Maryam

Maryam, guru SDN 215 inpres Taipa Jika kau bukan anak raja dan anak ulama besar maka menulislah ( Imam Al Gazali )...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menikahi Om-Om bagian 7 ( Aku memukulnya )

Menikahi Om-Om bagian 7 ( Aku memukulnya )

 Tak perduli  beberapa kali ia memanggilku dengan kesal, aku bergeming dibalik selimut tebal berwarna putih miliknya. Akhirnya ia menyerah, kudengar suara pintu terbuka dan dihempas dengan keras. Hatiku kembali berdenyut sakit, tapi kucoba berdamai dengan perasaanku. Aku ingin benar-benar tidur, karena hanya dengan tertidurlah hatiku bisa sedikit melupakan kesedihan yang ia berikan. Sungguh aku tak menginginkan ini terjadi padaku. Sungguh ini jauh dari bayanganku. Sampai saat ini aku tak ingin menyesalinya. Tapi hati kecilku belum mampu mencerna maksud dari papa menikahkan aku di usia belia seperti saat ini.

Aku punya banyak impian sebelumnya. Ingin kuliah, ingin bekerja dan membahagiakan papaku yang telah membesarkan aku dengan penuh perjuangan. Aku ingin ibuku tersenyum bangga padaku di alam sana. Belum satupun dari impianku terwujud aku harus mewujudkan impian papaku yang jauh dari bayanganku.

Air mataku kembali menetes “Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk menjalani ini, kuyakin takdirMu tak pernah salah, takdirMu selalu baik. Hanya saja aku yang harus lebih bijak dan berfikir positif atas apa yang telah Engkau tetapkan” ratapku dalam hati.

Mataku enggan terpejam, padahal tadi aku sangat lelah. Kembali kudengar pintu terbuka. Suara langkah kakinya semakin mendekat “ hei bocah, di panggil papa tuh” ucapnya dengan ketus.

“Ada apa sih dengannya, apa dia berkepribadian ganda? beberapa menit lalu sehabis sholat ia bicara dengan lembut, Kemudian bersikap kasar lagi !” aku menggerutu tapi tak juga keluar dari balik selimutku.

“Aku dengar woy” sahutnya menyibak selimut. Aku terkejut atas perlakuannya. Ia salah tingkah karena kutatap tajam “Dasar cengeng” ucapnya lirih, mungkin karena melihat mataku sembab menangis sejak tadi.

Aku tak menanggapi perkataannya, malas bertengkar terus dengan manusia salju itu. Aku melangkah keluar kamar sambil menghentak-hentakkan kakiku “woy pelan-pelan jalannya, bumi runtuh woy!” sahutnya tanpa merasa bersalah telah membuat putri cantik ini menangis “hiks”.

“Ada apa pa?” ucapku menyapa papa mertua yang duduk di ruang keluarga, ia terlihat kurang bersemangat.

“Raka mana?” tanyanya sambil melambaikan tangannya menyuruhku duduk di dekatnya.

“Masih di kamar pa” jawabku ringkas mencoba menunjukkan wajah seceria mungkin di depannya.

”Win, kamu kenapa, matamu memerah?” papa menatapku penuh selidik.

“Oh, tidak apa-apa pa, baru bangun tidur tadi” jawabku berbohong.

“Win, papa minta maaf yah, kalau Raka membuatmu sedih, papa tahu, tidak mudah bagi kamu menghadapi dia, tapi papa yakin kamu mampu” lelaki tua itu menggenggam tanganku, matanya berkaca menundukkan kepala.

“Papa kok bicara begitu, Winda tidak apa-apa kok pa, lagi pula papa tidak salah apa-apa” ucapku mengelus punggung tangannya yang mulai keriput.

“Pa, boleh nggak Winda bertanya sesuatu sama papa?” tanyaku ragu. Rasanya  tak sabar lagi  ingin tahu alasan ke dua orang tua kami begitu ngebetnya menikahkan kami walaupun tak ada diantara kami yang setuju atas pernikahan ini.

“Apa itu nak?” jawab pria yang baru sehari jadi mertuaku itu mengerutkan dahinya.

