May Kamaya

Assalamualaikum. Selamat sore sahabat-sahabat yang Super Kece. Salam silaturahmi dari saya. Saya seorang hamba Tuhan yang selalu berusaha untuk menjadi hamba y...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Banyak Tanya? Hmmmm, Bagaimana Saya Harus Bersikap?

Anak Banyak Tanya? Hmmmm, Bagaimana Saya Harus Bersikap?

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menjalani kehidupan satu atap bersama seorang bocah perempuan usia dini, sekitar tiga tahun usianya. Setidaknya saya senang, ketika saya pulang sekolah, ada yang menyapa saya dan langsung meneriaki dan menghampiri dengan jargon sehari-harinya, “Ye yee kaka pulang.”

Terkadang itu terasa bergema-gema di telinga ketika saya sedang fokus belajar. Saya tidak tahu, apakah itu efek bahagia atau sebaliknya, alias trauma karena saya sudah paham ketika jargon itu masuk ke telinga saya akan ada sederet pertanyaan yang membututi saya dari belakang. Jujur, saya seperti orang yang dikejar-kejar hutang.

Segera setelah saya masuk kamar, ia bak ekor yang tak terlihat yang ikut berjalan di belakang saya dan mulai pertanyaannya seperti udara yang memenuhi seluruh isi kamar, terlihat seperti beribu kupu-kupu warna-warni yang entah datang darimana dan syukurnya saya masih bisa bernafas.

Mulai dari mengapa tas saya diletakkan di tempat itu sampai-sampai bentolan kecil di wajah alias akne vulgaris sayapun jadi bahan yang menambah rasa penasaran. Pertanyaan yang sama akan terus diulangi sampai saya menjawabnya dengan setulus hati. Saya tidak tahu itu pertanyaan atau soal ulangan yang membuat saya pusing berkeliling-keliling. Tidak ada pilihan ganda, bukan juga isian, oh ini tepatnya esai. Masih mending jawabannya dengan bahasa saya sendiri, tapi kali ini tidak. Saya harus menjawab dengan bahasa yang ia pahami.

Baiklah, dia adalah anak lucu dan menyenangkan. Dia anak yang cerdas, ini sugesti saya. Hal pertama yang harus saya lakukan adalah menenangkan diri. Harap maklum, setelah menghabiskan waktu berlama-lama di jalan, terkadang cukup sesak dan tidak terlalu menyenangkan apalagi ditambah bertemu orang-orang aneh yang sukanya marah-marah tanpa alasan dan terkadang kita menjadi korban.

Saya tenangkan diri, karena saya percaya bos kecil itu tidak sedang menguji pengetahuan saya apalagi sampai menguji mental saya, tapi lebih tepatnya dia menguji kesabaran saya. Tapi saya bersyukur karena disinilah kecerdasan intrapersonal sekaligus interpersonal saya sedang diuji. Bagaimana tidak? Ketika tubuh terasa remuk redam dari subuh hingga sore hari baru bisa merebahkan diri di atas kasur yang tipisnya harus tetap disyukuri, dan lebih disyukuri lagi makhluk kecil yang unyu-unyu itu selalu setia menemani, dijamin Anda tidak akan pernah bisa memejamkan mata meski dalam hitungan detik. Berkedippun rasanya tak kuasa, hehe.

Kakak, kenapa kucing makan ikan? Kenapa kucing tidak makan es krim? Dimana kaka beli tasnya? Kenapa tasnya tidak sama seperti tas mamaku? Kenapa sepatu kaka warnanya biru? Itu gambar apa? Kenapa gambarnya ditempel disitu? Ini apa namanya? Mengapa ada di pipi kaka? (sambil memegang jerawat saya, padahal saya juga menghindari untuk memegangnya, ya tidak apa-apa pasti ada hikmahnya, positive tingking saja). Itu hanya sekian persen pertanyaan dari pertanyaan-pertanyaan yang terus dituju pada seorang hamba Tuhan yang sebenarnya lelahnya luar biasa.

Untuk menjawab pertanyaannya, saya harus melupakan PR-PR saya sejenak. Saya harus benar-benar fokus dan serius dalam mengutarakan pemahaman saya. Mengapa harus serius? Padahal ini hanyalah pertanyaan sederhana yang tidak dijawabpun tidak jadi masalah. Betulkah tidak menjadi masalah? Mungkin iya, jika dalam jangka waktu yang pendek, tapi pernahkan kita berpikir untuk jangka waktu yang panjang? Apa yang akan terjadi ketika rasa ingin tahu (curiosity) anak tidak tersalurkan dengan baik?

Sebagai orang dewasa, mungkin ada benarnya jika kita merasa pertanyaan-pertanyaan itu sungguh tidak berarti. Tapi bagaimana dengan mereka si kecil yang haus akan pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bagian penting dalam masa perkembangan mental anak.

