
Anak Emas Bunda
Tengah hari yang terik ini membuat keringat bercucuran. Baju seragam putih Anita ikut basah oleh keringat. Padahal besok baju itu harus dipakai lagi untuk sekolah, namun bau keringat yang melekat pada baju sepertinya tidak akan dipakai untuk besok. Karena Anita masih memiliki baju putih cadangan.
Jalan kaki sendirian di aspal panas yang seolah-olah seperti meleleh membuat Anita makin pelan karena lelah. Namun kelelahan Anita terkalahkan kala ia merasakan perutnya yang keroncongan. Dengan sekuat tenaga dan bercucuran peluh, Anita mempercepat langkahnya hingga sampai di rumah.
“Assalamualaikum,” sambil masuk rumah.
“Waalaikumsalam,” terdengar suara dari dapur. Ternyata Bunda hari ini tidak pergi mengajar. Biasanya sepulang sekolah Anita hanya akan menemui Uwo Ita yang sibuk mengurus Rahmi, adiknya. Anita pun segera mencari asal suara Bunda.
“Panasnya…,” keluh Anita.
“Pergilah ganti baju lalu salat dulu,” Bunda menyela.
Dengan gontai Anita segera ke kamarnya yang berada di lantai dua. Lagi, ia harus berjuang berjalan sampai ke kamarnya.
Anita segera mengganti seragam putihnya yang basah oleh keringat dan memasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor yang selalu disediakan Bunda di sudut kamar mandinya. Setiap akhir pekan, Anita selalu disuruh Bunda mencuci pakaiannya sendiri dan membereskan kamarnya. Kata Bunda ia harus belajar membantu orang tua karena saat ini Anita memiliki Rahmi, adiknya yang berusia 1 tahun.
Lalu, Anita berwudu untuk Shalat Zuhur. Air yang ia basuhkan pada mukanya terasa sejuk seperti mengembalikan kekuatannya. Usai salat Anita segera berlari kembali ke dapur dan menemui Bunda.
“Bundaaa…,” Anita berteriak.
“Astagfirullah… Kenapa teriak Anita?” kata Bunda dengan kesal.
“He he he, Anita sudah lapar sekali, Bun,” jawabnya sambil cekikikan.
“Ambillah nasi, Bunda mau menyuapi Rahmi dulu,” kata Bunda.
“Ya Bunda,” jawab Anita.
Hampir setiap hari Anita selalu menjalankan aktivitasnya seperti itu. Biasanya kalau Bunda pergi mengajar, maka yang akan memasak dan menyuapi Rahmi adalah Uwo Ita. Beliau sudah lama bekerja di rumah Anita, malahan sejak Anita masih bayi. Uwo Ita selalu merawat dan menjaga Anita dan adiknya seperti anaknya sendiri. Bukan itu saja, pekerjaan rumah seperti menyapu dan menyetrika pun dikerjakan dengan baik. Oleh sebab itu, Anita beserta orang tuanya sudah menganggap Uwo Ita seperti keluarga sendiri.
Namun yang membuat Anita merasa heran adalah Bunda selalu melarang Uwo Ita untuk mencuci baju dan membersihkan kamar Anita. Bunda selalu menyuruh Anita untuk membersihkan sendiri kamarnya dan mencuci bajunya sendiri. Terkadang Anita menyangka bahwa Bunda tidak mengerti dengan kesibukan Anita. Padahal Anita harus mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru dari sekolah. Belum lagi setiap sore Anita harus pergi mengaji dengan teman-temannya. Tentu waktunya untuk mengerjakan semua tugas rumah tidak ada, pikirnya.
Akhir pekan pun tiba. Anita bangun untuk Salat Subuh. Karena sudah terbiasa jadi Anita tidak dibangunkan Bunda lagi. Selesai salat Anita yang biasanya segera mencuci pakaiannya, kali ini ia berpikir heran kenapa Bunda tidak pernah mengizinkan Uwo Ita untuk membantunya mencuci atau membersihkan kamarnya. Apalagi pekan ini Ayah tidak pulang karena urusan kantor jadi pekerjaan rumah makin bertambah.
“Huh! Makin banyak saja kerjaanku. Padahal aku kan juga banyak pekerjaan rumah dari sekolah,” Anita kesal.
Sambil menggerutu Anita teringat Uwo Ita yang selalu datang setiap akhir pekan untuk membantu Bunda mencuci dan menyetrika pakaian. Timbul dalam pikiran Anita untuk meminta bantuan Uwo Ita agar sekalian mencucikan bajunya.
Diam-diam ia pun meletakkan pakaiannya di dalam keranjang pakaian yang biasa dicuci Uwo Ita. Lalu Anita melajutkan pekerjaannya membersihkan kamar dan menyapu halaman rumah. Siang harinya Anita mengerjakan tugas dari sekolah sampai sore hari, kemudian melanjutkan pergi mengaji sampai pukul 5 sore.
