Lebih tiga pekan berlalu. Sakit yang kujalani tak kunjung sampai di titik henti. Berbagai upaya penghentian kulakukan. Banyak nasihat dan saran kulaksanakan. Tapi, sakit ini seolah mengalami rem blong. Tak bisa berhenti atau dihentikan. “Sepertinya ada saudara lain yang numpang singgah di badanmu!” Seru praktisi pijat yang sengaja kupanggil untuk memaksa hentikan sakitku dan sepertinya beliau ini paham hal klenik dan gaib. “Sudah kuusir,” katanya kemudian.

Sedikit melemah nyeri pinggang dan kaki ketika masih dikendalikan oleh praktisi pijat ini. Namun, ia kembali mendera dan menderu sesaat setelah sang tabib pergi. Aneh memang. Rasa ngilu di pinggang dan nyeri di kaki terasa makin menggila ketika asyik diperbincangkan baik dengan istri maupun tetangga yang peduli. Seolah biasa saja, sehat, ketika dipakai berkendara jauh, berpuluh kilometer pula. Ini sakit memang bukan sembarang sakit, kata mertuaku suatu hari.

Dalam hati bimbang juga aku. Masak iya sih, sakitku ini karena kealpaan kepada orang lain? Meski logika milenialku belum bisa menerima informasi klenik, aku tetap harus menghargai saran yang jelas bermaksud baik kepadaku. Kuikuti saja sekali lagi, namun kali ini aku yang mendatangi praktisi pijat nun jauh di sana. Tidak ada perubahan, masih ngilu dan nyeri. Tidak putus harapan, bahkan janganlah. Aku terus berupaya untuk sembuh seperti sedia kala. Aku masih bernafsu memerangi istriku dan melihat sukses anakku. Kali ini aku mengikuti saran untuk fisioterapi. Hingga, bila sehat nanti, kepadanya aku bersumpah bahwa aku tidak ingin sakit lagi!**