Mayang Sari

Lahir di Padang tahun 1982, dan menghabiskan masa kecil di kota Medan. Pendidikan terakhir penulis adalah strata 1 jurusan pendidikan Matematika di Universitas ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lebih enak mana, belajar di rumah atau di sekolah ?

Lebih enak mana, belajar di rumah atau di sekolah ?

La taghdob walakal Jannah. Jangan marah, bagimu surga.

Saya mengawali tulisan ini dengan kata-kata diatas, agar tidak ada rasa kesal dan marah jika pada akhirnya kita akan berbeda pendapat.

Kali ini saya mencoba memaparkan opini tentang hal yang saat ini telah menimbulkan dua pendapat berbeda dari orang tua atau wali murid.

Kita tahu, ditengah pandemi ini, semua kegiatan yang berjalan semestinya telah terhenti sementara sampai waktu yang masih belum dapat dipastikan.Prediksi-prediksi bermunculan silih berganti. Bahkan pun prediksi berakhirnya pandemi ini masih simpang siur tidak ada yang benar-benar dapat dipercaya.

Beberapa daerah masih PSBB. Namun kegiatan perekonomian tetap berjalan. Sehingga perkembangan dari pandemi ini benar-benar masih kabur. Apakah sudah mulai membaik, ataukah masih darurat. Wallahu ‘alam.

Begitu juga kegiatan belajar dan sekolah. Ada informasi mengatakan, karena sudah membaiknya kondisi saat ini, sehingga di pertengahan Juli kegiatan belajar di sekolah sudah bisa diadakan. Sedangkan beberapa daerah justru menunjukkan grafik masyarakat terinfeksi COVID-19 masih saja meningkat. Sehingga prediksi-prediksi ini malah memunculkan kekhawatiran, terutama bagi orang tua.

Namun, disisi lain ada orangtua yang sangat menyambut baik dengan munculnya tanggal yang menyatakan akan berlangsungnya kembali persekolahan.

Beberapa diantaranya mengungkapkan kegembiraannya karena menurut mereka anak-anaknya sudah jenuh belajar di rumah.

Sedikit berbeda dari orangtua yang senang dengan informasi ini. Sebagai orang tua, saya malah was-was jika memang sekolah benar-benar akan dimulai di pertengahan Juli mendatang. Batin saya memiliki tanda tanya besar. “Benarkah pandemi ini telah berakhir saat itu?” Karena dengan dibukanya kembali kegiatan persekolahan maka kita harus bersiap-siap dengan resiko-resiko yang mungkin muncul sebagai dampak dari aktivitas massal.

Pertanyaannya, apakah masyarakat sekolah telah menyiapkan protokol/aturan untuk kegiatan yang melibatkan banyak orang/siswa?. Tentunya ini butuh kesiapan pengetahuan dan sarana di sekolah.

Seperti yang terjadi di Wuhan. Setelah ter-lockdown lebih dari 2( dua ) bulan, akhirnya kehidupan masyarakatnya kembali dibuka. Keputusan itu resmi diberlakukan setelah data menjelaskan bahwa tidak ada kasus baru orang yang terinfeksi COVID-19 di Wuhan. Sehingga kota tersebut sudah siap untuk dibuka kembali.

Hanya saja, kegiatan dan interaksi disana tidak sama dari sebelum munculnya kasus Covid 19. Contohnya, di sekolah. Siswa tetap melakukan pysical distancing didalam kelas. Setiap anak duduk berjauhan dan diberikan sebuah sarana pelindung yang membuat siswa tidak terkoneksi secara langsung dengan siswa lainnya. Dengan membuat sekat disetiap meja siswa. Namun bagaimanakah nanti di Indonesia? Akankah protokol demikian juga akan diadakan?

Semoga tanda tanya ini nantinya dapat menjadi suara yang menggaung hingga telinga penguasa negeri ini. Agar mereka juga memperhatikan hal-hal detail semacam ini, seperti yang dilakukan negara lain. Agar pemerintah kita juga dapat secara maksimal memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Berikutnya adalah membahas tentang dampak negatif dari pandemik COVID-19. Yaitu munculnya perselisihan akibat perbedaan pendapat orang tua yang mengklaim belajar di sekolah atau di rumah yang jauh lebih baik.

Berapa orang tua mengatakan, lebih baik belajar di sekolah. Alasannya, karena anak-anak cendrung banyak main, dan keseringan megang gadget kalau di rumah. Ada pula yang mengatakan anaknya jadi kurang wawasan.

Hmmm....

Saya memang berpendapat lain.

