APAKAH GURU BISA MENULIS?
APAKAH GURU BISA MENULIS?
Ini pertanyaan konyol, bagaimana mungkin guru tidak bisa menulis? Tentu saja bisa menulis. Kalau tidak dapat menulis tidak lolos menjadi guru. Nah, jika pertanyaannya dilanjutkan, maka celakalah pertanyaan itu. Apakah guru benar-benar bisa menulis sebuah wacana? Wah yang ini jangan coba-coba ditanyakan. Jawabannya tentu saja tidak selalu bisa. Kalau pun bisa, bukan menjadi kebiasaan untuk menulis.
Sudah banyak kesempatan pertanyaan ini terlontar dan diajukan. Dan hasilnya tidak benar-benar dijawab dengan serius. Bahkan untuk mengatakan "ya", bahwa guru perlu bisa menulis pun begitu sungkan dan berliku. Meski telah banyak afirmasi dan ketentuan ke arah sana, maka pada kenyataannya guru benar-benar tidak ingin sukarela menulis. Pekerjaan ini dengan susah payah disorongkan ke guru.
Bahkan bujuk rayu seperti kenaikan pangkat, sertifikat dan berbagai insentif benar-benar bergeming. Tak luluh hati guru untuk segera bergegas menulis. Selalu saja ada pertanyaan apakah kalau menulis ada sertifikatnya? Dapat dikonversi ke angka kredit, menambah ini dan itu. Jika tanpa itu semua seolah ilmu dan kompetensi menulis lesap tak berbekas.
Guru-guru swasta mengembangkan keterampilan menulis sekadar melampiaskan hobi. Tak ada hubungannya dengan kenaikan pangkat, golongan atau sertifikat. Semuanya tidak melekat pada dirinya. Jadi menulis murni sebagai hiburan. Bukan untuk mengembangkan kemampuan professional guru. Tak ada hubungan dan kaitan sama sekali.
Jika sudah begitu maka apa harapan menulis bagi guru? Guru ASN dengan tujuan yang rupa-rupa itu, sementara guru swasta tak peduli dengan menulis karena menulis itu ya hanya sampingan saja. Wajar jika urusan menulis menjadi jauh dari guru. Itulah sebabnya, sungguh sulit mengajak guru menulis lebih serius. Seperti mengajak kambing mandi di kali. Permisalan yang tidak tepat betul, bahkan rada kasar.
Pemerintah mengadakan berbagai lomba agar guru senang menulis. Dan tahun demi tahun, lomba menulis tidak juga memuat guru menjadi senang menulis. Wajar jika pelajaran menulis dan geliat literasi sekolah seperti angin kosong. Tak ada terasanya. Karena guru sendiri juga tidak merasakan nikmatnya menulis. Betapa berdaya menjadi guru yang menulis. Seperti kutukan yang menurun kepada muridnya.
Banyak guru yang memicingkan mata melihat hasil karya guru berupa buku. Bahkan tanpa malu mencibir guru yang menulis. Tidak sadar bahwa polahnya sedang merusak reputasinya sendiri sebagai guru yang a literat. Yang tidak mengerti apa pentingnya sebuah tulisan, bahkan tidak tahu bahwa buku itu berharga. Mungkin guru itu berpikir bahwa buku itu paling nasibnya menjadi loakan. Alias afkir.
Itulah, virus buruk literasi yang akan terus menggerogoti cara pandang guru bahwa menulis itu tidak penting. Karena tidak menghasilkan kekayaan secara langsung, membuang waktu dan sia-sia belaka. Cara pandang yang sungguh memilukan dan terbelakang. Bahkan jauh lebih bermartabat para pendiri bangsa yang mengobarkan semangat kebangsaan melalui tulisan. Beradu pendapat dengan menggunakan tulisan. Padahal saat itu, menulis memerlukan sarana yang terbatas dan mahal. Saat ini dengan sarana yang berlimpah, justru mental guru untuk menulis makin merosot.
Pemerintah menggelontorkan anggaran yang banyak agar guru sedikit saja mau menulis. Hasilnya pelatihan demi palatihan terus dilakukan, namun hasilnya guru semakin menjauh dari menulis. Alasannya sibuk luar bisa dengan tugas mengajar dan administrasi sekolah. Seolah menulis itu hanya bisa dilakukan saat menganggur. Saat tidak ada kerjaan. Sampai kapan pun guru akan selalu sibuk. Dan punya segudang dalih untuk menyatakan tidak punya waktu untuk menulis.
Lalu apa solusinya? tak ada lain, hanya guru sendiri yang bisa menjawabnya. Apakah akan mengubah pola pandangnya tentang menulis atau justru menjerumuskan diri dan lingkungannya dengan keengganan berubah. Tanyakanlah pada diri sendiri apakah akan ambil bagian dalam pembangunan bangsa yang besar yakni bangsa yang literat, maju dan berkeadaban atau terpuruk dan terus merosot mutu kehidupan. Semua ada di tangan ibu-bapak guru sekalian. Apakah guru bisa menulis? Begitu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Tetapi tindakan nyata.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar