Melia Fitriani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Seragam Kinan
Dimuat di Radar Malang Jawa Pos Group Tahun 2016

Seragam Kinan

“Kinan! Nanti jangan pulang dulu ya? Usai pengumuman kelulusan, kita rayakan bersama di belakang sekolah. Teman-teman sudah menyiapkan pilox juga lho,” ucap Rana.

Kinanti tertegun mendengar ucapan sahabatnya. “Bukannya kita belum tahu nantinya akan lulus atau enggak, kok sudah nyiapin pilox segala?”

“Aah… pasti lulus semua lah… Sekolah kita ini termasuk sekolah unggulan kan? Sudah pokoknya nanti jangan lupa ya, aku tunggu di belakang sekolah!” ujar Rana setengah berteriak. Anak lelaki yang sudah beranjak remaja itu berlari meninggalkan Kinanti yang masih terdiam di tempatnya, menyusul teman-temannya yang mendapat tumpangan gratis sebuah mobil pick up untuk pulang.

Kinanti belum beranjak dari tempat duduknya. Banyak hal yang berkecamuk dalam hati. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan SMP Negeri I tempatnya menempuh pendidikan selama tiga tahun. Kepala sekolah dan dewan guru sepakat menyampaikan pengumuman pukul 13.00, dan siswa harus didampingi oleh orangtua masing-masing. Hal tersebut untuk menghindari perilaku negatif siswa yang mungkin akan mengadakan konvoi, corat-coret seragam dan hal-hal negatif lainnya.

Tapi yang namanya remaja, selalu ada saja cara mereka untuk lepas dari pengawasan orangtua dan merayakan kelulusan dengan mencoret-coret pakaian. Hal itulah yang kini tengah dirisaukan Kinanti.

Seragam sekolah yang dipakainya sudah lusuh. Warna putihnya sudah mulai pudar sejak dia memakainya tiga tahun lalu. namun seragam itu tak pernah diganti dengan yang baru. Seragam lusuh itu yang menjadi saksi perjalanan Kinanti selama tiga tahun ini, dan Kinanti tak rela jika seragam ini nantinya harus dicoret-coret oleh kawan-kawannya.

Diliriknya jarum jam pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Masih pukul sepuluh seperempat. Siswa kelas sembilan hampir semuanya telah pulang ke rumah masing-masing, kembali ke sekolah lagi nanti, saat pengumuman pukul 13.00. Masih sekitar tiga jam lagi.

Waktu berlalu, Kinanti semakin gelisah. Seragam yang dikenakannya itu sangat disayanginya. Bukan hanya karena menjadi saksi perjuangannya selama tiga tahun ini. Bukan. Lebih dari itu, seragam ini adalah satu-satunya seragam peninggalan Karina, kakak semata wayangnya yang telah meninggal karena kecelakaan pada saat pulang sekolah.

Peristiwa itu terjadi empat tahun yang lalu. Hari terakhir Ujian Nasional SMP. Karina yang lincah dan cerdas telah selesai mengerjakan soal-soal ujiannya. Gembira hatinya karena semua soal yang diujikan sesuai dengan materi yang telah dipelajari dan dihapalkannya selama ini. Dengan canda tawa dia menunggu bus untuk pulang bersama kawan-kawannya. Namun malang tak dapat ditolak. Sebuah truk bermuatan berat melintas dengan cepat di depan sekolah, tepat ketika gadis manis itu menyeberang.

Karina yang malang, tubuhnya terlindas truk yang langsung melarikan diri itu. Gadis manis itu meninggal dunia seketika. Seragamnya berlumuran darah dan sobek-sobek di beberapa bagian.

Beberapa hari kemudian, pengumuman kelulusan menjadi hari paling menyedihkan di SMP Negeri I. Karina menorehkan nilai terbaik di sekolahnya, sedangkan dia sendiri telah tiada.

Seragam Karina menjadi saksi tiga tahun dia belajar di SMP. Seragam itu pula yang kini dikenakan Kinanti, menjadi saksi bisu perjuangannya menyelesaikan pendidikan dasar di SMP Negeri I. Takkan dibiarkannya anak-anak itu nanti mencoret-coret seragamnya, seragam Karina.

“Kinanti, kok belum pulang?” tanya seseorang di belakangnya. Kinanti menoleh.

“Bu Ratna? Ibu sudah mau pulang juga?” Bu Ratna adalah tetangga dekat Kinanti. Rumah beliau hanya berjarak kurang lebih dua puluh meter dari rumah Kinanti.

“Belum, Bu. Masih belum dapat bus,” jawab Kinan.

“Lho, bukannya dari tadi ada banyak bus yang lewat ke arah timur?”

“Mereka tak mau mengangkut anak berseragam, Bu. Mungkin karena kami bayar karcis hanya separuh harga.”

“Oh, iya juga ya,” gumam Bu Ratna. “Kalau begitu, ayo bareng mobil saya saja. Kita kan searah,” ajak Bu Ratna. Tapi Kinanti menolak ajakan ibu gurunya.

“Enggak usah, Bu, terima kasih. Saya nanti bisa pulang sendiri kok,” jawabnya.

