Melvin Irawansyah

Seorang pembelajar. Berusaha mengajarkan apa yang telah dipelajari. Menggores karya dengan hati. Salam Literasi. Untuk saling sapa di media sosial, bisa b...

Selengkapnya
Navigasi Web

Seikat Bunga Merah

Pagi kali ini terasa berbeda. Udara sejuk menelusup melalui celah jendela, membelai lembut kulitku. Di atas meja, seikat bunga merah tersusun rapi, hasil rajutan tangan istriku. Di sampingnya, seperangkat alat sholat tersusun dengan indah. Aku menarik napas dalam, mencoba meresapi setiap detail yang ada. Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Istriku, wanita yang telah menemaniku selama bertahun-tahun, akan menjadi saksi ketika aku mengikat janji dengan gadis lain, gadis pilihannya sendiri.

Tamu-tamu mulai berdatangan, mengisi ruang dengan senyum dan doa. Suasana haru bercampur kebahagiaan memenuhi udara. Aku duduk di tempat yang telah disiapkan, tepat di depan Pak KUA yang siap memandu prosesi akad. Istriku duduk tak jauh dariku, senyumnya tetap mengembang, mencerminkan ketegaran dan keikhlasan yang luar biasa. Aku menatapnya sesaat, mencari tanda-tanda kegundahan, tetapi yang kutemukan hanya kedamaian. Apakah benar hatinya sekuat itu?

Pak KUA mulai membaca khutbah nikah, menyampaikan betapa sakralnya janji yang akan diikrarkan. Kata demi kata bergema dalam benakku, mengingatkanku pada hari ketika aku pertama kali mengucapkan janji di hadapan istriku. Hari ini, aku kembali di tempat yang sama, dengan nuansa yang jauh berbeda. Tanganku mulai mengepal erat, merasakan keringat dingin mengalir di telapak tanganku. Saatnya tiba.

"Saya terima nikahnya..." ucapku dengan suara bergetar.

Namun, tiba-tiba suara lembut menghampiri telingaku.

"Abi sayang, ayo bangun! Sudah adzan ashar tuh..."

Mataku terbuka perlahan. Cahaya senja menerobos dari celah jendela, membasahi wajah istriku yang sedang tersenyum. Wajahnya cerah, masih basah oleh air wudhu. Aku menatap sekeliling, menyadari bahwa aku masih berada di kamar kami, di rumah kecil yang telah menjadi saksi perjalanan kami berdua. Aku menghembuskan napas lega, mengusap wajahku yang sedikit berkeringat.

Mimpi. Hanya mimpi.

Aku bangkit perlahan, berjalan gontai menuju kamar mandi. Di dalam hatiku, aku tersenyum sendiri. Entah apa arti dari mimpi itu, tapi satu hal yang pasti, aku tahu betapa berharganya wanita yang kini berdiri di hadapanku, mengingatkanku untuk menunaikan sholat. Dan aku bersyukur, karena kenyataan ini jauh lebih indah daripada sekadar bunga merah dan akad yang semu.

Istriku tersenyum menggoda, "Ayo, mimpi apa tadi?" tanyanya sambil menatapku penuh selidik.

Aku menghela napas, mencoba menyembunyikan senyum di balik wajah lelahku. "Tidak ada, hanya mimpi aneh," jawabku singkat.

Dia terkikik kecil, lalu berjalan ke ruang tengah, meninggalkanku dalam kebingungan. Aku masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangan diri sendiri. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah aku benar-benar berada di sana. Apakah itu sekadar bunga tidur? Ataukah pesan tersembunyi yang perlu kupahami?

Sambil mengusap wajah dengan air dingin, aku bertekad dalam hati: Aku akan mencintai istriku lebih dari sebelumnya, karena dia adalah kenyataan terindah yang pernah kumiliki.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post