut. Apalagi sejak kemarin aku tidak mandi dan ganti baju.

Kuedarkan pandanganku di sekeliling ruang perawatan. Kulihat Raka duduk di samping papa, sesekali menyeka keringat di dahi papaku. Aku merasa heran atas sikapnya “ kok jadi baik gitu yah? Dasar manusia berkepribadian ganda!” ocehku dalam hati.

Lirikan matanya tertuju padaku, mungkin risih karena aku memandanginya sejak tadi “kenapa? Jangan menatapku, nanti jatuh cinta!” sahutnya bergaya seperti bocah ABG yang sedang cari perhatian. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain, kesal dengan perkataannya. Entah kenapa aku tak punya semangat menanggapi segala ocehannya yang tak penting.

Papa mulai siuman, jari-jarinya bergerak perlahan, aku merapatkan tubuhku di sisi ranjang perawatan, tak peduli ada manusia salju di sampingku.

“Alhamdulillah pa, akhirnya papa sadar” ucapku mencoba mengajaknya berkomunikasi. Perlahan papa membuka matanya, ada senyum yang terlukis di sudut bibirnya menatapku bergantian dengan Raka.

“Nak Raka, titip Winda yah, jaga dia dengan baik, dia masih kecil dan polos, papa percaya padamu” ucap papa pelan membuat hatiku teriris sakit mendengarnya.ia berbicara seolah akan meninggalkan aku.

Tangisku pecah memeluk tubuhnya yang dipenuhi oleh peralatan medis yang menempel di hampir tiap bagian dadanya. Bibirku bergetar tak mampu mengucapkan sepatah katapun pada orang yang sangat aku cintai itu.

“Papa tenang saja, papa akan baik-baik saja, Winda juga akan baik-baik saja bersamaku” ucap Raka sambil tersenyum mengusap punggungku. “uh, kesambet malaikat mana dia? Bisa juga dia menghibur? Yang kutahu dia Cuma bisa merendahkanku” gerutuku dalam hati.

Kembali hatiku perih melihat kondisi papa yang semakin lemah. Menurut dokter yang kudengar menemui Raka tadi, Papa harus segera melakukan cuci darah secepatnya, karena kalau tidak maka akibatnya bisa fatal bagi keselamatan nyawanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut Bunda.

04 Feb
Balas

Siap bunda

04 Feb

Lanjut bu...

02 Feb
Balas

Siap bunda

02 Feb

Semakin seru bun... lanjut

04 Feb
Balas

Siap

04 Feb



search

New Post