Saya yakin anak saya justru lebih nyaman belajar di rumah. Apalagi dengan kondisi saat ini, jelas di rumah adalah tempat yang paling aman dari penularan COVID-19. Namun, lebih dari itu. Dengan belajar dirumah anak saya punya waktu yang lebih fleksibel untuk berkegiatan. Tidak hanya soal belajar, tapi ada juga waktu bermain, kesempatan untuk melibatkan diri dengan pekerjaan rumah tangga dan berinteraksi dengan saya sebagai orang tuanya sesering mungkin.

Saya yakin, sebagai orangtua kita akan memiliki banyak waktu untuk mengenal lebih baik tentang diri anak anda. Dengan ngobrol, atau berkegiatan bersama. Dan saya yakin ini sangat menyenangkan.

Seyogyanya anak dan orangtua akan merasa tenang saat mereka berdekatan. Orang tua merasa nalurinya sebagai pelindung berada dalam kontrol yang sangat terjangkau.

Itu normalnya.

Namun, apa gerangan jika orang tua merasa tidak nyaman jika anaknya berada dirumah. Dan menganggap sekolah adalah tempat yang jauh lebih baik?

Saya rasa, ada masalah tentunya disana.

Ketidaknyamanan bisa saja akibat ketidak mampuan orang tua mendampingi anak dirumah. Bisa karena tidak ada waktu, atau tidak mampu mengajar, atau juga terlalu banyak tugas yang diberikan guru. Bahkan tugas yang diberikan lebih banyak dibandingkan jika sekolah berjalan normal. Ditambah pula, guru yang tidak melakukan bimbingan jarak jauh. Misalnya hanya memberi tugas tapi tidak terlibat dalam menjelaskan materi pelajaran.

Hal ini juga sangat saya sayangkan dan menjadi tanda tanya besar. Sebenarnya apakah yang menyebabkan guru tidak bisa mengadakan bimbingan belajar dari rumahnya. Padahal teknologi saat ini sangat mendukung. Misalnya membuat video, atau kegiatan live bersama siswa.

Apakah karena gaptek ataukah seperti yang digadang-gadang kan tentang kuota dan jaringan internet?

Baiklah jika itu tentang kuota atau jaringan internet. Namun, jika tidak ada hambatan masalah-masalah teknis tadi, maka sangat aneh jika guru masih belum mengadakan bimbingan. Ada apa?

Saya pikir, hal ini hanya soal kemauan guru, bukan tentang kemampuan. Karena saya sangat yakin kompetensi guru-guru zaman sekarang tidak jauh dari kata hebat, terbaik dan kreatif.

Kekecewaan ini hanya untuk guru tertentu saja. Karena masih ada guru yang memang melakukan tugas dan menjalankan amanah nya dengan baik. Hanya saja saya membaca dari media bahwa banyak sekali keluhan orang tua tentang kesulitan dalam mendampingi anak di rumah yang masuk ke KPAI. Dan kebanyakan keluhan itu tentang banyaknya tugas.

Dan tanpa disadari, dengan kurangnya partisipasi guru dalam membimbing, pada akhirnya menimbulkan polemik bagi orang tua dalam mendampingi anak belajar dirumah. Seakan, orangtua punya tanggung jawab penuh tentang kegiatan belajar anaknya. Bahkan pun, muncul statement aneh yang seakan-akan membully orang tua yang katanya selama ini tidak paham bagaimana sulitnya guru mengajar disekolah. Sehingga dengan keadaan ini, orangtua harusnya paham apa yang guru rasakan. Sepertinya ada kesan yang mengisyaratkan bahwa mengajar anak dirumah saat ini sebagai hukuman bagi orangtua agar paham apa yang mereka rasakan.

Saya tidak bisa setuju dengan ini. Karena mungkin saya bukan orang tua yang demikian. Mungkin memang ada orangtua yang selama ini hanya tahu beres tentang pendidikan anaknya di sekolah. Dan sering pula menyalahkan guru jika anak tidak mendapat prestasi yang baik. Tapi itu bukan saya, dan bukan semua orang tua.

Maaf... Jika saya salah. Orangtua demikian biasanya orang tua yang memang tidak punya waktu dengan anaknya. Mungkin karena kesibukan pekerjaan. Yaaaah inilah zaman... Banyak ibu yang saat ini menanggung beban rumah tangga di pundaknya. Sehingga, fitrahnya sebagai ibu "terpaksa" dikesampingkan. Namun saya sangat berharap, tanggung jawab mendampingi anak belajar tetap diemban oleh kedua belah pihak. Baik itu guru dan orang tua. Walaupun keadaannya sekarang harus belajar di rumah.