Mengapa anak banyak bertanya? Menurut para ahli perkembangan anak, usia 2 hingga 4 tahun adalah masa pembentukan kemampuan kognitif dalam memahami alasan mengapa suatu hal dapat terjadi dan membuat koneksi logis antara satu hal dengan hal lainnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjawab pertanyaannya dengan fakta alias logis dan tidak mengada-ngada.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris tahun 2013 lalu, mengemukakan bahwa seorang anak bisa mengajukan hingga 300 pertanyaan setiap hari, dan terungkap juga bahwa anak perempuan 4 tahun lebih banyak bertanya dibandingkan anak laki-laki. (TheAsianParent).

Nah berarti ini merupakan salah satu fitrah anak sebagai manusia yang sedang berkembang. Sehingga hal ini bisa dikatakan menjadi kewajiban bagi orang dewasa di sekitarnya untuk membantu proses perkembangan tersebut agar berkembang kearah yang seharusnya.

Menjawab pertanyaan seorang anak mungkin lebih sulit dibandingkan dengan menjawab soal yang tertera manis di kertas ulangan saya. Ada yang tahu jawabannya? Ternyata banyak yang tahu juga, iya betul karena saya tidak bisa menjawab sesuka hati saya, apalagi dengan menambah istilah-istilah yang tentu asing di telinganya.

Ketika saya tidak bisa memberi jawaban yang benar pada saat ulangan, oke saya salah dan mungkin hasil yang akan saya dapatkan tidak akan memuaskan. Tapi, jika saya keliru menjawab pertanyaan anak yang kemampuan kognitifnya sedang berkembang pesat, oh tidak, ini sama saja saya menyesatkan anak manusia yang sedang meminta jalan untuk mendapatkan pengetahuan.

Ketika ia bertanya, “Kaka kenapa kucing tidak suka makan es krim?” Mungkin uneg-uneg usil saya segera ingin menjawab,”Kalau kucing makan es krim nanti kamu ngga kebagian loh.” (Mungkin saya bisa tertawa bahagia, iya memang lucu. Tapi, yang ia harapkan bukan jawaban lucu melainkan kebenaran yang ada). Atau mungkin saya bisa menjawab sesuka saya, “Karena itu memang sudah takdirnya.” (kalau untuk orang dewasa mungkin ini jawaban saya, tapi memang ada orang dewasa yang bertanya seperti ini? Wkwkww, mungkin ada termasuk saya).

Atau jika saya merasa lelah dan sangat sangat lelah, dan lelah sekali (memang benar-benar lelah) saya bisa bilang, “Kamu kok nanya terus sih, kasih jeda donk biar kaka bisa nafas dikit.” Iya ini mungkin saja terjadi tapi ini sama saja mematikan rasa keingintahuannya. Wah, betapa tidak humanisnya saya. Ingat, anak bertanya karena kemampuan berpikir mereka sedang berkembang sehingga akan berpengaruh dengan kecerdasan mereka di kemudian hari.

Tidak perlu khawatir ketika kita tidak bisa menjawabnya. Tidak perlu malu apalagi sampai frustrasi. Kita juga manusia biasa yang banyak tidak tahunya. Beri jawaban yang memang kita ketahui, tidak perlu mengada-ngada karena itu hanya menanamkan konsep yang salah untuk anak. Jangan sesatkan seorang hamba Tuhan yang sedang belajar. Jika kita tidak mengetahui jawabannya, jujur saja pada anak dan terus berupaya untuk mencari jawabannya bersama. Hal ini juga dapat membangun pengetahuan bersama dan cukup menyenangkan apalagi sambil liburan.

Sebagai orang dewasa, kita juga tidak harus selalu menjawab pertanyaan anak secara langsung. Bahkan sebaiknya, kita mengarahkannya untuk menemukan jawaban sendiri sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis (critical thingking) anak. Kita juga dapat mengembang rasa keingintahuannya dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan, sehingga anak terbiasa untuk berdiskusi dalam menemukan jawaban yang ia inginkan.

Misalnya, anak bertanya lagi, “Bagaimana rasa air hujan? Asin ya? Atau manis?”. Mungkin adakalanya kita tak perlu menjawab secara langsung. Kita tunggu saja kesempatan turunnya hujan dan biarkan anak sendiri yang merasakannya sehingga apa yang ia pelajari lebih kuat terekam di memorinya. Seperti perkataan bijak seorang Filsuf Cina, Confucius, “Apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan, saya paham.”

Berbahagialah ketika seorang anak banyak bertanya karena mereka juga sedang mengembangkan kemampuan berbicaranya. Mereka sedang mengembangkan kemampuan kognitifnya. Dan yang terpenting dari yang penting, berikan respon positif dan senyuman yang ramah tamah ketika anak sedang bertanya dan jawablah dengan santun sehingga mereka sadar bahwa bertanya bukanlah sebuah kesalahan besar yang harus dihukum, bertanya bukanlah suatu momok yang menakutkan dan bertanya bukanlah tanda dari kebodohan melainkan proses berpikir dalam memperoleh pengetahuan.

Penulis: Maya Malianggi Manar

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post