“Tapi kamu mau bareng siapa sudah sepi begini?”

“Bentar lagi ada teman yang mau jemput saya kok, Bu.”

“Ya sudah, saya duluan ya… Sampai jumpa pukul satu siang nanti, Kinan!”

“Iya, Bu. Sampai jumpa!” jawab Kinan lirih.

Gadis kecil itu kemudian berdiri dari tempat duduknya, menyeberang, dan terus berjalan. Menjauhi Rana, menjauhi sekolahnya. Rasa takut kehilangan seragam itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Menggigil, langkah kakinya semakin cepat menuju rerimbunan pinus di seberang jalan. Terus dan terus berlari, tak dihiraukannya onak duri melukai kaki, tak dirasakannya lelah dan gemetar di sekujur tubuhnya. “Mereka tak boleh merusak seragam ini. Seragam peninggalan Karina, seragam yang selalu ingin kupakai untuk mewujudkan impiannya sejak dulu.”

Waktu berlalu. Jarum jam menunjukkan pukul 13.00. siswa-siswi SMPN 01 telah berkumpul di aula didampingi orangtua masing-masing.

“Alhamdulillah, pada tahun ini siswa-siswa SMP Negeri 01 lulus seratus persen.” Ucapan Bapak Kepala Sekolah disambut meriah oleh seisi aula.

“Ujian Nasional tahun ini juga spesial bagi kita. Kenapa? Karena, sekali lagi, salah seorang siswa SMP ini menorehkan tinta emas, mendapat nilai terbaik di Kabupaten Malang. Siswa ini juga merupakan adik kandung dari ananda Karina almarhumah, yang dulu pernah mengharumkan nama SMP negeri ini dengan prestasinya, meski saat itu kita harus berduka karena kehilangannya. Baiklah, saya panggil saja, peraih nilai tertinggi Ujian Nasional tahun ini, Kinanti Larasati!”

Tepuk tangan bergemuruh dalam ruang berukuran seratus dua puluh meter persegi itu. Seluruh siswa mengelu-elukan nama Kinanti. Namun dia yang dinanti seluruh warga sekolah belum juga menampakkan batang hidungnya.

“Ananda Kinanti saya mohon naik ke atas podium untuk menerima penghargaan.”

Seisi aula hening, menunggu gadis mungil yang kini mendapat predikat sebagai siswi terbaik se-kabupaten. Tak ada Kinanti di sudut mana pun di ruangan itu, hanya ada seorang wanita paruh baya yang berdiri dari tempat duduknya. Bu Narmi.

“Maaf, Bapak Kepala Sekolah. Anak saya Kinanti, belum pulang dari sekolah sejak pagi tadi.”

Hening mencekam. Wajah bapak kepala sekolah pucat. Kenangan buruk masa lalu sekolah itu seakan terpampang di hadapan setiap orang. Mungkinkah sejarah berulang? Karina yang meninggal saat meraih nilai terbaik di kabupaten, dan sekarang Kinanti adiknya, menghilang di saat dia meraih nilai tertinggi.

Rana gemetar, pilox yang ada dalam genggaman dilemparkannya sejauh mungkin. “Seragam itu… Pasti Kinanti pergi karena seragamnya hendak dicoret-coret dengan pilox. Ya, itu seragam kakaknya. Seragam dengan beberapa jahitan dan warna putih yang memudar. Dia mengenakannya sejak awal masuk sekolah. Bukankah setiap siswa mendapat jatah pakaian baru? Dia tak pernah memakai seragam baru. Itu seragam Karina, kakaknya. Begitu kan, Bu Narmi?” teriaknya.

Bu Narmi terisak. “Jadi kalian semua berencana mencoret-coret seragam hari ini? Bukankah sudah ada himbauan dari sekolah agar taka ada siswa yang mencoret-coret seragamnya? Iya, Kinanti memang tak pernah memakai seragam barunya. Seragam itu sudah disumbangkannya ke panti asuhan.”

Jauh dari sekolah itu, tampak seorang gadis kecil berjalan terseok-seok di antara pasir pantai selatan. Embusan angin dan riak-riak air laut tak dihiraukannya. Yang dia tahu hanya satu, menyelamatkan seragam kakaknya dari noda dan coretan-coretan pilox. “Sudah cukup, merah darah yang menodai seragammu, Kak Karin. Tak akan kubiarkan lagi orang-orang menodai seragam ini. Tidak lagi.” Kinanti berjalan semakin jauh ke arah laut.

Tiga hari kemudian, jasad gadis mungil itu ditemukan beberapa nelayan yang sedang melaut. Ya, Kinanti ditemukan tenggelam di laut selatan dengan seragam yang anehnya tampak baru dan putih bersih. Wajahnya pun tampak tersenyum. Ah… mungkin karena dia bangga telah berhasil menyelamatkan seragam kakaknya.[]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wuiiiiy, kereeen! Nda terduga endingnya... Mantap abiiis!

05 Apr
Balas

Oh serammm...mba

04 Apr
Balas

Absurd ya

04 Apr
Balas



search

New Post