"Surga yang Dilupakan"
Seperti pepatah yang mengatakan, “Seorang ibu mampu mengasuh sepuluh orang anak, tetapi sepuluh orang anak belum tentu mampu merawat seorang ibu.”
Satu anak yang menghargai perjuangan seorang ibu jauh lebih baik dibandingkan dengan sepuluh anak tapi mengabaikan pengorbanan ibunya. Seorang ibu, yang biasanya saya panggil Oma, duduk dikursi kering panjang, di bawah pohon sukun tua yang terkadang terdengar suara ranting yang saling berebut berjatuhan. Hamparan halaman yang terkesan bak penjara tiada bertiang, kusam dengan alunan siungan angin yang tak beraturan. Bekas senyuman masa muda yang masih utuh terukir di dua belahan pipi Oma menjadi saksi bahwa kehidupan dulu kala penuh dengan rasa bahagia. Di sudut satu bangunan megah bak istana, lamunan seorang wanita lansia menerjang masa lalu yang syarat akan rindu yang selalu diidamkan. Si Tutang yang merantau jauh ke negeri orang, si Ninum yang katanya tinggal di persimpangan. Si Aul yang katanya sibuk sehingga wajah sulit diterawang. Dan si Moon bak orang hilang tapi tak terdaftar di pencarian orang. Kedatangan saya selalu dibalas dengan senyuman hangat yang memberikan kehangatan, namun di balik senyuman tersebut, saya menyaksikan setumpuk salju di kutub selatan yang terus menggunung, kebekuan rasanya berkecamuk bertahta di dalam angan, dingin tapi musim kemarau, beku tapi sinar mentari begitu antusias memberi cahaya. Sekelebat rasa yang tak kunjung usai menjadi awal rasa sesak yang tak mampu didiagnosa. Sesak bukan karena cuaca yang tidak menguntungkan, sesak bukan karena keadaaan ramai yang berlebihan, tapi sesak yang lebih mengarahkan kepada kesepian yang mendalam, kesepian yang tak terelakkan, kesepian yang tak kunjung hilang, dan kesepian yang menjadi teman setia di setiap malam. Si Tutang, yang berbadan kekar, yang kecerdasannya tidak dipungkiri, yang kelebihan hartanya merangsang orang yang punya rasa dengki, yang berbahagia dengan istri tercinta dengan beberapa pewarisnya. Tinggal di kota yang sama. Dia datang hanya bertanya kabar. Kedatangannya bak tamu istimewa bagi wanita yang hanya datang sebulan sekali bahkan telat beberapa hari. Hanya bertanya kabar tanpa bertanya lebih. Kesibukan yang selama ini menyapu bersih kebersamaan antara ibu dan anaknya. Raganya bersenderan tak jauh dari ibunya, tapi pikirannya hanya diisi kapan akan kembali ke rumahnya. Rasa betah tak mampu berkompetisi dengan ketidaksabarannya untuk kembali. Kehangatan dalam berkomunikasi seakan terseingkir oleh rutinitas kehidupan masa kini. Oma tidak banyak berbicara, karena ia tak tahu harus memulainya dari mana, dia khawatir pertanyaannya hanya direspon dengan terpaksa. Wajahnya bak putri tua yang menaruh harapan untuk dicintai. Si Tutang yang suksesnya patut disyukuri tapi tak memiliki keterampilan untuk mengajak berkomunikasi. Hanya sekedar sibuk dan fokus dengan gadgetnya yang keluaran terbaru dari luar negeri dan harganyapun cukup menyebabkan hipertensi. Kalau ditanya mengapa tak bicara? “Saya rindu ibu yang dulu, yang ketika bicara selalu nyambung katanya, kalau berbicara sekarang, bikin tambah pusing jelasnya sesuka dada.” Begitulah singkatnya jawaban si Tatang. Padahal, ketika kecil, si Tatang adalah anak yang paling cerewet, yang selalu menanyakan hal yang sama lebih dari tiga kali sehari kata ibundanya. Si Ninum anak kedua yang wajahnya paling mempesona, yang kecantikannya dulu menjadi bunga kota. Tinggalnya pada satu kota, bahkan