265. PAHLAWANKU (9) R. MUHAMMAD MANGOENDIPROJO
Mayor Jendral (Purn) Raden Muhammad Mangoendiprodjo lahir di Sragen Jawa Tengah, 5 Januari 1905, adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer Indonesia yang ikut serta dalam Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Mayor Jenderal adalah pangkat perwira militer di golongan perwira tinggi satu tingkat di atas Brigadir Jenderal dan satu tingkat di bawah Letnan Jenderal. Istilah tersebut diambil dari pangkat Sersan Mayor Jenderal. Seorang Mayor Jenderal (Mayjen) termasuk dalam jajaran perwira tinggi, biasanya satu tingkat di atas Brigadir Jenderal, dan satu tingkat di bawah Letnan Jenderal. Pangkat ini setara dengan Inspektur Jenderal Polisi di Polri.
Dia adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setjodiwirjo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Keduanya memperluas pemberontakan melawan penjajah Belanda hingga ke daerah Kertosono Ngawi, dan Banyuwangi, Jawa Timur. Ia merupakan ayah dari mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn.) Himawan Soetanto.
Garis hidup sebenarnya memberi kesempatan kepada Muhammad Mangoendiprodjo untuk bisa hidup berkecukupan dengan menjadi Pamong Praja, wakil kepala jaksa, dan kemudian asisten wedana, di Jombang, Jawa Timur, setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927. Namun setelah Jepang menduduki Indonesia, ia memilih untuk menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944.
Setelah lulus pendidikan militer di Surabaya, Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA di Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal TNI.
Masuknya kembali pasukan Belanda (NICA) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Muhammad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Gurkha dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.
Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.
Setelah mengakhiri karier militer, Muhammad ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo dari tahun 1951 sampai 1955, yang salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso pada tahun 1948. Prestasinya ini kemudian mengantar Muhammad Mangundiprojo menjadi Residen (Gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini.
Muhammad Mangundiprojo tutup usia di Bandar Lampung pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung. Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 7 November 2014. Penerimaan tanda jasa ini diwakili oleh cucunya, Menteri Kemaritiman Indonesia Indroyono Soesilo.
Lodoyo,18 Nopember 2021
Sumber; Wikipedia_online
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar