Suatu hari ketika malam beranjak larut, seorang anak balita tampak berjalan. Langkahnya tegas tiada pertanda akan surut. Sampai di tikungan menuju musala ia menengok, tidak untuk menuju ke sana. Ia lanjutkan langkah kecilnya menuju gang sempit yang samar tertutup kabut. Tak peduli sapaan orang yang berpapasan dengannya. Langkahnya kini terarah ke suatu sudut, gelap dan samar suara binatang malam tidak membuatnya takut

Si kecil balita itu memunguti potongan jemari tangan, pangkal kaki, bahkan kepala sebatas leher. Ia bopong potongan-potongan itu tanpa ekspresi: datar saja. Langkah mungilnya tampak semakin mencepat. "Bagasaasss....!" Suara teriakan dari ujung gang seperti menghentak kesadaran balita yang ternyata adalah Si Bagas. Tidak berlari, tapi langkah Bagas seperti berlari. Ekspresi datarnya spontan sirna berganti takut dan kikuk. Di ujung jalan dia tidak membelok ke arah dia datang, tapi menuju arah berlawanan, menjauhi sumber teriakan tadi.

Potongan-potongan organ tubuh masih dalam bopongan Bagas. Langkah kakinya kian melemah. Di jalan gelap berbatu, dia jatuh terduduk. Kaki kecilnya terluka, darah berceceran. Darah dari potongan-potongan tubuh yang dibopongnya? Bukan! Bagas berusaha bangkit dengan segenap kekuatan yang tersisa. Kedua tangannya masih erat mendekap tak hendak melepaskannya meski tenaganya tinggal sejengkal. "Bagaassss......!' teriakan itu kembali terdengar, sayup-sayup nun jauh di belakang Bagas.**