Sesampai di rumah, Anita mencari Bunda dan menemukan Bunda sedang berada di ruang keluarga sambil menggendong Rahmi. Dan disamping Bunda ada Ayah. Tak terkira bahagia hatinya.
“Ayaaaaaaaah,” berlari ke pelukan ayahnya.
“Ha ha ha, anak gadis ayah sudah berat rupanya,” sambil memeluk Anita
“Ayah kapan pulang?” tanya Anita.
“Baru saja. Oh ya, Ayah bawakan sesuatu untuk Anita,” kata Ayah.
“Yeeeeee, mana Yah?” sorak Anita.
“Ini,” sambil memberikan sebuah bingkisan.
“Wah makasih Ayah,” kata Anita dengan riangnya.
Lalu, Anita membuka bingkisan dari ayahnya. Ternyata Anita mendapatkan hadiah tas sekolah baru dari ayahnya.
“Bagus sekali, Yah.” Kata Anita dengan senangnya.
“Iya, dijaga dan dipakai baik-baik ya,” kata Ayah.
“Siap BOSSSS!” kata Anita sambil hormat pada ayahnya.
Ayah, Bunda, dan Anita pun tertawa bersama.
Anita pun baru sadar kalau disitu tidak ada Uwo Ita. “Uwo Ita kemana Bunda?” tanya Anita.
“Uwo Ita tadi sudah pulang, karena ada anaknya yang akan berkunjung ke rumahnya,” jawab Bunda.
Anita pun merasa lega, karena takut ketahuan Bunda kalau ia tidak mengerjakan tuga mencuci bajunya sendiri.
Keesokan paginya, Anita mencari-cari seragam putihnya namun tidak ketemu. Padahal biasanya setelah dicuci Uwo Ita akan menyetrikan bajunya meskipun Uwo Ita tidak mencucikan bajunya. Lalu, Anita pergi ke belakang tempat Uwo Ita biasa mencuci dan melihat bajunya yang masih terletak di dalam ember pakaian kotor. Anita merasa bingung. Akhirnya karena tidak tahu harus berbuat apa Anita mengambil seragam tersebut dan memakainya kembali meskipun belum dicuci.
Ketika sarapan pagi Anita buru-buru makan dan tergesa—gesa pamit agar tidak ketahuan oleh Bunda dan Ayah.
Sesampai di sekolah, Anita merasa risih karena banyak sekali teman-teman yang menjauhinya sambil menutup hidung. Anita berpikir apakah karena baju yang tidak dicuci tersebut.
Sepulang sekolah Anita mencari Bunda dan menangis sejadi-jadinya. Bunda merasa heran.
“Kenapa Anita?” tanya Bunda.
Anita hanya menangis dan tidak menjawab.
“Anita dimarahi Bu Guru?” tanya Bunda
Anita hanya menggeleng.
“Ceritakan pada Bunda, Nak.” sambil mengelus kepalanya.
“Teman-teman di sekolah menjauhi Anita, Bunda” jelasnya.
“Kenapa?” tanya Bunda lagi.
“Eeeengg… anu…” Anita ragu
“Karena baju Anita bau tidak dicuci?” sela Bunda.
“Kok Bunda tau?” Anita tercengang.
Sambil mengelus kepalanya Bunda menjelaskan , “Bunda yang sengaja melarang Uwo Ita mencuci seragam Anita karena Bunda ingin Anita belajar bertanggung jawab terhadap tugas-tugas Anita. Bunda ingin Anita menjadi perempuan yang bertanggung jawab dan mandiri ketika dewasa kelak,” jelas Bunda.
Anita menangis tersedu-sedu saat mendengar penjelasan dari Bunda.
“Maafkan Nita,” sambil memegang tangan Bunda.
“Iya, tak apa-apa. Yang penting Anita harus berubah dan belajar bertanggung jawab. Karena Bunda ingin Anita dan Rahmi kelak menjadi orang-orang yang berguna. Tidak usah khawatir karena Bunda menyimpan baju cadangan untuk Anita pakai besok,” kata Bunda.
“Makasih Bunda, Anita kira Bunda hanya menyayangi Rahmi” sambil memeluk Bunda.
Bunda tersenyum.
Catatan: Cerita ini disarankan untuk siswa sekolah dasar
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
He,he
Ingat masa lalu ya, Bu. Hihihi
Haha, iya Uni. Menyebalkan. Tapi, ternyata.... Haha
Kita seperti anita juga di masa lalu, menyangka tidak disayangi ketika diberi latihan untuk mampu hidup mandiri. Haha....