“Begini pa. Aku kan masih muda, belum kuliah, belum bekerja, bahkan aku baru saja menyelesaikan Aliyahku, tapi kenapa tiba-tiba aku dijodohkan dengan kak Raka? Aku ingin tahu alasannya pa?” terangku berusaha sehati-hati  mungkin agar papa mertuaku itu tidak tersinggung.

“Jadi Winda menyesal dengan pernikahan ini?” tanyanya mengelus kepalaku lembut.

“Bukan menyesal pa, tapi Winda berhak tahu kan alasannya?” tanyaku dengan mata berkaca, meskipun sejak tadi aku berusaha menahan air mataku degan menundukkan pandanganku, tidak mau jika papa sampai melihat wajah sedihku.

“Win, apapun yang kami putuskan kali ini, itu semata-mata untuk kebaikanmu, Winda harus percaya itu” ucapnya kembali mengelus kepalaku yang tertutup hijab itu lembut. “Papa belum bisa menjelasakannnya sekarang, tapi suatu hari pasti kamu akan tahu” ucapnya pelan. Aku menangkap lukisan kesedihan di wajah tua itu. Sebuah rahasia tersimpan di sudut matanya.

“Tapi bukan karena hutang kan pa?” sahutku spontan, membuat papa mertuaku yang sedang melow langsung membeliakkan matanya.

“ Kata siapa?” tanyanya, matanya melotot heran.

“Papa” ucapku singkat, aku tidak mengerti kenapa ia kelihatan bingung.

“Astaghfirullah, papamu itu ada – ada saja. Justeru aku yang berhutang banyak padanya” aku semakin tak mengerti kenapa ia berkata seperti itu.

“Maksud papa?” kucoba mnyelidiki maksudnya.

“Yah, papa punya utang banyaklah sama papamu, karena ia memberikan menantu semanis winda” ucapnya mengebit hidungku. Wajahku memerah karena malu diperlakukan manis seperti itu “Andaikan saja kata itu terucap dari mulut si pria salju, tentu aku akan mempertimbangkan untuk menyukainya, astagfirullah..astagfirullah” aku marah pada pikiranku sendiri.

Aku kembali ke kamar dengan rasa penasaran yang semakin menjadi. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dariku tentang alasan dari pernikahan kami. Si pria salju itu menatapku dengan tatapan curiga “Bilang apa sama papa?” tanyanya tiba-tiba memegang lenganku “Mengadu lagi sama papaku?” tanyanya lagi mengeratkan cegkramannya.

Kutatap wajahnya dalam. Pria dingin dengan wajah putih bersih dan terlihat sangat polos itu kenapa begitu mengesalkan “lepaskan kak” sahutku jengkel, karena kurasakan cengkraman tangannya membuatku sakit.

“Tidak, bilang dulu apa yang kamu bilang ke papa?” sahutnya membentakku. Aku benar-benar tak tahan lagi, kuhentakkan tanganku kuat agar lepas darinya, tubuhnya yang jangkung dan sedikit kurus itu terdorong ke belakang. Ternyata ia begitu lemah, jauh berbeda dengan sikapnya yang dingin dan kasar.

“Kakak ini apa-apaan sih, ini sudah dua kali kak Raka menyakitiku!” sahutku sambil mengelus lenganku yang perih. Ia terlihat terkejut melihatku meneriakinya dengan emosi.

“Aku tidak mengadu apa-apa! aku hanya ingin tahu, kenapa kita harus menikah?! Kenapa aku harus ada di situasi seperti ini!? aku ingin tahu kak!” teriakku penuh emosi. Ia terdiam kaku menyaksikan air mataku mulai jatuh.

“Apa kak Raka pikir ini kemauanku? Apa kakak pikir aku gila mau menikah dengan pria kasar sepertimu?” sambungku masih menangis. Aku terduduk ke lantai yang beralas bludru di kamar itu. Baru kemarin aku menikah degannya sudah banyak air mata yang tumpah, bagaimana aku bisa bertahan di waktu-waktu berikutnya. Ia masih berdiri di depanku, aku tak tahu apa yang ia pikirkan melihat sikapku.

“Ini juga bukan kemauanku Win, aku juga tidak mau pernikahan ini terjadi” ucapnya tiba-tiba. Kata yang sudah dua kali ia ucapkan padaku. Hatiku semakin terluka mendengarnya.

