Mayang Sari

Lahir di Padang tahun 1982, dan menghabiskan masa kecil di kota Medan. Pendidikan terakhir penulis adalah strata 1 jurusan pendidikan Matematika di Universitas ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mengatasi salah jurusan, perlukah pendidikan berbasis minat dan bakat?

Mengatasi salah jurusan, perlukah pendidikan berbasis minat dan bakat?

Oleh : Mayang Sari

Pernahkah anda ditemui oleh seorang anak yang bertanya tentang jurusan apakah yang harus ia pilih setelah lulus SMA? Dan pernahkah anda mendengar keluhan seorang mahasiswa yang merasa dirinya telah salah dalam memilih jurusan dalam studinya?

Saya pernah membaca, seorang direktur Talents Mapping mengatakan bahwa 87 % mahasiswa di Indonesia mengaku telah salah dalam memilih jurusan. Dan beberapa survey lainnya juga menunjukkan angka diatas 50 %.

Angka yang cukup besar bukan?

Lalu apa yang salah dari keadaan ini. Apakah menurut anda ini sebuah masalah yang besar dan perlu dicarikan solusinya?

Untuk menemukan solusinya ada baiknya kita telusuri satu persatu, apa saja penyebab seorang anak menjadi salah jurusan saat ia memasuki pendidikan tinggi.

Ada beberapa pendapat yang menyebutkan penyebab dari salah jurusan yang dialami anak. Diantaranya adalah :

1. Tidak punya cita-cita

2. Kuliah karena pilihan orang tua

3. Kuliah karena gengsi

4. Kuliah karena ikut-ikutan

5. Belum menemukan passion

6. Kurangnya pengetahuan tentang jurusan yang di pilih

Saya mengajak anda memahami 6 (enam) poin diatas. Adakah anda menemukan muara dari permasalahan ini?

Semua alasan yang menjadi penyebab salah jurusan terfokus pada individu anak. Anak tidak menemukan jawaban bagi dirinya sendiri tentang jurusan apa yang cocok untuk dirinya. Namun apakah seharusnya anak mampu menemukan jalan yang harus ia pilih? Jawabnya, tentu saja bisa dan harusnya mampu. Apalagi anak telah mengalami masa belajar yang cukup panjang. Seperti di Indonesia, masa belajar sebelum perkuliahan berlangsung selama 12 tahun.

Baiklah, saya akan mencoba mengajak anda lagi memahami konsep dari pendidikan itu sendiri. Dalam buku UU No. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan diperlukan dirinya.

Saya yakin bahwa tujuan dari pendidikan di Indonesia sangat mengharapkan terbentuknya kemampuan dari peserta didik untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dan mengetahui keterampilan apa yang ia senangi dan ia kuasai.

Namun kenyataannya, banyak sekali siswa yang merasa bingung dengan kemampuannya, dan tidak tahu pasti bidang apa yang ia senangi. Inilah faktor yang menyebabkan anak menjadi gagal dalam merumuskan cita-citanya. Sehingga pada akhirnya anak cendrung untuk ikut-ikutan, atau memilih berdasarkan gengsi. Dan bagi yang benar-benar tidak mampu memilih lebih cendrung patuh terhadap saran orang tua.

Akan baik arahnya jika orang tua telah mampu membaca kemampuan anak sehingga saran yang diberikan akan menyelamatkan anak dari salah jurusan. Namun akan menjadi bencana saat orang tua yang tidak mengetahui kemampuan dan bakat anak malah ikut memberi saran dan menentukan pilihan anak. Apalagi orang tua yang tidak mendapatkan informasi sama sekali tentang jurusan yang ia tentukan. Alhasil anak akan terperangkap dalam keadaan yang serba salah.

Jika pendidikan yang diterapkan selama ini ternyata gagal membentuk anak menemukan potensi dirinya, maka perlukah sistem pendidikan dibenahi?

Saya merasa pendidikan di Indonesia perlu mempertimbangkan banyak hal. Terutama tentang minat dan bakat. Pendidikan yang dijalani di Indonesia saat ini lebih mengarahkan anak menjadi anak rata-rata yang harus menguasai banyak bidang. Anak-anak dianalogikan seperti bahan baku yang masuk ke dalam pabrik lalu keluar dengan lebel lulus uji dan tidak lulus uji. Semua anak memiliki standar yang sama untuk tingkat kelulusan.

Padahal kita menyadari bahwa anak adalah manusia yang diciptakan dalam keberagaman. Setiap anak adalah unik dan memiliki potensi yang berbeda-beda. Seperti yang dikatakan Albert Einstein “Everybody is a genius. But if you jugde a fish by its ability to climb a tree, it will be live its whole life believing that it is stupid”. Semua orang adalah jenius. Tetapi jika kamu menilai kemampuan seekor ikan dalam memanjat pohon, maka ikan itu akan hidup dengan mempercayai bahwa dirinya bodoh seumur hidup.

Alangkah kejamnya jika pendidikan tidak mampu menghargai perbedaan potensi yang dimiliki setiap anak. Ini mengapa pendidikan harusnya mengakomodir anak untuk dapat menggali kemampuan yang ada dalam dirinya. Sehingga ia sadar dan mampu menjawab keinginan untuk masa depannya.

Saya bukanlah seorang psikolog yang bisa memberikan kepastian kapankah bakat dan minat seorang anak dapat diketahui. Namun, saya pernah melakukan hal tersebut dengan anak saya sendiri, dan hasilnya cukup menggambarkan korelasi yang sama dengan aktifitas dan cara berfikir anak. Ini artinya mengetahui bakat dan minat anak sedari kecil sudah dapat mencukupi pertimbangan guru dan orang tua dalam mengarahkan pendidikan anak selanjutnya.

Namun tentunya pendidikan formal yang ada saat ini perlu mewadahi hal tersebut dengan fasilitas dan kualitas yang baik. Karena masalah minat dan bakat anak saat ini masih dijadikan pendidikan extrakurikuler yang kurang diutamakan.

Saya cukup yakin jika pendidikan telah membuka jalan untuk lebih mengutamakan pengembangan keberagaman potensi anak, maka anak akan mudah mengenali potensi dirinya dan mampu pula memilih jurusan yang ia senangi untuk dipelajari secara mendalam di perguruan tinggi nantinya.

Apalagi dalam memasuki era industrial 4.0, lulusan yang diharapkan mampu bersaing dan memenangkan kompetisi adalah anak-anak yang kreatif. Bukan lagi anak-anak yang hanya mempelajari aturan lalu menerapkan dalam pekerjaaannya. Bukan pula anak-anak yang siap kerja namun masih menjadi job seeker, karena seharusnya mampu menjadi job creator.

Itu kenapa seorang ahli kimia tak perlu lagi menjadi seorang bankir. Karena dengan kemampuannya ia bisa menjadi pemeran utama dalam menerapkan ilmu yang ia miliki.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ini nyambung ke garapan BP-BK. Salut utk para gurunya. Salut utk penulis ttg hal ini. Salam.

29 Jul
Balas

Salam juga ibu Ratih. Terimakasih atas komentarnya. Sangat memotivasi saya.

30 Jul
Balas



search

New Post