SEBENING CINTA MARIA
Part 1
Senja di Parangtritis
#Tugaskelasmenulisnovel3
“Ngapain kamu datang lagi ke sini ?” sahut Bu prapti ketus.
Deg! jantungku berdegup kencang manakala mendengar ucapan dari seorang ibu yang anaknya sangat kusayangi.
“Sudah jelas kamu yang menyebabkan semua ini, enyah dari sini dan jangan datang lagi !” umpatnya dengan telunjuk mengarah pada hidungku.
Aku tertunduk, hatiku serasa disayat pisau berkarat saat dia menyumpahiku seperti itu.
Pekat malam ini hanya menambah bulir bening yang semakin menganak sungai di pipi. Kuusap setiap tetes air mata yang meleleh manakala aku teringat peristiwa dua dasawarsa silam di kota gudeg Yogyakarta. Kota yang menyimpan sejuta kenangan bersama kekasihku, Pram. Ingin rasanya kubuang semua masa indah yang pernah hadir dalam hidupku. Menghapus kenangan ketika dengan romantisnya aku berjalan bersamanya di sepanjang Pantai Parangtritis.
Kala itu Pram mengajakku pergi ke tepi Pantai Parangtritis untuk menghantar matahari senja menuju peraduannya. Dengan lembut disibakannya rambutku yang panjang terurai ketika sesekali diterpa bayu. Aku berjalan di sepanjang pantai bersamanya sambil merajut mimpi dan angan serta mengukir asa tuk membina masa depan. Saat itu kautuliskan namamu dan namaku di pasir pantai, Pram love Maria. Senyum mengembang di bibirmu. Namun, sesaat kemudian nama indah itu tersapu riak air pantai, ombak menggulung nama kita. Aku tertegun sambil memandang gulungan ombak jahat itu.
“Pram lihat, ombak menyapu nama kita !” seruku dengan suara menjerit.
“Itu berarti cinta kita akan bersatu padu, seperti ombak yang menggulungnya,” sahutnya ceria.
“Tapi aku khawatir cinta ini akan hilang seperti ditelan ombak itu,” kataku lemah
“Percayalah, semua akan indah pada waktunya,” ungkap Pram dengan tersenyum.
Lalu Pram mengajakku pulang dan meninggalkan pantai nan mempesona ini. Padahal, aku masih ingin menikmati indahnya cahaya sang rembulan di bibir pantai.
“Maria, rembulan sudah hampir tenggelam dan hari menjelang malam, ayo kita pulang,” ujarnya mengingatkanku.
Kami berjalan meninggalkan pantai dengan deburan ombak yang kurang bersahabat. Kulihat Pram mengambil sepeda motornya dan siap membawaku pulang. Waktu itu senja turun dalam iringan mendung dan rinai hujan. Tak ada lagi langit memerah, tak ada lagi mentari yang merambat gemulai di batas cakrawala. Bahkan, tak ada senyuman rembulan menyapaku. Senja kali ini adalah senja yang risau. Penuh kabut dan tanya. Pikiranku masih tertuju pada ombak yang menyapu namaku dan dia. Akankah aku bersatu melebur bersamanya, atau malah sebaliknya ?
Tergesa Pram mengajakku kembali pulang setelah jam menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah dia menyodorkan helm padaku, Pram mulai menjalankan motornya dan aku diboncengnya. Entah mengapa hati ini mulai tak enak saat Pram menambah kecepatan laju motornya. Aku sempat mengingatkannya meski dengan mata terpejam saking takutnya.
Jalanan aspal nan mulus membuat Pram, lelaki dengan postur tubuh langsing itu semakin terlena menjalankan motornya. Seakan dia sedang bertanding bersama Valentino Rossi di arena balap motor. Kucubit pinggangnya dengan keras agar dia menjalankan motornya dengan perlahan. Derai tawa meluncur dari bibir tipisnya setelah mengetahui aku sangat ketakutan dibuatnya. Kini laju motor mulai stabil. Aku mulai melepaskan peganganku pada pinggangnya.
“Heyy, kenapa dilepas. Ayolah pegang pinggangku erat,” sahutnya terkekeh
“Huss….enak aja,” ujarku sambil kembali mencubitnya.
Perjalanan pulang dengan kendaraan bermotor membuat kami senang bisa tertawa bersama. Namun, tak disangka dari arah kanan tiba-tiba datang motor lain dengan kecepatan tinggi. Tak dapat dielakkan lagi motor yang dikendarai Pram diserempet orang tak dikenal dengan kerasnya. Kami terjatuh dan aku merasa dunia menjadi gelap seketika.