Aku berdiri ke arahnya, sebuah pukulan mendarat di perutnya “Dasar pengecut, laki-laki tidak punya prinsip, seharusnya katakan ini pada papa, jangan padaku”  ucapku seraya meninggalkannya mengerang kesakitan. Aku benar-benar emosi. Aku masuk kamar mandi untuk cuci muka, mendinginkan kepalaku yang panas hingga ubun-ubun. “Rasain, emang hanya dia yang bisa bertindak semena-mena padaku, belum tahu dia kalau aku pernah juara karate tingkat Aliyah di kota ini” ocehku sambil terus menyiran air ke wajahku yang masih terasa panas.

Saat keluar kamar mandi aku terkejut bukan main, tubuhnya tergeletak di lantai tak bergerak sama sekali. Aku segera mendekatinya tapi tiba-tiba aku teringat kejadian saat dia mengerjaiku di taman, jadi tak segera menolongnya. “Hei, mau kerjain aku lagi nih ceritanya” ucapku mencoba memastikan keadaannya. Tak ada jawaban, tapi aku terlanjur tak percaya jadi kuputuskan untuk mengabaikannya. Aku melaksanakan sholat ashar karena tadi sudah wudhu di kamar mandi sebelum keluar.

Usai sholat, aku mulai panik, tubuhnya masih di posisi seperti tadi, tak berubah sama sekali. Kudekati tubuhnya yang terlihat lemas, karena ia menghadap samping aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

“Kak Raka, kak!” aku mengguncang-guncang pundaknya, berusaha membalikkan tubuhnya agar terlentang. Kusaksikan wajah pucatnya bersimbah keringat, aku panik “kak! kak Raka!” sahutku menyentuh keningnya yang basah oleh keringat. Aku gemetar melihat ia tidak sadarkan diri “Ya Allah apa yang telah kulakukan? Kak Rakaaa! Ya Allah!” ku coba mengangkat tubuhnya yang lemah dengan susah payah kupindahkan ke kasur dan berlari keluar memberitahu papanya.

“Apa yang terjadi Win?” tanya papa panik saat melihat Raka terbaring pingsan di atas ranjang.

“Maafin winda pa, maaf! Ini semua karena Winda, ini salahku pa!” ucapku terbata sambil menangis tersedu memeluk papa mertuaku yang kebingungan.

“Maksud kamu apa Win” tanyanya tak mengerti.

“Aku memukulnya pa, dia..dia...nyakitin Winda, jadi aku balas, ternyata dia pingsan pa” ucapku tersedu memohon maaf pada pria itu. Papa menarik nafas berat kemudian menghembusaknnya pelan.

“Sudahlah nak, papa telepon dokter dulu” ucap papa mertuaku sambil melangkah keluar. Ada kekhawatiran yang tergambar di wajahnya, aku jadi merasa sangat bersalah padanya.

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya Bun

30 Jan
Balas

Makasih bun

30 Jan

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

30 Jan
Balas

Maksih pak..salam literasi

30 Jan

Ceritanya bikin penasaran, ditunggu lanjutannya.

30 Jan
Balas

Siip

30 Jan

penasaran bun,... lanjutannya....gimana..?

30 Jan
Balas

Di tunggu yah Bun..maksih telah berkunjung

30 Jan

Winda yang lucu Keren, kamuut bund

31 Jan
Balas

Maksih bunda...siip

31 Jan

Keren...ditunggu lanjtannya bu. Sukses selalu

30 Jan
Balas

Maksih bunda, sukses selalu bunda

30 Jan

Waduh gawat nih....Lanjut bu

30 Jan
Balas

Siap..maksih bunda

30 Jan

Keren cerpennya, salam kenal...

31 Jan
Balas

Salam kenal pak..makasih

31 Jan

Mantap ceritanya. Bikin penasaran. Salam sukses

30 Jan
Balas

Makasih bunda..salam sukses

30 Jan

Lanjut

30 Jan
Balas

Siip

30 Jan

Keren...bikin penasaran aja bun ada apa dengan raka

30 Jan
Balas

Ditunggu lanjutannya yah Bun.. makasih

30 Jan



search

New Post