meita purnamasari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Panggil dia: Ata

Aku baru masuk ruang kesiswaan. Anak anak kelas x berhamburan memburuku, " bunda, buuun... ata, bun " seru mereka riuh rendah mengalahkan suara derasnya hujan di atap genting. "Ada apa dengan Ata? ", aku setengah berteriak bertanya agar suaraku dapat di dengar mereka.

"Sudahlah bun ikut aku saja ke kelas, bunda nanti bisa lihat kenapa ata" suara Bola, Michael Bola tepatnya menengahi pertanyaanku. Mata bulenya, - Ayah Bola asli Belanda sedangkan ibunya orang Cimahi, berkerjap. Kutangkap ketakutan. Kehawatiran.

Aku tak banyak bicara lagi. Langkahku bergegas mengikuti anak anak menuju lantai 3, kelas X IPA 6, kelasnya Ata, Permata siswa yang diributkan anak anak. Kapan mereka mulai memanggilku bunda dan bukannya Ibu sebagaimana siswa terhadap gurunya, lebih banyak tidak kuperhatikan. Sepertinya nama panggilan itu lebih berkesan bagi anak anak dibandingkan "ibu". Ada magic yang terasa, yakni sebuah kedekatan antara siswa dan gurunya.

Tiba di mulut kelas, aku terperangah. Ata setengah terlentang di kelas, dan wajahnya pucat pasi. Mulutnya bergetar, setengah komat kamit. Nyaris aku tak dapat mendengar dengan jelas perkataannya.

Aku memburunya. Tidak. Jangan panik. Jika aku panik, bagaimana mengatasi hal ini. Di ruang kesiswaan, guru yang tersisa tinggal aku hari senin ini. Kebetulan karena senin itu hari piket sebagai staf sekolah. Otakku berpikir keras, sembari tanganku mulai bekerja. Pertama, aku raih kepala Ata. Kubisikkan ayat suci, "Istigfar Ata.... Apa yg terjadi. Ata... Ini bunda, nak" berulang ulang aku membisikkan kata kata itu.

Aku tak kehilangan akal. Ada guru yg tempat tinggalnya dekat sekolah. Aku butuh guru laki laki. Maka aku minta Erlangga, Ketua Murid X IPA 6 menggunakan hp ku untuk menghubungi Pak Endi.

Ata menangis sesenggukan. Tangannya menunjuk ke suatu arah, " Ata takut, ata takuttt"

" Apa yang kau lihat, sayang? Ayo istigfar" seruku. Aku berusaha benar benar tenang. Ata kubujuk agar mau turun ke lantai 1 tanpa harus diangkat aku dan teman temannya. Bagaimanapun Ata harus sadar, sehingga bisa keluar dari kelas tanpa harus di angkat beramai ramai. Aku tahu betul resikonya jika harus di bopong. Sangat sulit menuruni tangga lantai 3 di sekolahku. Selain tangganya curam, setiap undakan tangga letaknya tidak simetris. Bisa saja membuat Ata terjatuh.

Michael Bola membantuku.

Ata masih setengah sadar. Menangis. Tertawa. Kadang terhuyung sambil menunjuk ke satu arah. Pojok kelas.

Aku mengikuti arah telunjuk Ata.

Lengang. Tak ada apa apa. Tapi Ata bersikeras ada sesuatu disana. Matanya tidak berkedip. Ujung ujung bola matanya mengatakan ketakutan yang teramat.

Ata, kamu ini ke sekian kali menakutiku dengan matamu itu. Takut. Cemas. Kadang marah. Bergantian dengan teriakan dan sumpah serapahmu membuatku membeku dalam suasana mistis.

Susah payah akhirnya aku bisa membawa turun ke ruanganku. Pak Endi sudah menemaniku mendampingi Ata.

" Panggil aku, Ata" desisnya dingin.

Aku menaruh tanganku setengah gemetar di atas jilbab ata yang sudah bergeser tak beraturan.

" Bunda tahu, kamu Ata" ucapku lembut menenangkan. " Jelaskan apa yg terjadi, ata"

Hujan sudah mulai reda nampaknya. Dari jendela ruanganku, ku lihat titik titiknya masih tersisa. Jam berdentang, hampir jam enam sore. Sepuluh menit lagi adzan magrib. Anak anak ini masih di sekolah. Seharusnya sudah kembali ke rumahnya masing masing. Kegiatan pembelajaran selesai sampai jam tiga lebih dua puluh lima menit.

Ah, aku melenguh.

Pak Endi menangkap lenguhanku. Dia tersenyum seakan menenangkanku. Rupanya dia sudah bicara dengan teman temannya Ata. Ada sekitar 6 orang siswa masih di sekolah, di kelas karena mengerjakan tugas Ekonomi. Padahal sudah diperingatkan berkali kali kepada siswa bahwa batas di kelas itu hanya sampai jam lima sore.

Aku terus berusaha menenangkan ata agar dia bisa sadar dan menceritakan apa yang terjadi.

Ata adalah salah satu siswaku yang punya kelebihan indigo. Bisa melihat sesuatu yg gaib diluar dirinya. Saat itu makhluk yg menempati kelas ata marah karena anak anak menjelang senja masih ribut di kelas.

Dan hanya ata yang bisa melihat makhluk itu!

" Bunda..... Mahkluk itu tinggi besar, hitam, wajahnya tak begitu jelas tapi suaranya penuh dengan kebencian " ujar ata sesenggukan. Ku raih kepala ata ke dalam pelukanku. Itu kelebihan yg diberikan Tuhan padamu, nak. Sulit untuk menjelaskannya. Aku hanya berharap, ata bisa melewati hari harinya yang tak normal seperti teman temannya. Di saat yg lain tidak melihat apapun, ata dapat merasakan kehadiran makhluk gaib di sekitarnya. Dan itu tak mudah untuk seorang remaja seperti ata.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aku dataaaaangggg menyimakmu

27 Mar
Balas

Terimakasih... Tapi tulisanku tak sekeren tulisanmu

27 Mar



search

New Post