pada gang yang hanya selisih satu simpang katanya, yang mungkin kalau kentutpun terdengar suaranya, saking dekatnya. Jarak boleh dekat, tapi hati kurang melekat. Raganya yang katanya masih sehat tapi sering mendadak vertigo ketika hendak berkunjung ke ibunda tercintanya. Entah darimana ia belajar bersandiwara, bak artis gayanya. Kalaupun datang, hanya sekedar duduk di permukaan teras rumah ibunya. Entah ada duri apa di atas kursi rumah ibunya, sehingga baru beberapa menit saja, sudah gelisah rasanya ingin kembali ke rumahnya. Jangankan untuk berbicara, memperlihatkan wajahpun hampir sebulan sekali nyatanya. Kalau ditanya mengapa? Jawabannya sungguh luar biasa sederhana, “karena ibunda baik-baik saja. Jadi tidak terlalu perlu sering menengoknya.” Menelaah ke putra Oma ketiga, si Aul namanya. Asyik orangnya, dan cukup dermawan kata orang-orang di sekitarnya. Tapi terlalu sibuk orangnya, saking sibuknya banyak tidak tahu mengenai ibundanya tercinta. Duit banyak, mau beli ini beli itu tinggal bilang saja, tak perlu menabung dalam jangka waktu yang lama, karena dengan menyentuhnya saja, barang sudah ada di depan mata. Ibunda terkasih cukup bahagia melihatnya, tapi menyimpan duka di bilik senyumannya. Tinggal di kota berbeda, tapi itu bukan alasan utama. Sudah sekian lama, wajah tak hadir di pelupuk mata. Ini temannya Bang Toyib, yang tak kunjung pulang tiga kali puasa tiga kali lebaran, sahabatan katanya. Syukurnya, uang selalu mengalir setiap bulannya untuk kebutuhan lahir ibundanya, tapi sayang kebutuhan batin tidak pernah dipedulikan olehnya. Kalau ditanya mengapa, jawaban tak jauh berbeda dengan kakak tercinta, “Yang penting ibunda selalu sehat dan bahagia.” Darimana ia tahu ibunda sehat dan bahagia, sedangkan wajah putihnya sulit untuk diterawang oleh mata?” Mungkin ia punya ilmu lain, yang dapat melihat sosok manusia dengan radius yang luar biasa. Apakah harus menunggu nisan bertuliskan nama malaikat dunianya baru ia sadar bahwa tidak terlalu berguna hartanya? Hidup boleh kaya, tapi ia lupa, dimana surganya. Si Moon yang hidupnya terlihat santai dan bahagia. Yang tinggalnya juga di kota berbeda. Putri kecil, imut, bak boneka Barbie rupanya, yang menjadi penghias rumah tangga ibundanya empat dasawarsa lamanya. Yang hartanya cukup berlimpah-limpah. Gadget yang gonta ganti warna dan merknya, tapi tak ada guna bagi ibundanya. Pulsa yang ratusan ribu tertera di kartunya, tapi tak seribupun yang dikhususkan untuk ibundanya. Ia rindu katanya, tapi tak cukup banyak waktu mengunjungi ibunya, entah apa yang dilakukannya, sehingga 365 hari dalam setahun, selalu sibuk tanpa jeda. Mudah-mudahan ia menjadi orang yang banyak manfaat untuk sesama. Empat anak yang dibesarkan dengan penuh cinta telah tumbuh menjadi dewasa. Kedewasaan mereka yang dulu diharapkan oleh Oma agar menjadi manusia-manusia yang selalu mencintai Tuhannya. Oma yang jelita tidak pernah menuntut untuk diberikan cinta, karena ia percaya cinta bermakna memberi tanpa mengharapkan kembali. Oma yang dermawan, tidak pernah menuntut untuk dibayar kembali, karena ia tahu kalau ia bukan seorang pekerja, ia hanya mengharapkan rida Allah agar selalu dicinta olehNya. Keikhlasannya selalu tampak jelas dari wajahnya yang penuh kesabaran. Tua yang tak dapat dielakkan, tua yang tak pernah diminta, tapi Tuhan memberikannya usia yang cukup panjang di dunia. Terkadang ia rindu dengan sapaan anak-anaknya, rindu waktu bersama anak-anaknya, tapi waktu telah mengikis semuanya. Terkadang terbesit ingin bersafari bersama putra dan putrinya tapi apa daya, anak-anaknya tak kuasa melakukannya, bukan karena akses kendaraan yang menjadi alasan, bukan karena harta yang takut dikeluarkan, tapi karena kecintaan mereka yang sifatnya masih dipermukaan. Bukan karena Oma malu meminta, bukan karena Oma takut memberi saran, tapi terlalu berat jika harus ditolak karena alasan kesibukan. Melihat cucu begitu menyenangkan, tapi sayang cucu orang lebih sering memaling pandang. Cucu mungkin banyak, tapi jarang terlihat. Ia bak horizon di sepanjang garis pantai. Ingin berkata rindu, tapi sulit diutarakan. Ingin berkata sayang, tapi bingung untuk siapa itu ditujukan. Kerinduan yang terus menumpuk tiada pernah berkurang, kecintaan yang terus bergelimang tiada pernah hilang, ingin menjalin rindu tapi tak cukup kuat berpergian jauh, ingin menyatakan kecintaan, tapi tak cukup jelas untuk mengucapkan. Haruskah beliau memendam rindu hingga bertemu malaikat maut? Haruskan memendam cinta hingga Tuhan memanggilnya? Haruskah namanya terukir di batu nisan terlebih dahulu sehingga anak-anaknya yang terkasih dapat kembali tanpa diminta? Haruskah ada bunga warna-warni yang bertaburan di atas sebidang tanah untuk membuat anak-anaknya merasa rindu untuk pulang ke rumah? Haruskan beliau terbujur kaku untuk menggerakkan hati anak-anaknya agar tahu ia begitu merindu? Atau haruskah tubuh tua beliau dibungkus kain kafan terlebih dahulu untuk memberi tahu bahwa masih ada surga di rumah usang ini? *Catatan hati Oma* Aku punya kekasih jiwa, tapi aku tak tahu terkadang mereka entah dimana Jika mungkin orang khawatir ketika memandangi langit kelabu. Aku adalah orang yang paling bahagia menunggu waktu hujan untuk membasahi kekeringan jiwa ini. Jika mungkin orang khawatir datangnya gerimis maupun hujan Aku adalah orang yang paling ceria mengintip pelangi dari sudut jendela untuk mewarnai hari-hari yang sepinya tiada terdefinisi Aku tidak menunggu datangnya pelayan yang memberiku makan Aku tidak menunggu kedatangan orang yang menitipkan uang Aku hanya duduk disini berharap akan ada makhluk Tuhan yang dulu menganganggapku sebagai malaikatnya untuk sekedar menyisir rambut usangku. Aku tidak lelah dengan kesepian, tapi aku merasa sepi dengan kelelahan mengharapkan sesuatu yang tidak ada kepastian. Aku tidak meminta untuk dibeli pakaian baru, kalau untuk memelukku saja mereka ragu. Aku tidak meminta untuk dijaga bak seorang ratu, kalau untuk menyapakupun mereka tidak ada waktu. Aku tidak meminta untuk diberikan istana yang megah bak istri seorang raja, kalau di dalamnya aku hanya menjadi pajangan tanpa makna. Aku tidak meminta mereka menjamu makan malamku bak ratu yang disegani banyak orang kalau untuk menyuapikupun mereka enggan. Aku punya kekasih jiwa, tapi aku tak tahu terkadang mereka entah dimana. Aku tidak mengatakan mereka hilang, karena merekapun tidak masuk daftar pencarian orang Aku juga tidak mengatakan mereka tidak kembali, karena aku percaya mereka masih tahu bahwa masih ada surga di rumah tua ini. Sepotong cerpen dari bocah pulau. Mohon maaf jika ada kesamaan nama, tidak ada niat apapun kecuali menulis cerita. Nasihatuntukdirisendiri* Penulis: Maya Malianggi Manar.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wow, luar biasa
Kereenn.. SALAM LITERASI
Yang ngomen lebih keren.... Hehee... Salaaam literasi kembaliiii :D
Asyiiik, salam luar biasa juga Pak Mulya :D