Nah...soal anak jadi sering main gadget kalau dirumah. Itu yah tergantung orangtuanya. Jika anak didisiplinkan orang tua, maka hal itu gak kan terjadi. Keluhan orang tua yang demikian, hanya membuka tabir apa yang terjadi dirumahnya. Artinya orang tua tidak mampu mengontrol anaknya.

Bagi saya, gadget tetap ada manfaatnya bagi anak. Apalagi mereka adalah generasi milenial yang notabene adalah generasi pengguna dan pencipta teknologi. Tidak mengenalkan teknologi pada mereka malah akan menjauhkan diri mereka pada kenyataan zaman. Mereka butuh mengenal teknologi agar tidak gagap. Hanya saja tetap sesuai porsinya.

Yah, mungkin beberapa dari anda mulai berpendapat, kenapa gak homeschooling saja anaknya? Kira-kira itulah tanggapan beberapa orang yang antipati dengan pendapat saya yang berbeda tadi.

Saya tetap mengakui bahwa belajar di sekolah tetaplah memiliki kelebihan. Terutama mengenai pembentukan mental dalam hubungan sosial anak. Bagaimanapun anak adalah manusia yang butuh orang lain dalam hidupnya. Dengan adanya lingkungan sosial, seperti teman dan petugas di dalam sekolah, maka anak dapat belajar bagaimana cara berinteraksi dalam lingkungan sosial tersebut. Sedangkan di rumah tentunya hal demikian sulit didapatkan.

Tapi apakah homeschooling itu buruk?

Tidak juga.

Lihat saja sejarah. Seorang Thomas Alva Edison yang diberhentikan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Namun dengan semangat dan keyakinan ibunya, Edison mendapatkan pengajaran langsung dirumah oleh sang ibu.

Pada akhirnya, Edison berhasil menjadi seorang penemu terbaik pada abadnya. Kisah ini cukup menjadi bukti, bahwa tidak ada keraguan bahwa homeschooling juga dapat diandalkan.

Belum lagi kisah seorang bintang zaman sekarang seperti Agnez Mo yang juga memilih jalur homeschooling. Prestasinya baik. Wawasannya pun baik. Dan kisahnya juga dapat menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa menggali bakat dan mengasahnya sejak dini adalah asset yang menguntungkan di masa depan.

Dan sayangnya, sekolah masih lemah dalam hal ini. Kita masih terpatok pada kurikulum. Kurang melihat minat dan bakat anak. Sehingga banyak orangtua yang mengembangkan bakat anak-anak mereka lewat jalur diluar sekolah. Karena hal ini memang tidak tersedia dan kurang memadai di sekolah.

Kita mestinya sadar, bahwa anak lahir dengan potensi yang besar dan berbeda-beda. Semuanya istimewa. Namun sayang, kurikulum yang terlalu banyak menghidangkan materi untuk dikuasai, membuat anak menjadi kurang fokus dengan bakatnya. Akhirnya waktu terbuang sia-sia untuk hal yang tidak fokus.

Itu mengapa sekolah pun untuk saat ini bukanlah segala-galanya. Artinya sekolah bukan patokan anak sukses dimasa depan. Karena tempat belajar anak manusia itu bisa dari keluarga, lingkungan, alam dan Masyarakat.

Lihat saja mantan menteri Susi Pudjiastuti yang berbakat karena belajar dengan terjun langsung ke lingkungannya. Ini bukti bahwa banyak tempat untuk belajar. Namun kita sudah terbiasa dengan cara konvensional, dengan menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar.

Yah... Itulah kira-kira opini saya tentang keadaan anak-anak kita saat ini. Saya yakin ada hikmah dibalik musibah ini.

Bagi saya orang tua, dengan adanya anak dirumah saat ini, adalah peluang bagi saya untuk mentransfer ilmu yang saya punya, melatih keterampilan hidup yang tidak diajarkan langsung di sekolah, dan mendekatkan hati, membangun bonding kepada anak dengan seringnya ngobrol/bicara dan bekegiatan bersama. Semuanya seharusnya menyenangkan bagi anak. Tapi kenapa anak bisa jenuh ada di rumah? Itulah yang menjadi pertanyaan saya, dan silahkan anda menjawabnya. Ataukah benar ada yang salah dengan keadaan di rumah?

Mohon jangan marah, jikalau kita berbeda pendapat.

Bengkulu

(Mayang)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Disekolah kan buk...salam buk

11 May
Balas



search

New Post