Setelah 10 tahun pernikahan, ini pertama kalinya menginjakkan kaki di nagari eksotis, bukittinggi. Sebenarnya kota ini bukan sesuatu yang asing, karena memang selama menempuh kuliah selalu bolak balik melewati kota wisata ini. Tapi, momen untuk kilas balik dan mengulang memori butuh waktu 1 dekade.

Menelusuri tempat demi tempat sambil mengulang kembali cerita-cerita di baliknya tak terasa membuat aku dan suami larut dalam diskusi seru, hingga membuat terlena, dan 3 krucil kami asyik sendiri dengan aktifitasnya. Perjalanan dari jam gadang, kemudian menelusuri monumen proklamator Bung Hatta, hingga tiba di Lubang Jepang dan Ngarai Sianok.

Ngarai yang sangat indah, seperti lukisan alam. Bukit-bukit berbatu yang mempunyai relief yang indah seakan menyatu dengan langit biru dan hijaunya hutan lindung disekitarnya. Sejauh mata memandang disuguhi dengan perpaduan warna alam yang apik, hijau, biru, dan putih. Ditambah dengan segarnya udara pegunungan membawa raga ini berdecak kagum. Kalimat-kalimat thoyibah terlalu terucap lirih.

Disisi jalan tampak kerumunan pengunjung yang ingin masuk ke dalam goa, namanya Lubang Jepang. Gua dengan kedalaman ratusan meter dan sangat curam merupakan peninggalan penjajah Jepang kala itu. Sisi historisnya sangat terasa ketika menfengar penjelas tour guide tentang sejarah goa tersebut.

Beranjak kembali, langit semakin sore, kabut tipis mulai menyelimuti indahnya bukit hijau disekitarnya. Udara pun semakin dingin. Seduhan teh hangat menghatarkan memoar cinta aktivis antara aku dan suami. Cerita terus mengalir, menghiasi romantisnya sore itu diiringi musik saluang yang terdengar dari pengeras suara.