Kubuka mataku dan kulihat sekelilingku tembok serba putih. Kutengok di sampingku ada Laura teman satu kos denganku. Dia sahabatku yang baik.
“Syukurlah kau telah siuman.” sahut Laura tersenyum
“Aku tak mengerti apa yang telah terjadi. Aku hanya ingat ketika Pram memboncengku dengan sepeda motornya,” kataku lirih
“Sudahlah Maria, yang penting kini kamu sudah sadar dan selamat,” ujar Laura
“Laura, apa yang terjadi ? Dimana Pram dan bagaimana keadaannya ? “ cecarku
“Tenang Maria, Pram masih berada di ruang operasi, “ sahut Laura tertunduk.
Keesokan harinya, aku sudah diperkenankan pulang oleh dokter yang merawatku. Aku hanya mengalami lecet sedikit di bagian tangan dan kaki yang terkilir. Sementara Pram masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku hanya bisa meneteskan air mata, ketika mengetahui keadaannya. Ingin rasanya aku langsung menjenguknya, tapi dokter melarangku.
Aku segera meninggalkan rumah sakit setelah semua administrasi dibereskan oleh Laura. Dia membopongku ketika aku masuk ke dalam mobilnya.
“Laura, terima kasih ya kau sudah banyak membantuku,”kataku lirih
“Tak masalah, yang penting kamu sehat,” sahutnya sambil tersenyum.
Laura sahabatku yang paling baik. Dia adalah teman satu kos denganku. Dia mengambil jurusan kedokteran di Universitas Gajah Mada. Sementara aku jurusan psikologi di universitas yang sama. Perkenalanku dengan Pram diawali dengan kunjungannya ke tempat kosan. Dia mau mengambil buku yang dipinjam oleh Laura. Aku yang baru pulang kuliah, lewat di depan mereka.
“Laura, kenalin dong temanmu itu,”sahut Pram sambil memandangku
“Enak aja, dia udah ada yang punya lho,” sahut Laura sekenanya
“Pokoknya salam dari Pram,”teriak lelaki itu sambil berlalu pergi.
Aku yang sedari tadi nguping pembicaraan mereka hanya bisa tersenyum. Mana mungkin gadis sepertiku ini ada yang mau kenalan. Aku perempuan lugu dan sederhana belum pernah berpacaran sejak dulu. Bagiku fokus belajar dan meraih prestasi itulah tujuanku. Pacaran tidak ada dalam kamusku. Aku paling anti berdekatan dengan lelaki, apalagi mengajak pacaran.
“Maria, itu si Pram nanyain kamu terus, lho,” sahut Laura ketika makan bakso
“Biarin aja, emang gue pikirin,” sahutku sekenanya
“Kasihan lho, masa cintanya bertepuk sebelah tangan. Please deh Maria, terima ya,”kata Laura memelas
Sebetulnya, aku juga merasa kasihan padanya setelah satu bulan lebih tak ada kabar berita dariku. Namun, karena melihat kesungguhan dan kegigihannya dalam merebut hatiku, akhirnya aku menyerah juga. Aku menerimanya sebagai kekasih yang merupakan cinta pertamaku. Padahal usiaku sudah menginjak 22 tahun tapi aku belum pernah mengenal cinta apalagi berpacaran.
Perjalanan dari rumah sakit memakan waktu tiga puluh menit. Sebentar lagi mobil akan memasuki area parkir kosan khusus mahasiswa putri UGM. Laura yang duduk pegang kemudi di sampingku ternyata memperhatikanku.
“Lho, Maria ? Kamu nangis ?”
Segera kuhapus air mata ini. Aku tidak ingin Laura ikut bersedih karena masalah ini.
“Nggak kok, Laura. Aku nggak nangis,” elakku
“Kamu gak bisa terus menerus bersedih begini,” sahutnya
Mobil segera berhenti, setelah turun aku langsung masuk ke kamar untuk beristirahat.
Bersambung.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Jadi penasaran dengan nasibnya Pram.Bagus Bu....
Hai Ibu boleh komen yaNgapain kamu datang lagi ke sini ? sahut --> karena bertanya seharusnya TANYA. bukan dalam posisi menyahut bukan?Pram meninggal ya bu? yah, baru mulai sudah sedih. sukses ya bu
Terima kasih Bu Susi utk koreksinya. Ini baru part 1 masih ada 9 part lagi. Tunggu ya bu, apakah Pram meninggal atau tidak ada di part berikutnya. Salam hangat.
Mantap, Bunda Min. Kita berada dalam satu kelas yang sama ya, Bund.
Revisi ulang ya Miss ...? Keren.
Ya bu Susi, ini tugas kelas novel3